SOFYAN Basir tak bisa menyembunyikan kegusarannya. Direktur Utama Bukopin itu kesal lantaran berbagai komentar miring kepada banknya begitu marak belakangan ini. Semuanya berpangkal pada pengucuran kredit imbal dagang sebesar US$ 26 juta yang digunakan untuk membayar uang muka pembelian empat pesawat tempur Sukhoi dan dua helikopter serbu Mill.
Sejak kontroversi Sukhoi mencuat, memang muncul kekhawatiran bahwa Bukopin, yang sebagian besar sahamnya dimiliki Bulog dan koperasi-koperasi, akan mengalami kesulitan gara-gara penggelontoran duit talangan yang besarnya setara dengan Rp 220 miliar itu. Sebuah dokumen bahkan menyebut bank ini bisa terbentur pasal pidana perbankan karena menyalurkan dana kepada pihak terafiliasi melampaui batas maksimal pemberian kredit (BMPK).
Ada lagi kecemasan, kredit ini akan berkembang biak menjadi virus yang akan segera menggerogoti kesehatan Bank Bukopin. Soalnya, bila pengembaliannya tersendat-sendat dan tak dicicil sama sekali, duit talangan itu tak pelak akan dimasukkan ke kategori kredit macet. Buntutnya, Bukopin mesti menyediakan dana cadangan (provisi) dalam jumlah besar.
Penyisihan cadangan itu diperkirakan akan membuat rasio kecukupan modal (CAR) Bukopin anjlok. Saat ini CAR Bukopin 14,13 persen. Bila Bukopin harus menyediakan provisi dalam jumlah besar, CAR-nya diperkirakan bisa longsor sampai di bawah 8 persen, yang menjadi patokan bank sentral. Dan ini berarti kiamat. Bukopin harus masuk pengawasan khusus Bank Indonesia.
Namun, syukurlah, kondisinya ternyata tak seseram itu, setidaknya untuk sementara. Dalam soal pelanggaran BMPK, contohnya. Kendati Bulog adalah pihak yang terkait dengan Bukopin, dalam hal penyaluran kredit imbal dagang, Bulog bisa dianggap sebagai pihak luar. "Statusnya sama, seperti Bank Mandiri menyalurkan kredit kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN)," kata analis perbankan Lin Che Wei, menyebut contoh dua perusahaan yang sama-sama dimiliki negara itu.
Bagaimana dengan kewajiban menyediakan dana cadangan bila pengembalian kredit tersendat-sendat? Kekhawatiran soal ini sempat mengental seiring dengan memanasnya kontroversi pembelian Sukhoi di parlemen. Bila para wakil rakyat menunda atau bahkan sampai tak mengizinkan penggunaan bujet negara untuk membeli Sukhoi, nasib pengembalian dana talangan Bukopin tentu akan terkatung-katung. Dan sesuai dengan skenario awal, Bukopin akhirnya terpaksa menyisihkan provisi.
Tapi, menurut Direktur Utama Bukopin Sofyan Basyir, bayangan suram itu tak akan pernah terjadi. Soalnya, ketika mengucurkan kredit berbunga 15-16 persen itu, Bukopin telah meminta Bulog menyerahkan jaminan. Bentuknya berupa deposito di Bukopin. "Jumlahnya persis sama dengan kredit yang kami keluarkan, yaitu US$ 26 juta," kata Sofyan Basir.
Ihwal jaminan itu pun diakui Direktur Utama Perum Bulog Widjanarko Puspoyo. "Kredit Bukopin bersifat back to back. Mereka memblokir deposito Bulog di sana," ujarnya kepada Eduardus Karel Dewanto dari TEMPO. Jadi? Jika benar begitu, Bukopin tampaknya tak menanggung risiko sama sekali. Bila kreditnya macet, Bukopin tinggal menyisihkan provisi dari jaminan tersebut sehingga tak perlu menggerogoti modalnya. "Duit itu sudah saya pegang, tinggal eksekusi saja," ujar Sofyan lagi.
Kini, belum lagi kontroversi Sukhoi usai, Sofyan bahkan sudah berancang-ancang menyalurkan lagi kredit US$ 1,9 juta. Duit yang setara dengan Rp 17,1 miliar itu akan dikucurkan secara bertahap sampai Oktober kepada para pengusaha yang terlibat dalam proyek imbal dagang Sukhoi, yang meliputi komoditas minyak sawit, kopi, teh, garmen, dan lain-lain. "Jadi, semua untung. Pengusaha mendapat bisnis, pemerintah memperoleh pesawat," ujarnya.
Sampai di sini, semua tampak baik-baik saja. Bukopin seolah telah menunaikan tugasnya dengan rapi. Tapi, menurut seorang bankir yang tak mau disebut namanya, Bukopin tetap perlu dikritik karena tak mengawasi aliran dana talangan imbal dagang, yang ternyata digunakan untuk membayar uang muka pembelian pesawat tempur. "Itu namanya Bukopin tidak prudent," katanya.
Toh, Sofyan bergeming. Ia merasa tak sekuku pun ada masalah dengan langkahnya. Bankir kawakan ini bahkan maju tak gentar. Ia menyatakan bersedia memberikan pinjaman hingga US$ 10 miliar bila kelak ada proyek serupa.
Nugroho Dewanto, Febrina Siahaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini