Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan ibu-ibu berkerudung keluar dari rumah bertingkat warna hijau di Villa Sawo, Cipete, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Mereka menenteng tas dan berjalan bergerombol melewati gerbang kayu cokelat di depan rumah. Tepat di samping kiri rumah, tiga penjaga berseragam safari hijau memperhatikan dengan santai.
Riki, salah satu penjaga itu, mengatakan sang pemilik rumah, Maya Miranda Ambarsari, memang sering mengadakan pengajian rukun warga, hampir saban pekan. Namun, kata dia, pengajian Kamis sore lalu itu digelar tanpa kehadiran sahibulhajat. ”Rumah sedang kosong,” ujarnya.
Keadaan kosong juga terlihat di kantor PT Indo Multi Niaga (IMN) milik Maya di gedung GP Tower Bellezza, kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Sejak polemik perebutan saham di perusahaan itu merebak, aktivitas administrasi di kantor itu terganggu. Kegiatan fisik berupa eksplorasi tambang emas di Blok Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, juga terhenti.
Penghentian kegiatan diumumkan langsung oleh Andreas Reza Nazaruddin, Direktur Utama IMN, sekaligus suami Maya. Menunggang helikopter dari Jakarta, Reza mengumumkan penghentian eksplorasi di depan ratusan pekerjanya di Pesanggaran, 20 Juli lalu.
Penghentian itu merupakan buntut dari protes perusahaan tambang emas Emperor Mines Ltd kepada Reza dan Maya. Perusahaan asal Australia itu adalah anak usaha Intrepid Mines Ltd, yang menjadi kongsi IMN di Proyek Tujuh Bukit di Banyuwangi.
Mereka menuding IMN ingkar janji. Perusahaan milik Maya dan Reza ini tak kunjung mengubah investasi hampir US$ 100 juta yang sudah mereka kucurkan menjadi 80 persen kepemilikan saham di proyek itu melalui perusahaan penanaman modal asing bersama.
Mulanya, kehadiran Emperor diundang oleh Paul Michael Willis. Pengusaha asal Australia ini pemilik IndoAust, mitra IMN yang pertama kali mengelola tambang emas bernama Proyek Tujuh Bukit. Lantaran kekurangan dana, Willis menghadirkan Emperor.
Pada September 2008, IMN mengikat perjanjian joint venture dengan Emperor. Isinya akan mengalihkan investasi Emperor dalam usaha eksplorasi menjadi 80 persen kepemilikan saham setelah adanya perubahan regulasi soal investor asing dalam usaha pertambangan. Manajemen Intrepid menagih saham tersebut setelah regulasi berubah pada 2009. Ternyata perubahan itu tak berjalan mulus.
Hingga Juli lalu, saham tak kunjung didapat. Sebaliknya, manajemen Intrepid mendapat informasi IMN menjual sebagian saham Proyek Tujuh Bukit ke pihak lain. Salah satunya Andreas Tjahjadi, yang diketahui merupakan kolega bisnis PT Adaro Energy Tbk. Edwin Soeryadjaya, Komisaris Utama Adaro, enggan berkomentar panjang. ”Saya bicarakan dulu di internal sebelum menanggapi,” katanya kepada Tempo.
Melalui kuasa hukum Lubis, Santosa & Maramis, Emperor kemudian mengancam, ”Kami mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak membuat kesepakatan atau mengambil tindakan terkait dengan PT IMN yang dapat mengakibatkan pengalihan kepemilikan saham IMN terkait Proyek Tujuh Bukit,” katanya dalam pengumuman di beberapa koran nasional, 3 dan 4 September lalu.
Dua hari kemudian, giliran Willis membalas, juga melalui pengumuman di koran. Melalui kuasa hukumnya, Alexander Lay dari firma LasutLay & Pane, Willis balik menuding Emperor menggunakan cara memaksa untuk menendang IndoAust dari Proyek Tujuh Bukit. ”Klien kami sedang mempersiapkan langkah-langkah hukum,” begitu bunyi pengumuman itu.
Adapun Reza dan Maya sebagai pemilik IMN memilih diam. ”Kami memilih tidak berkomentar dulu agar tidak menyakiti pihak lain,” kata Maya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Maya memilih mengikuti sikap Edwin, yang tidak mau baku serang lewat media.
Proyek Tujuh Bukit berawal dari izin eksplorasi yang didapatkan IMN dari Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban pada Maret 2006. Restu dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo dan Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari juga bisa dikantongi Reza.
Meski namanya kurang berkibar di dunia pertambangan, Reza cukup dikenal di Kementerian Kehutanan. Aktivitas Reza sebagai Ketua Pengurus Daerah Keluarga Olahraga Tarung Derajat DKI Jakarta ikut andil dalam keberhasilan mendapatkan izin. Reza termasuk pengurus yang mendorong agar olahraga yang diciptakan Achmad Derajat pada 18 Juli 1972 itu dilombakan di SEA Games Palembang tahun lalu.
Jabatan Reza di organisasi keolahragaan itu sekilas tak ada hubungannya dengan bisnis tambang emas. Tapi, dengan aktif di organisasi keolahragaan bela diri ini, Reza bisa mendekati Menteri Kehutanan. Sejak 2006, Ketua Pengurus Besar Tarung Derajat bergiliran dijabat dua Menteri Kehutanan, yaitu Kaban pada periode 2006-2010 dan Zulkifli Hasan pada 2010-2014.
Selain organisasi, latar belakang keluarga menjadi faktor kuat sukses Reza di jalur bisnis. Salah satu warga Villa Sawo, tetangga Reza dan Maya, mengatakan Reza anak mantan perwira tinggi di Markas Besar Kepolisian RI berpangkat komisaris jenderal. Sumber ini juga menyebut Muhammad Yusuf, mertua Reza alias ayah Maya, adalah mantan pejabat eselon satu di Kementerian Perhubungan.
Yusuf, Reza, dan Maya dikenal warga sekitar Villa Sawo karena kerap memberi pengobatan gratis dan mengurus majelis taklim Ummul Khoir. Selain digelar di Villa Sawo, pengajian itu diselenggarakan di rumah milik Maya di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan. ”Ini bagian dari amal menolong kaum duafa,” kata Maya, yang juga dikenal luas di kalangan sosialita Ibu Kota.
Dua kali dihubungi, Reza menghindar saat ditanyai soal perannya memanfaatkan posisi di organisasi Tarung Derajat untuk memuluskan bisnis tambang emasnya. Ketika mendatangi kantor IMN di gedung Bellezza, Tempo melihat kantor itu dijaga ketat lima orang berbadan kekar dari Jaga Nusantara, perusahaan jasa keamanan. Salah satu penjaga mengatakan Reza tidak pernah datang ke kantor sejak Juli lalu.
Rumah di Villa Sawo juga dijaga ketat pengawal berseragam safari dari Jaga Nusantara. Brahmadi, koordinator pengawal, mengatakan Reza tak berada di rumah itu. Komunikasi melalui telepon seluler terhubung pada Kamis malam, tapi Reza cepat-cepat menutup telepon setelah Tempo memperkenalkan diri. ”Halo, ini siapa?” katanya sebelum ia mematikan telepon.
Adapun Maya tak membantah soal status dan kemudahan akses yang diperoleh bersama Reza. ”Semua itu demi kebaikan,” ujarnya.
Reza merupakan suami kedua Maya. Suami pertamanya adalah warga keturunan Timur Tengah. Dari pernikahan pertamanya itu, ia dikaruniai putra, Muhammad Khalifah Nasif. Status sebagai istri warga negara asing mengantar Maya masuk Srikandi, perkumpulan wanita Indonesia dalam perkawinan antarbangsa. Di organisasi ini, Maya didapuk sebagai chairwoman.
Maya mengenyam pendidikan hukum di Universitas Pancasila, Jakarta, pada 1991. Setelah lulus, ia bekerja di kantor pengacara Dimyati Hartono, bekas politikus PDI Perjuangan. Dua tahun menggeluti dunia hukum, Maya melanjutkan kuliah strata 2 bidang bisnis di Swinburne University of Technology, Melbourne, Australia.
Hiruk-pikuk politik di awal reformasi mendorong Maya kembali ke Tanah Air pada 1999. Bersama Dimyati, Maya terjun ke dunia politik dengan Lembaga Demokrasi Indonesia Baru. Di lembaga swadaya masyarakat itu, ia dipercaya sebagai manajer hubungan internasional. Ia pernah terlibat gerakan yang mengkritik jajak pendapat untuk Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Akbar Tri Kurniawan, Y. Tomi Aryanto, Ika Ningtyas(Banyuwangi)
1996-2006
Maret 2006
19 agustus 2007
Mei-Desember 2008
2009
2010
Juni 2012
Juli 2012
Agustus 2012
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo