Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada resep baru penangkal kerusuhan. Bukan dengan senapan mutakhir atau pasukan khusus yang angker, tapi dengan sayur lodeh. Yang lebih ajaib lagi, masakan bersantan ini bukan saja bisa mencegah kerusuhan, tetapi bermacam soal yang memusingkan rakyat, misalnya harga sembako yang melambung, perkelahian massal, kecelakaan, atau perampokan.
Kesaktian sayur lodeh, yang konon lebih unggul ketimbang pasukan Kopassus dan Marinir iniapalagi Kamra dan Pam Swakarsasedang gencar dipromosikan di seantero Yogyakarta. Melalui selebaran berbahasa Jawa halus (kromo inggil), masyarakat dianjurkan menjalankan serangkaian prosesi tolak bala dengan sayur lodeh ini. Tujuannya, untuk mencegah pagebluk alias kekacauan dahsyatyang puncaknya diramal para nujum Keraton Yogyakarta bakal terjadi 9 September 1999. Tahap ''prosesi sayur lodeh" ada beberapa bagian, antara lain memasak lodeh yang berisi tujuh, sembilan, dan sebelas macam sayur, seperti labu siam, bayam, kacang panjang, nangka muda, daun kemangi, dan daun melinjo.
Ternyata kampanye lodeh itu dipatuhi sebagian penduduk Yogya, dengan ikhlas, senang hati, jujur, dan nrima. ''Sudah sampai lodeh yang ketujuh atau yang kesembilan, Jeng? Kalau belum, ini saya punya bahannya," begitu percakapan yang kerap terdengar di antara ibu-ibu yang bertukar informasi. Lalu di mana letak kesaktian lodeh itu? Rupanya, perhatian di antara sesama itulah inti kesaktian pesan yang dipercaya datang langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwono X itu. ''Saya jadi lebih sering bertegur sapa dengan tetangga gara-gara lodeh," kata Sri, penduduk Wirobrajan. Bagus. Jadi, kalau tali persaudaraan lebih erat (dengan saling menyapa ''apa sudah nyayur lodeh, Jeng?") ulah provokator bisa tak mempan. Bagaimana kalau diusulkan ada ''gerakan sayur lodeh nasional?"
Tanda Kasih Buat Wakil Rakyat |
Apa boleh buat, uang kadeudeuh (tanda kasih) yang diangankan anggota DPRD Tingkat I Jawa Barat belum jadi mampir. Tadinya, H.A. Nurahman, Ketua DPRD Jawa Barat, mengusulkan agar pemerintah daerah memberi tanda kasih kepada seratus anggota dewan yang masa jabatannya berakhir Juni nanti. Tak tanggung-tanggung, nilai total kadeudeuh Rp 6,8 miliar, karena tiap orang menerima Rp 68 juta.
H. Nuriana, Gubernur Jawa Barat, menyetujui usul ini. Alasannya kuat, para anggota dewan sudah berbakti meskipun masa jabatannya tak genap lima tahun. Selain itu, kadeudeuh sudah jadi tradisi di Indonesia, walau bahasanya bisa beda-beda. ''Biasanya, anggota dewan diberi tanah. Rencananya, uang kadeudeuh ini juga akan dibelikan tanah," kata Nuriana, yang menyebutkan dana Rp 6,8 miliar akan diambil dari pos APBD 1998/1999.
Sayangnya, usul kadeudeuh ini terganjal oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, yang bukan orang Sunda. Alasan Menteri, bukan karena uang pesangon itu disebut dalam bahasa daerah, tetapi jumlahnya terlampau besar. Penolakan ini, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sekarat, ternyata disetujui banyak orang. Banyak pos yang jauh lebih pentingmisalnya susu untuk bayiketimbang sekadar tanda kasih buat wakil rakyat. Kalaupun bukan susu bayi, ya, dana pendidikan, misalnya, yang tahun 1998/1999 hanya diongkosi Rp 1,9 miliar di Tanah Parahyangan.
Toh Nuriana belum menyurutkan niat memberi kadeudeuh. ''Yang jadi soal kan angkanya. Kadeudeuh-nya pasti disetujui," kata Nuriana, yang kini sedang mengutak-atik angka yang terasa lebih pantas. Seorang sumber TEMPO menyebut, proposal yang baru itu nilainya sekitar Rp 5 miliar. Eta mah, tetep besar atuh, Pak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo