Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMPU kecil yang terikat di kepala Purwanto masih menyala ketika pria 34 tahun itu keluar dari lubang berdiameter satu meter di tengah alas jati Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Baju dan celananya compang-camping berlumur tanah liat.
Kamis siang pekan lalu, bersama dua rekannya, warga Pesanggaran itu baru selesai memahat dinding batu di ceruk sedalam lebih dari 20 meter. Untuk bernapas, mesin blower mini memompa oksigen lewat selang ke dasar lubang.
Tiga kawannya bertugas di atas untuk mengerek timba berisi potongan batu yang mungkin mengandung logam incaran mereka: emas. ”Sudah setahun, tapi belum dapat,” kata Purwanto. Toh, lelaki yang meninggalkan profesi lamanya sebagai petani itu bersumpah tak putus asa. ”Kami akan terus mencari sampai dapat.”
Nasib Gafur, 40 tahun, lebih baik ketimbang Purwanto dan kawan-kawan. Delapan bulan menggali, dia dan sembilan rekannya sukses mendulang 1,7 kilogram bijih emas. Hasilnya dijual kepada seorang penadah di Pesanggaran seharga Rp 350 ribu per gram.
Dua pertiga duit hasil penjualan menjadi jatah ”bos” yang selama ini memodali berbagai alat tambang tradisional. Sisanya dibagi rata, sekitar Rp 17 juta per orang. ”Saya pakai untuk membeli sepeda motor,” kata warga Pesanggaran yang dulu karyawan alih daya pembangunan menara seluler ini.
Beberapa tahun terakhir, Gunung Tumpang Pitu layaknya gadis cantik di tengah kerumunan jejaka. Ratusan bahkan ribuan penambang liar seperti Purwanto dan Gafur bekerja berkelompok, sebanyak 5-10 orang, di lubang-lubang galian beratapkan terpal. Sebagian penambang itu datang dari Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.
Jauh sebelum penambangan liar marak, giri yang terletak sekitar 65 kilometer ke arah barat daya dari pusat Kota Banyuwangi ini sudah menarik perhatian tambang modern. Itu berawal dari survei potensi mineral oleh Lebong Tandai Group, milik pengusaha Jusuf Merukh, pada medio 1980-an di pesisir selatan Jember dan Banyuwangi. Dua wilayah ini diduga bagian dari wilayah kaya emas yang berjejer hingga Nusa Tenggara Timur.
Perhutani Banyuwangi Selatan mencatat empat proposal masuk sejak 1996. Dua perusahaan yang pertama masuk secara berturut-turut adalah PT Hakman Platina Metalindo dan PT Banyuwangi Mineral, yang juga milik Jusuf Merukh. Proyek kedua perusahaan batal, hingga pada 2006 muncul permohonan PT Indo Multi Niaga (IMN) dan PT Pitung Gunung, yang bersaing memperoleh konsesi.
Belakangan, Pitung Gunung mengundurkan diri. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memberikan kuasa pertambangan kepada IMN. Luas lahannya yang kemudian dinamai tambang Tujuh Bukit mencapai 11.621,45 hektare. Setahun kemudian, IMN mengantongi izin pinjam pakai lahan seluas 1.987,80 hektare dari Kementerian Kehutanan—saat itu Departemen Kehutanan—untuk memulai eksplorasi. Izin ini diperpanjang untuk ketiga kalinya awal Juli lalu.
Pengeboran IMN dan mitranya asal Australia, Intrepid Mines Limited, menunjukkan hasil luar biasa. Tiga dari rencana lima zona eksplorasi pada 2009 memperlihatkan potensi emas Tujuh Bukit mencapai 2 juta ounce dan perak 80 juta ounce. Nilai tambangnya ditaksir sekitar US$ 5 miliar.
Gunung Tumpang Pitu mungkin berkilau bagi IMN dan penambang liar seperti Purwanto dan Gafur. Tapi peluang memperoleh duit jutaan rupiah bahkan miliaran dolar itu harus dibayar mahal. Ngadeni, 68 tahun, sesepuh Desa Pesanggaran, yang rumahnya hanya sekitar 50 meter dari area penambangan, masih ingat betapa asrinya alas jati Tumpang Pitu dahulu kala. ”Sekarang tanahnya rusak akibat penambangan,” katanya.
Beberapa bagian hutan kini gundul. Warna hijau dedaunan berganti jadi cokelat tanah liat. Celakanya, banyak penambang meninggalkan lubang bekas galian dalam kondisi tetap menganga. Berbagai perlengkapan tambang tradisional dan sampah plastik berserakan.
Kondisi itu menyulut protes lembaga swadaya masyarakat, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, dan Islamic Centre for Democracy and Human Rights Empowerment (ICDHRE) Banyuwangi. Empat tahun terakhir, mereka mempertanyakan pemberian izin tambang untuk IMN.
Wahana Lingkungan Hidup dan Jaringan Advokasi Tambang berfokus pada kekhawatiran terhadap bencana lingkungan. Adapun ICDHRE, yang satu dasawarsa terakhir mendampingi kelompok tani dan nelayan, gelisah terhadap nasib potensi ekonomi lokal. ”Kami bukan anti-pembangunan, tapi jangan membunuh kawasan ini!” kata Rosdi Bahtiar Martadi, anggota Komunitas Pemuda Pencinta Alam, yang berafiliasi dalam Jaringan Advokasi Tambang, Kamis pekan lalu.
Sebagian lahan untuk kegiatan eksplorasi itu berada di kawasan hutan lindung. Batas terluar dari kuasa pertambangan IMN hanya 4,7 kilometer dari Taman Nasional Meru Betiri, yang dikenal sebagai rumah terakhir bagi harimau Jawa (Panthera tigris sondaica).
Tak hanya itu. Gunung Tumpang Pitu juga berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan debit 30 liter per detik, sangat tinggi untuk menjamin ketersediaan air bawah tanah dan sungai-sungai di sekitarnya. Rusaknya lingkungan dikhawatirkan mengganggu pasokan air untuk sungai-sungai yang selama ini mengairi lahan pertanian di Banyuwangi bagian selatan.
Masalahnya, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) IMN menyebutkan setiap hari perseroan butuh 2,04 juta liter air untuk memisahkan bijih emas. Kebutuhan itu akan disedot dari Sungai Kalibaru dan Gonggo. Sungai Kalibaru dan Setail selama ini mengairi sawah di enam kecamatan di sekitar Gunung Tumpang Pitu. ”Pasti berebut. Belum ada tambang saja kadang kurang,” kata Edhi Sujiman, Koordinator Daerah ICDHRE yang juga petani di Kecamatan Tegal Delimo.
Limbah tambang IMN juga berpotensi merembes ke laut. Proses pemurnian emas dari logam lain menggunakan sianida. Laporan amdal PT IMN menyebutkan perseroan akan membuang limbah pemurnian (tailing) sebanyak 2.361 ton per hari ke Teluk Pancer di sebelah barat Tumpang Pitu. ”Memang mereka mengolah limbah itu, tapi apa yang bisa menjamin tak ada sianida yang tersisa ke laut?” ujar Edhi.
Dia yakin nelayan dan industri perikanan di selatan Banyuwangi akan kolaps kalau zat kimia itu mencemari laut. Padahal, selama ini, tangkapan ikan lima pelabuhan di pantai yang berdekatan dengan Tumpang Pitu, yakni Muncar, Pancer, Grajagan, Blimbingsari, dan Wongsorejo, lebih dari 50 ribu ton setahun.
Salah satu pemilik perusahaan pembekuan ikan di Muncar, Muhammad Jakfar, berikrar menolak penambangan emas di Tumpang Pitu. ”Sampai kapan pun akan tetap kami tolak,” ujarnya Jumat pekan lalu. Menurut dia, ada 50 usaha pembekuan ikan di pesisir pantai selatan Banyuwangi. Di Muncar berdiri sedikitnya 100 perusahaan ikan, dari pembekuan, sarden, penepungan, hingga produksi minyak ikan. ”Ribuan karyawan akan menganggur kalau sampai bisnis ini tutup.”
Pramono Triwahyudi, Community Development Manager IMN, menilai kekhawatiran masyarakat terlalu dini. Saat ini IMN baru melakukan eksplorasi dan untuk menuju eksploitasi harus melewati beberapa tahapan, termasuk—yang terpenting—melakukan studi kelayakan. ”Di situ kami akan menguji kelayakan teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan proyek ini,” katanya Jumat pekan lalu. ”Yang sudah pasti, kami berkomitmen akan meminimalisasi dampak negatif.”
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori mengatakan izin pinjam pakai yang diberikan Kementerian baru untuk kegiatan eksplorasi. Dia menjamin Kementerian akan mengecek ulang amdal IMN sebelum menerbitkan izin eksploitasi. ”Akan kami survei kebenarannya di lapangan,” ujarnya.
Jika ternyata penambangan berdampak negatif bagi wilayah tersebut, Kementerian akan menolak permohonan izin eksploitasi. ”Atau hanya sebagian kecil area yang kami izinkan,” kata Darori. ”Jadi masih jauh.”
Mereka yang menolak hadirnya tambang emas Tujuh Bukit sejauh ini tak bisa berbuat banyak. Upaya mereka mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta politikus di Senayan selama tiga tahun terakhir tak membuahkan hasil.
Meski produksi emas IMN belum dimulai, tanah di Gunung Tumpang Pitu hingga detik ini terus dijarah. ”Apalagi sudah banyak teman yang masuk angin,” kata Edhi mengistilahkan beberapa kawannya yang berbalik arah menjadi bohir penambang liar. Toh, Rosdi tetap optimistis dengan perjuangannya. ”Kami menunggu sambil menyiapkan strategi.”
Agoeng Wijaya, Ika Ningtyas (Banyuwangi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo