Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lolos dari tiananmen

Kisah mahasiswa universitas qinghua, beijing, liu xiang,23. ia aktivis gerakan demokrasi menentang pemerintah cina. kini menetap di new york, as.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah salah satu contoh bagaimana aktivis mahasiswa Beijing bisa melarikan diri keluar dari Cina dengan bantuan Triad. Liu Xiang berkisah kepada wartawan New York Times Magazine, yang kemudian menuliskannya di majalah itu, edisi Mei lalu. "APAKAH kamu dibuntuti?" tanya Liu Xiang. Di Beijing, kala cuaca September 1990 begitu cerah. Sebagai buron, Liu seperti bukan mahasiswa Fisika di Universitas Qinghua, Beijing, yang cerdas. Ia tampak lain dengan kecemasannya yang merundungnya. Dan di sebuah rumah makan di pusat Beijing ini, Liu jelas kelihatan kehilangan selera makan malamnya. "Mereka tampaknya sudah mencium jejak," kata Liu berbisik. "Polisi mencariku di semua sudut Beijing. Saya harus cepat-cepat pergi. Sekaranglah waktunya untuk lari ke Hong Kong. Bila tidak, habislah kesempatan." Kurus, dengan potongan rambut pendek, mahasiswa berusia 23 tahun itu ikut aktif dalam Aksi Demokrasi Mahasiswa Beijing dua tahun lalu. Meskipun pada mulanya ia ogah terlibat. Sebab, "Sekali kamu dianggap salah, tak lagi ada tempat di Qinghua," kata mahasiswa yang sampai waktu itu tak menolak komunisme, karena "yang diperlukan adalah reformisme". Liu -- yang bapaknya adalah seorang perwira dalam Tentara Pembebasan Rakyat dan mati tertembak dalam satu pertempuran di masa Revolusi Kebudayaan -- tahu benar, betapa susahnya untuk bisa diterima di Qinghua (semacam Institut Teknologi Bandung). Tapi, bisakah Liu mengelak? Ketika itu, Mei 1989, suasana di Beijing sedemikian rupa, hingga sulit bagi seorang mahasiswa menjauhkan diri dari aktivitas yang sedang berjalan di Tiananmen. Ataukah karena mereka memang melibatkan diri dan mendukung gerakan Aksi Demokrasi, atau mereka takut dimusuhi para aktivis mahasiswa. Seperti halnya banyak mahasiswa Beijing yang lain, akhirnya, Liu pun ambil bagian. Pada mulanya, ia bertugas di pos palang merah. Ia mengurus ambulans, untuk menolong teman-temannya yang melakukan mogok makan. Bahkan kemudian ia tak bisa menolak dimintai bantuan memasang alat-alat pengeras suara di sekeliling Tiananmen. Liu pun berperan sebagai humas mahasiswa, terutama meladeni wartawan-wartawan asing yang ingin meliput gerakan ini. Akhirnya, meledaklah peristiwa 4 Juni. "Kami sebenarnya sudah siap menghadapi gas air mata," tutur Liu. Tapi yang disemprotkan oleh Tentara Pembebasan Rakyat, yang diperintahkan membubarkan aksi mahasiswa, adalah peluru panas betulan. "Kami terkejut," kata Liu pula. Aksi brutal tentara Cina itu tak cuma membawa korban-korban, tapi juga menimbulkan krisis kepercayaan terhadap Partai Komunis Cina. "Semua yang kami yakini dari Partai Komunis lenyap seketika itu," kata Liu. Mahasiswa ini selalu menolak tuduhan temannya, seorang Kepala Biro New York Times Magazine di Beijing -- pada siapa ia mengisahkan cerita ini -- bahwa ia melawan Partai Komunis Cina. Tapi, sejak 4 Juni 1989, kepercayaan Liu pada Partai Komunis Cina habis. Ia melihat dengan mata kepala sendiri, betapa Tentara Pembebasan Rakyat menyerbu mahasiswa bak melawan pasukan asing yang menjarah Beijing. Dua peluru berdesing dekat Liu. Ia mengaku ikut membakar sebuah kendaraan militer. Seperti kemudian diketahui: Aksi Demokrasi bubar, sejumlah korban jatuh, sejumlah mahasiswa ditahan. Para aktivis mahasiswa, yang bisa lolos, main kucing-kucingan dengan tentara dan polisi. Di kampus Qinghua, polisi melakukan interogasi kepada mahasiswa, termasuk Liu, hampir tiap hari. Dari pertanyaan-pertanyaan para interogatornya, Liu tahu bahwa para polisi ini tak tahu persis apa yang ia lakukan di Tiananmen waktu itu. Mereka ingin mengorek hubungan Liu dengan para pemimpin mahasiswa, dan hubungannya dengan suami-istri wartawan New York Times Magazine. Dan ini memang yang ia ceritakan, tapi tak sedikit pun disinggungnya bahwa ia ikut memasang pengeras suara di Tiananmen, dan membakar sebuah kendaraan militer. Ia pun mengaku bertemu dengan wartawan Amerika ini baru ketika peristiwa Tiananmen ini, dan ini pun cuma beberapa kali dan hanya beberapa menit. "Perhitungan saya, bila saya bohong, saya bisa meneruskan belajar dan lulus, dan hidup dengan normal," kata Liu. Yang mungkin tak banyak diketahui dunia adalah: waktu itu, hampir semua anggota civitas academica mencoba membantu mereka yang diinterogasi. Misalnya, mereka memberitahukan kepada Liu bahwa polisi hanya tahu ini dan itu, maka jangan berbicara lebih daripada itu. Seorang yang tak bisa disebutkan identitasnya memberi Liu fotokopi diploma Universitas Qinghua atas namanya, untuk digunakan bila perlu. Rasanya, interogasi tak akan pernah selesai. Sampai menjelang kuliah musim gugur pun, polisi masih nongkrong di kampus. Dan makin banyak aktivis mahasiswa yang tak balik ke kampus, bersembunyi di Beijing maupun di luar Beijing, tertangkap. Liu mulai cemas, bila makin banyak mahasiswa yang kenal dengan dia tertangkap. Kebohongannya bisa terbongkar. Maka, ia merencanakan melarikan diri. Dan ke mana lagi bila bukan ke Shenzen, kota di perbatasan dengan Hong Kong. Inilah kota yang dibangun sejak beberapa tahun lalu, sebagai daerah industri dan perdagangan mirip Hong Kong. Dan para pengusaha pabrik mainan anak-anak dan garmen Hong Kong menangkap kesempatan ini dengan cepat. Mereka memindahkan pabrik ke Shenzen, untuk mendapatkan buruh murah. Maka, dengan cepat, kota agraris kecil tak terkenal ini, yang semula berpenduduk 1,9 juta, menjadi boom. Tahun ini, penduduk Shenzen bertambah dengan dua juta penghuni. Mereka adalah warga RRC yang bekerja di sejumlah pabrik milik pengusaha Hong Kong di Shenzen. Hampir di semua wilayah di Cina, perumahan dibagikan oleh pemerintah. Hanya di Beijing, dan terutama Shenzen, seorang warga RRC bisa mendapatkan pekerjaan sendiri dan menyewa apartemen sendiri. Di sini, pengawasan aparat keamanan memang kendur. Akibatnya, kriminalitas pun berjangkit. Terutama kriminal terorganisasi macam Triad (diturunkan dari dialek Kanton, yang artinya "tiga penyangga masyarakat" -- langit, bumi, dan manusia). Tampak lahir, antara seorang pemimpin Triad dan seorang pengusaha memang sulit dibedakan. Mereka bisa saja sama-sama memiliki sebuah toko di kawasan Jalan Zhongying, kawasan pertokoan dekat perbatasan di Shenzen. Ini memang kawasan untuk orang asing. Warga RRC sendiri perlu surat izin untuk jalan-jalan di sini. Di kawasan Zhongying itu, toko-toko menjual apa saja -- mirip di Hong Kong -- bahkan juga majalah porno. Maka, seorang anggota Triad bisa saja resminya ia penyewa sebuah kios, di balik itu, ia melakukan segala macam: dari penyelundupan sampai pemerasan, dari perampokan sampai menyelenggarakan pelacuran. Menurut polisi Shenzen, setengah tahun terakhir tahun lalu, 60 jaringan penjahat dibongkar di Shenzen. Di kota Shenzen inilah, Liu Xiang berharap bisa bekerja tanpa dicurigai. Dengan surat-surat dari guanxi (koneksi tertentu), Liu akhirnya bisa bekerja masuk Shenzen, September 1989. Surat-surat keterangannya menyatakan bahwa ia tak terlibat peristiwa Tiananmen. Akhirnya sebuah perusahaan, yang mengageni perusahaan perkapalan asing yang mencari pelaut Cina, mau menerima Liu. Di Cina, sebuah negeri, yang hampir di semua bidang dicampuri oleh negara, guanxi menjadi jaringan penting bagi mereka yang hendak mengambil jalan pintas, atau jalan "tak haram". Hubungan khusus inilah, umpamanya, yang bisa mempercepat seorang karyawan pemerintah memperoleh apartemen yang baik. Hubungan ini pula, misalnya, yang bisa meminjamkan modal bagi yang hendak membuka usaha rumah makan. Dan di Shenzen, guanxi pun menembus sampai ke dunia hitam, ke dunia Triad. Dan ke sinilah akhirnya Liu Xiang sampai. Mahasiswa Fisika ini mengaku kaget ketika bertemu dengan para pemimpin Triad. Ternyata mereka tak seperti yang digambarkan dalam film-film kung fu. Bukan orang-orang kasar, yang sebentar-sebentar memelototi orang, lalu menyambar leher baju, dan kemudian tinju melayang. Para bos bandit terorganisasi ini ternyata orang-orang terpelajar, berdasi, berbahasa halus, berkantung tebal. Sampai di situ, pelarian Liu ke Hong Kong sudah rapi terencana. Dengan kartu identitas palsu, yakni kartu seorang pelaut yang melamar ke kantornya, Liu sudah bersiap-siap menyeberang. Malang, hambatan justru datang dari cara kerjanya yang sangat baik di perusahaan itu. Ceritanya, bos perusahaan ini terkesan oleh kerja Liu. Ia berniat menjadikannya pegawai tetap. Maka, dalam satu perjalanan bisnis ke Beijing, si bos mampir ke Universitas Qinghua, untuk sekadar lebih tahu latar belakang calon pegawai tetapnya. Betapa kagetnya si bos setelah ia membaca file tentang Liu, yang ia peroleh lewat guanxi-nya. Ternyata, karyawan teladannya ini dicari oleh yang berwajib, karena melarikan diri di tengah interogasi. Bos ini masih patut dipuji, karena ia tak mengatakan kepada siapa pun di Beijing bahwa Liu berada di Shenzen. Setiba kembali di Shenzen, Liu langsung diberhentikannya. Dalam keadaan seperti itu, Liu tak punya pilihan: ia pun bergabung dengan Triad. Ia bergerak di pasar gelap. Di kota yang orang-orangnya lebih suka menerima uang dolar Hong Kong, apalagi Amerika, daripada menerima uang RRC, yakni yuan, Liu mencetak uang dengan mudah. "Dalam waktu singkat, saya punya banyak uang, tuturnya. Liu sebenarnya sudah cukup mengamankan diri. Ia punya koneksi di Biro Keamanan Masyarakat Shenzen. Tapi cara kuno pun bisa bekerja di sini: lempar batu sembunyi tangan. Tiba-tiba saja, dua polisi Beijing tiba di Shenzen, mengusut ke sana kemari, mencari mahasiswa Liu Xiang. Biro Keamanan Shenzen rupanya mengontak Biro Keamanan Beijing, memberikan informasi tentang Liu. Liu pun memutuskan, sebelum terlambat, untuk lari ke Hong Kong. Ia mulai menghafalkan peta jalan-jalan di Shenzen maupun Hong Kong di sekitar perbatasan. Ia pun mulai mengamati perilaku dan penampilan turis Hong Kong. Dua hal ia catat sebagai hal yang penting: turis selalu memakai sepatu mahal, dan potongan rambutnya khas. Satu lagi, mereka suka memakai celana jeans. Maka Liu masuk salon mahal, membeli sepatu impor, dan membeli beberapa celana jeans. Satu-satunya yang tak bisa ia ubah adalah tambalan giginya, yang kentara sekali hasil pekerjaan dokter gigi RRC. Ia merencanakan lari lewat Jalan Zhongying. Ini pelarian murah. Sebab, bila ia harus memutar lewat laut, ongkos sewa kapal mahal. Dengan dua orang temannya, Liu menyogok pejabat Shenzen sekitar Rp 200.000 -- ini sama dengan gaji sebulan seorang profesor di universitas, atau gaji beberapa bulan seorang pekerja pabrik -- untuk mendapatkan izin masuk Zhongying. Singkat cerita, semuanya berjalan lancar. Di Zhongying, dengan rapi, mereka bertiga menyelundup masuk daerah Inggris, dan selamat sampai di pantai yang memisahkan Hong Kong dengan daratan Cina. Dengan perahu motor yang mungkin sudah dipersiapkan oleh Triad, sewaktu ada pergantian penjaga pantai, mereka menyeberangi selat. Hari itu, 22 April 1990, Liu dan dua temannya mendaki sebuah bukit untuk kemudian turun ke jalan raya di Hong Kong. Dan seperti sudah direncanakan, mereka naik kendaraan umum ke Universitas Cina. Liu disambut para mahasiswa universitas ini sebagai pahlawan. Universitas Cina, selama berlangsung demonstrasi Aksi Demokrasi Mahasiswa di Beijing, mengirimkan wakil-wakilnya. Tampaknya, Liu tak lagi punya hambatan untuk hidup bebas. Liu dan dua kawannya diinapkan di sebuah gedung, yang tampaknya tempat tahanan. Ada polisi penjaganya. Tapi mereka tak diperlakukan sebagai tahanan. Dan, rasanya, memang tak ada masalah. Liu menyimpan dokumen yang menyatakan bahwa ia lari dari Cina karena alasan politik, terlibat gerakan demokrasi. Pada hari ketujuh, di tempat itu, penjaga menyuruh mereka bekemas-kemas. Sesudah itu, penjaga itu menjabat tangan ketiganya, dan berharap semuanya berjalan baik. Liu merasa sangat lega. Tapi, begitu kendaraan datang, ia kaget setengah mati. Yang datang adalah bis panjang, yang ia tahu biasanya untuk membawa imigran gelap dari Cina Daratan balik ke negerinya -- tiap harinya, rata-rata 100 imigran Cina dipulangkan dari Hong Kong. Kendaraan itu bukan yang membawanya dari Universitas Cina ke tempat ini seminggu yang lalu! Yang sedikit melegakan Liu, bis yang membawanya adalah bis Hong Kong, bukan milik Pemerintah Cina. Polisi Cina tak akan menggeledah bis ini. Maka dokumen yang menyatakan keterlibatannya dalam Aksi Demokrasi, ia sembunyikan di bawah tempat duduk. Ia tahu persis bahwa dokumen itu bakal mempercepat dan memperberat hukuman baginya di Cina. Pada pemeriksaan sesampainya di Shenzen, Liu berbohong bahwa ia pekerja dari Xian -- kota pariwisata di antara Beijing dan Shenzen. Ia pun minta izin menelepon temannya. Ada sedikit kesempatan untuk bebas, setelah temannya itu menyuap petugas. Tapi petugas itu, yang menerima suap dengan senang, minta satu syarat lagi: surat bebas perbuatan kriminal. Di Shenzen, apa pun bisa dibeli, kecuali surat keterangan satu ini. Akhirnya, Liu tak jadi bebas. Ia dikirim ke Penjara Zhangmutou dan kemudian ke Yangcun. Keadaan penjara sungguh sumpek. Satu ruang sel untuk 40 orang, dan satu tempat tidur besar untuk sepuluh orang. Tapi paling membuat menderita: jatah makanan sangat sedikit di sini. Maka, bila ada makanan terjatuh di lantai -- karena si pemakan ceroboh -- orang berebut mengambilnya untuk langsung dimasukkan ke mulut. Meski risikonya sungguh tak sepadan: digebuki penjaga penjara. Liu, yang tingginya lebih dari 170 cm dengan berat badan 86 kg ketika masuk, beratnya turun menjadi 147 kg tujuh minggu kemudian. Siksaan lain, nyamuk luar biasa banyaknya, dan tempat tidur menjadi kerajaan kepinding. Di penjara ini ada bos di setiap sel. Liu tahu ini. Maka, begitu masuk sel, ia langsung bertanya siapa bos, dan langsung memberikan upeti: arlojinya. Dengan cara ini, di samping kenyataan bahwa tubuhnya paling besar di antara mereka, ia segera saja menjadi pesakitan kedua yang paling ditakuti di selnya. Maka, ketika bos sel dipindah ke sel lain, Liu menggantikan kedudukannya. Tapi kedudukannya ini menyebabkan ia mendapat hukuman. Suatu hari, ia memerintahkan tukang pukulnya menghajar pesakitan yang baru masuk karena ia dicurigai menyembunyikan uang. Penjaga tahu, dan Liu dipanggil. Liu dipukuli, dan kemudian dimasukkan ke sel khusus dengan tangan terborgol di punggung. Setelah tersiksa di sel sempit, basah, dan hanya ada lubang untuk buang kotoran -- dan tersumbat -- ia dikembalikan ke sel semula. Selama di penjara, Liu mencoba mempertahankan semangat hidupnya dengan selalu menggumamkan lagu pop Cina berjudul Saya tak punya apa-apa. Satu-satunya yang ia cemaskan adalah ibunya. Bila ibunya itu sampai tahu bahwa anaknya dalam penjara, oh, ia sungguh akan sangat menderita. Sesungguhnya, Liu mendapat perlakuan agak lain di penjara, karena ia tak dituduh berbuat kriminal. Ia dituduh sekadar menjadi imigran gelap. Maka ia tetap diperkenankan memakai pakaiannya sendiri, bukan seragam penjara. Ini membuatnya berani ambil risiko untuk lari. Di kamp-kamp kerja narapidana di Cina, penjagaan memang tak begitu ketat, karena diperhitungkan, siapa pun yang lari tak bakal menemukan tempat berteduh di wilayah sekitar penjara. Pada 22 Juni 1990, dengan tujuh rekan sepenjara, Liu bekerja di kebun sayur. Hanya ada tiga penjaga. Liu beringsut pelanpelan ke pinggir kebun, sampai ia bisa menyelinap ke balik pagar. Ia berhenti sebentar, dan siap menjawab "sedang buang air" bila penjaga melihatnya. Tapi tidak. Maka ia pun merangkak lebih jauh, dan akhirnya di balik pagar berikutnya, Liu lari. Sesampai di jalan raya, ia ikut truk sampai di Kanton. Ia menemui temannya, dan dengan uang temannya, ia naik kereta api ke Beijing Liu memang buruan, tapi teman-temannya menyambutnya dan menyembunyikannya dengan baik. Ini semua ia lakukan karena ada yang berubah dalam dirinya. Ia bukan lagi mahasiswa cerdas, yang semula ogah-ogahan ikut demonstrasi. Tapi ia adalah Liu yang sudah merasakan hidup keras di penjara, dan sebelumnya ia sudah mengenal dunia hitam di Shenzen. Setelah ia merasa pulih kembali, dan mencium gelagat polisi mencari seorang pelarian dari penjara, ia memutuskan untuk mengulang lari ke Hong Kong. Jalan semula pun ditempuhnya lagi. Di musim gugur tahun lalu, dengan pertolongan teman-temannya, ia sampai kembali di Shenzen. Kali ini tak begitu mudah menghubungi teman-temannya di Triad. Bahkan beberapa yang hendak menolong dia semuanya tertangkap polisi. Akhirnya, Liu yang sudah matang di dunia keras ini mengambil jalan sendiri. Berdasarkan pengamatannya, para penjaga paling lengah di hari libur. Maka, setelah mempermak diri bak turis, ia bergabung dengan serombongan turis yang pelesir di Jalan Zhongying, pada hari libur Natal 25 Desember. Pada saat kesempatan datang, ia segera menyelinap, dan masuk ke daerah Inggris (Hong Kong). Singkat cerita, sampailah ia di koloni Inggris kembali, bertemu dengan teman-temannya, dan segera menghubungi Pemerintah Hong Kong. Untung, ia tak diharuskan masuk ke tempat penampungan lagi. Tapi ia menemui jalan buntu. Pemerintah Hong Kong sudah menerima keterangan lengkap siapa sebenarnya Liu, namun tetap keberatan memberikan suaka politik. Ini gawat. Tiap saat, ia bisa ditahan dan dikirimkan kembali ke Cina sebagai imigran gelap. Lagi-lagi, tampaknya, Liu harus bergerak sendiri. Dengan cara tertentu -- ia keberatan menceritakannya, peran Triad tampaknya sangat besar di sini -- akhirnya Liu bisa memperoleh guanxi untuk lari ke Amerika Serikat. Pada 12 April lalu, ia sampai di negeri Paman Sam dan pihak imigrasi menerima statusnya sebagai pelarian politik, setelah membaca dokmen-dokumen yang dibawanya. "Saya pikir, saya akan mencintai New York," katanya, di apartemen tempatnya tinggal, di Manhattan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus