Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pertempuran di Sektor Pertanian

22 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Erani Yustika*

Dewasa ini semakin banyak lembaga internasional memberi perhatian kepada Indonesia karena dianggap solid prospek ekonominya. Dalam acara Indonesia Investment Day di New York Stock Exchange, di sela-sela pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa beberapa minggu lalu, muncul akronim MIST (Meksiko, Indonesia, South Korea/Korea Selatan, dan Turki) menggantikan BRIC (Brasil, Rusia, India, dan Cina) sebagai poros ekonomi baru.

Di tengah pujian itu, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melansir kajian bertajuk ”OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia”, dengan substansi yang mengejutkan: Indonesia dianggap salah arah dalam merumuskan kebijakan pangan (pertanian). Kebijakan swasembada dipandang tak lagi relevan diadopsi Indonesia.

Indonesia dituduh keliru merumuskan kebijakan pertanian karena dua hal pokok: (i) subsidi yang diberikan ke petani sangat mahal dan tidak efektif, misalnya subsidi pupuk. Menurut OECD, subsidi pupuk lebih banyak dinikmati produsen pupuk ketimbang petani; dan (ii) perdagangan internasional komoditas pangan dipandang terlalu protektif dibanding negara Asia lainnya, baik dalam bentuk pengenaan tarif impor (seperti beras dan kedelai) maupun pajak ekspor (misalnya CPO).

Kebijakan itu dinilai menimbulkan situasi tidak nyaman bagi negara lain untuk melakukan perdagangan dengan Indonesia. Rekomendasi OECD: alihkan subsidi ke peruntukan lain dan percepat liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian.

Analisis OECD itu bukanlah hal baru dan tergolong pedas. Harus diakui terus terang bahwa subsidi di sektor pertanian memang kerap jatuh ke pihak yang tidak tepat. Di lapangan, pupuk subsidi, misalnya, jadi bancakan sektor industri atau rent-seeker agents. Pemerintah betul-betul tak mampu mengontrol persekongkolan di lapangan.

Demikian pula ketika harga komoditas pangan internasional melambung (seperti kasus kedelai beberapa waktu lalu), kebijakan tarif impor makin memberatkan konsumen dalam negeri, termasuk pelaku usaha (kecil) yang membuat produk dengan bahan baku kedelai. Dalam situasi seperti ini, relaksasi tarif impor merupakan pilihan paling masuk akal untuk melindungi kepentingan konstituen ekonomi domestik.

Namun analisis OECD itu mengandung dua kesalahan elementer. Pertama, menganggap swasembada tak relevan merupakan kesimpulan rapuh. Dalam situasi fluktuasi ekonomi dunia yang kerap terjadi dan sulit diantisipasi (termasuk harga komoditas pertanian), ketergantungan terhadap produk impor merupakan malapetaka, seperti pernah dialami Indonesia pada awal 2008 dan 2012. Di luar itu, cadangan pangan merupakan hal vital bagi negara berkembang. Celakanya, cadangan pangan (beras) Indonesia cuma 4,3 persen dari total produksi. Bandingkan dengan Thailand (61,5 persen), Brunei (52,1), Vietnam (24,4), Myanmar (18,2), Filipina (16,5), Laos (15,7), dan Malaysia (10,8) [Asean Food Security Information System, 2011]. Tentu cadangan pangan komoditas strategis jauh lebih mudah diupayakan jika swasembada dicapai.

Kedua, liberalisasi pertanian yang dijalankan sejak 1998 telah menciptakan serangkaian tragedi pangan di Indonesia. Realitas itu didukung oleh studi Wanki Moon (2011), yang secara lugas menyampaikan sektor pertanian tidak mungkin diliberalisasi karena tiga argumen berikut: (a) produksi pertanian secara kolektif terkait dengan barang dan jasa nonmarket (lahan, air, biodiversitas, hutan), baik di tingkat lokal maupun nasional; (b) pertanian dekat dengan isu kemanusiaan, seperti perubahan iklim, kesinambungan, dan ketahanan pangan (kemiskinan/kelaparan), khususnya di negara berkembang; serta (c) sektor pertanian memiliki peran dan kapasitas yang berbeda di setiap negara sehingga kekalahan dalam liberalisasi bisa menjadi petaka kemanusiaan.

Pemerintah tak usah surut langkah oleh publikasi OECD itu, tapi beberapa kebijakan pertanian memang harus dirombak dan sebagian mesti diperbaiki pada level implementasi. Kebijakan subsidi tak perlu dikurangi, jika perlu ditambah, tapi dengan formula baru yang lebih efektif dan tepat sasaran (seperti di negara maju).

Liberalisasi pertanian tidak bisa diterapkan seenaknya, karena ini menyangkut nasib 43 persen total tenaga kerja nasional. Studi OECD itu hanya relevan di negara maju, yang tak terlampau berpijak pada sektor pertanian, dan pekerja yang terlibat hanya 2-5 persen dari total tenaga kerja.

Pemerintah harus mempertebal keteguhan bahwa swasembada merupakan langkah strategis dan niscaya. Pemerintah mesti yakin: ”peperangan ekonomi global tak mungkin dimenangi tanpa menaklukkan pertempuran di sektor pertanian”.

*) Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus