Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wilson Sitorus*
Ammy mendengus bosan, cepat-cepat bersikap: terlalu sesak satu ranjang untuk tiga orang. Ia marah, juga cemas. Fred, pasangannya, tak kunjung melunak. Tak berniat memeluknya. Fred justru menuding Ammy membesar-besarkan keinginannya untuk dapur yang lebih luas ketimbang seks hebat yang pernah mereka kenal lima tahun lampau. Lalu, plak, Ammy menampar Fred.
Jerry Springer pun menyeringai puas. Ia buru-buru meminta produsernya menghubungi wanita intim lain yang selama ini disimpan Fred. Malam ini akan panas, dan Anda telah menjadi saksi, kata Springer, menyapa pemirsa. Dan, malam itu, Jerry Springer Show betul-betul panas. Ammy sesenggukan, meminta Fred mengemasi barang-barangnya malam ini juga.
Mencoba tiwikrama, Laura Bozo Show sejatinya sebelas-dua belas dengan program Jerry Springer Show. Laura, pembawa acara keturunan Spanyol, sering menukil kehidupan pribadi para tamu di acaranya. Seperti pengakuannya, ia menikmati pertengkaran antarpasangan yang diundangnya ke studio. Dia bekerja untuk pemirsa, dan pemirsa menyukai drama, katanya berdalih.
Atas desakan pemirsa, penayangan Laura Bozo Show pun dihentikan. Begitu juga Jerry Springer Show. Terlalu banyak hal buruk dari kedua program televisi ini. Menyaksikan orang lain bertengkar, saling pukul dan memaki, tentang hal apa saja yang sama sekali tak berhubungan dengan diskursus publik, tak bisa disebut televisi.
Kondisi inilah yang mendorong komisi penyiaran di Amerika Serikat (Federal Communication Commission) pagi-pagi merilis tujuh kata tabu (seven dirty words) yang tidak boleh ditayangkan pada jam tayang kapan saja. Tujuh kata tersebut adalah (editing frasa dari saya) sh*t, p*ss, f**k, c*nt, cocks**ker, motherf***er, dan t*ts. Pelanggaran atas tata tujuh kata tabu ini dikenai sanksi tegas.
Arkian, hanya perlu empat tahun saja bagi televisi di Indonesia untuk ikut merawat sentimen primitif pemirsa. Televisi juga turut serta memelihara agresivitas pengisi acara. Saya mencatat beberapa pertengkaran hebat yang ditayangkan di televisi di Indonesia, seperti Kiki Fatmala dengan ibunya, Jupe dengan Depe, Ruhut Sitompul dengan Hotman Sitompoel, pertengkaran Hercules dengan Tito Refra, Angel Lelga dengan Machicha Muchtar, serta teranyar antara Limbad dan istrinya. Daftar pertengkaran ini akan semakin panjang jika mengeroyok (bullying) dan menghina tercatat di dalamnya.
Ada dua tipe program televisi yang asyik-masyuk menjadikan pertengkaran sebagai konten. Pertama, program infotainmen. Tak puas hanya menayangkan pertengkaran belaka, tipe program ini juga membumbui melalui narasi dan visual. Bahkan tak jarang tipe program ini meminjam pernyataan pihak ketiga sebagai amunisi.
Tipe kedua adalah program bincang-bincang (talk show). Acara seperti ini mencoba menghebat-hebatkan konten melalui data dan fakta, lalu menebar insinuasi di sana-sini, memancing, mencecar, dan, hap, tak berusaha maksimal menengahi jika pertengkaran sudah terjadi.
Memelihara sentimen primitif pemirsa sejatinya adalah cara gampang menaikkan rating/share. Namun hal ini tak efektif karena dual hal. Pertama, reproduksi pertengkaran bisa dijerat Pedoman Perilaku dan Standar Perilaku Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 14 tentang penghormatan terhadap hal privasi serta Pasal 24 tentang ungkapan kasar dan makian.
Kedua, pertengkaran yang direproduksi membuat pemirsa jengah. Pemirsa akhirnya tahu mana pertengkaran by design dan yang sebagai bagian dialektika gagasan. Paparan outlook 2013 lembaga pemeringkat AGB Nielsen menyiratkan, televisi, kiwari, mengalami penurunan jumlah pemirsa dan jumlah waktu menonton.
Televisi sedang menggali kuburannya sendiri jika terus-menerus mereproduksi pertengkaran. Dan dengan senang hati saya mengusulkan revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, yang saat ini sedang dilakukan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat. Revisi itu harus secara tegas memberi ruang dan kewenangan kepada pemirsa untuk melakukan perlawanan hukum kepada pengisi acara yang suka merekayasa pertengkaran di layar kaca.
*) Penulis adalah praktisi televisi. Tulisan ini pendapat pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo