TERAPI genetis telah lama melambungkan harapan begitu tinggi, tapi sangat kecil realisasinya. Bagaimana orang tak berharap banyak kepada terapi genetis? Segala penyakit, bahkan infeksi sekalipun, berkaitan dengan komponen genetis. Sebab, memang tak ada cara yang lebih baik dari memperbaiki kerusakan genetis yang menimbulkan penyakit itu—bukan cuma menyembuhkan gejalanya.
Harapan banyak penderita penyakit yang sulit diobati itu kini boleh bersemi kembali. Awal tahun ini, para ilmuwan dari University of Pennsylvania di Philadelphia, Amerika Serikat, berhasil membuktikan bahwa pada binatang, terapi genetis bisa dilakukan untuk memperbaiki kerusakan genetis yang menjadi sumber penyakit.
Percobaan yang dilakukan pada 54 kera milik Institute for Human Gene Therapy berhasil memperlihatkan protein penyembuh (therapeutic protein) yang dihasilkan setelah tubuh kera dimasuki gen baru. Gen baru itu disusupkan ke dalam tubuh kera melalui virus—makhluk yang dapat memfokuskan diri pada sel yang spesifik, menembus lapisan pelindung sel, dan masuk ke dalam materi genetis, sel DNA (asam deoksiribonukleat).
Menurut Dr. James Wilson, Direktur Institute for Human Gene Therapy, yang bergabung dalam penelitian ini, pada pertengahan 1980-an virus yang digunakan sebagai kendaraan adalah virus tikus yang dilemahkan. Ternyata virus ini hanya menginfeksi sel-sel yang sedang membelah saja. Perhatian kemudian dialihkan pada adenovirus, virus penyebab influenza. Virus ini ternyata merupakan kendaraan yang sangat baik karena bisa menyusupkan gen ke dalam beragam jenis sel manusia. Sayangnya, pembentukan protein penyembuh oleh gen baru itu hanya bisa berlangsung selama delapan minggu karena sistem kekebalan tubuh akhirnya mengenalinya sebagai "makhluk asing" yang harus dihalau.
Akhirnya, Wilson menggunakan sistem baru dengan menggunakan virus gabungan adeno (adeno-associated virus). Virus kecil ini hanya memiliki dua gen yang bisa dicopot sehingga hanya tertinggal kepala dan ekornya saja untuk membawa gen penyembuh ke sel sasaran. Virus ini ternyata tidak terlalu merangsang perlawanan dari sistem kekebalan tubuh.
Sistem baru itu mengombinasikan penyusupan virus dengan obat rapamycin, yang akan mengaktifkan gen yang dibawa virus. Jadi, gen bisa saja telah menyusup ke dalam tubuh, tapi tak akan beraksi apa pun tanpa rapamycin. Seperti dilaporkan The New York Times, cara ini telah sukses dicobakan pada tikus dan kera. Wilson menggunakan gen untuk memperbaiki hormon erythropoitein, hormon yang memicu sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Oleh virus, hormon erythropoitein dibawa masuk melalui sel-sel otot. Agar binatang ini tak terkena stroke gara-gara meningkatnya sel darah merah, sebagian darah binatang ini diambil kalau kandungan darahnya sudah meninggi.
Cara semacam itulah yang kelak diharapkan bisa diterapkan pada penderita gagal ginjal, yang kini harus selalu menjalani dialisis atau cuci darah. Kelak, mereka diinjeksi erythropoitein dari tubuh mereka sendiri melalui sel otot, dan diaktifkan setiap bulan dengan pil rapamycin.
Itu hanyalah salah satu dari banyak proyek yang dikerjakan Wilson dan para koleganya. "Kami mengerjakan untuk berbagai penyakit," kata Wilson. Disebutnya antara lain koreksi genetis untuk penyakit hati, mata, paru-paru, dan sel-sel otot.
Percobaan yang dilakukan Dr. Jean Bennett, kolega Wilson, juga berhasil membuktikan bahwa teknik semacam itu bisa mengatasi kerusakan retina mata karena kerusakan genetis. Cacat yang tidak bisa diobati ini disebabkan oleh kerusakan salah satu enzim yang membantu mengubah cahaya menjadi sinyal saraf. Benneth menginjeksikan virus pembawa gen baru ke bagian belakang retina yang selanjutnya akan masuk ke sel retina hewan percobaan. Hasilnya, baik pada tikus maupun anjing, penglihatan menjadi normal kembali selama tujuh minggu lebih. "Sungguh menyenangkan melihat mata anjing bisa mengikuti gerakan jari saya," kata Bennett.
Dengan semua keberhasilan itu, harapan besar telah kembali disemaikan para ilmuwan kepada jutaan manusia di dunia. Namun jalan panjang masih harus ditempuh. Selain harus lebih banyak lagi didukung bukti—agar bisa mendapat izin untuk dipergunakan manusia—biaya yang dibutuhkan untuk membangun sistem pengobatan ini juga sangat mahal. Untuk membangun pabrik virus saja, diperlukan tak kurang dari US$ 5 juta. Belum lagi biaya operasionalnya yang berlipat-lipat, antara lain karena baju-baju yang harus selalu dibuang agar tidak terkontaminasi virus-virus yang tengah berbiak.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini