Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Loyo di Tahun Pemilu

Pertumbuhan pasar properti melambat hingga tahun depan. Penyebabnya pengetatan kredit dan adanya pemilu.

28 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah dua lantai di sebuah cluster perumahan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, itu kosong melompong. Sejak rumah itu selesai dibangun enam bulan lalu, tak pernah sekali pun pemiliknya "mencicipi"-nya, tinggal di sana. Alih-alih menempati, kini sang empunya memutuskan menjualnya. Dibeli dengan harga hampir Rp 1 miliar, rumah bermodel minimalis itu akan dilego Rp 1,2 miliar.

Seorang agen properti, Dede, menuturkan, beberapa rumah lain di kompleks yang letaknya dekat dengan stasiun kereta api Pondok Ranji tersebut bakal dijual. Menurut Dede, sejak awal, pembelinya tampaknya memang tak berniat menjadikannya rumah tinggal. Sebab, "Daripada menyimpan uang di bank, lebih baik dibelikan rumah. Untungnya lebih besar," kata Dede.

Gurihnya bisnis "jual-beli" rumah tecermin dari hasil riset Global Cities­ Index yang diterbitkan konsultan properti Knight Frank. Pada kuartal kedua lalu, harga hunian mewah di Jakarta melesat hingga 27,2 persen. Pencapaian tersebut menempatkan ibu kota negara ini unggul dibanding kota-kota lain di dunia, seperti Dubai, Shanghai, St Petersburg, dan Tel Aviv.

Tapi, ujar Kepala Peneliti Jones Lang LaSalle, Anton Sitorus, melonjaknya harga rumah tak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di sejumlah kota besar lain, seperti Surabaya, Makassar, Yogyakarta, Denpasar, Bandung, dan Balikpapan. Kenaikan harga rata-rata 20-70 persen per tahun. Selain dipicu oleh banyaknya permintaan, melejitnya harga disebabkan oleh makin maraknya kelompok kelas menengah menjadikan properti sebagai ajang berinvestasi. "Rendahnya suku bunga perbankan membuat investor banyak memilih sektor properti," katanya.

Tingginya permintaan rumah oleh spekulan dibenarkan juga oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah. Menurut dia, dari data bank sentral, hingga Mei lalu, lebih dari Rp 31 triliun kredit properti dikucurkan untuk spekulan. Uang ini digunakan buat mengajukan satu atau lebih kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA).

Di Tanah Air, kredit properti tumbuh pesat sejak 2010. Mengacu pada data 2013, kredit bank yang disalurkan untuk pemilikan rumah sepanjang Januari-Agustus naik 31 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Angka tersebut jauh di atas rata-rata pertumbuhan kredit bank secara keseluruhan, yaitu 22,2 persen.

Dibanding apartemen dan rumah toko, kredit yang dikucurkan untuk properti masih didominasi rumah tinggal. Sebesar 88 persen kredit yang dicairkan digunakan untuk mendanai kepemilikan rumah tinggal. Sedangkan pembiayaan untuk apartemen dan rumah toko hanya menelan 4 persen dan 12 persen dari persentase kredit.

Nah, untuk meredam aksi spekulan, bank sentral pun memperketat pendanaan di sektor ini. Salah satu caranya adalah menaikkan uang muka untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Melalui surat edaran Bank Indonesia nomor 15/40/DKMP, masyarakat yang ingin memiliki rumah kedua melalui fasilitas KPR tidak bisa mendapat fasilitas sebesar rumah pertama.

Kebijakan yang berlaku mulai akhir September lalu itu akan diterapkan pada rumah dengan luas di atas 70 meter persegi. Untuk KPR dengan luas lahan tersebut, calon debitor harus menyetor uang muka minimal 30 persen bagi kredit kepemilikan rumah pertama, 40 persen bagi kepemilikan kedua, 50 persen bagi kepemilikan ketiga, dan seterusnya. Selain untuk rumah tapak, kebijakan ini diterapkan buat rumah susun, yakni apartemen, kondominium, flat, griya tawang, serta rumah kantor atau rumah toko.

Juru bicara Bank Indonesia, Peter Jacobs, menyatakan aturan tersebut diterbitkan karena tingginya minat masyarakat berinvestasi di sektor properti. Dampaknya, kenaikan harga menjadi tak terkendali. "Kalau tidak dibatasi, jumlahnya akan terus meningkat. Ini berbahaya bagi perbankan karena potensi gagal bayar tinggi," ujar Peter.

Selain menaikkan uang muka, bank sentral mengeluarkan jurus buat meredam aksi spekulan: melarang pembelian rumah yang belum jadi (inden) untuk hunian yang bukan rumah pertama. KPR untuk rumah kedua dan seterusnya hanya bisa dialirkan buat rumah yang sudah memiliki bangunan fisik. Aturan tersebut merupakan penyempurnaan atas kebijakan pembatasan kucuran kredit alias loan-to-value KPR dan KPA yang berlaku Juni tahun lalu.

Sejumlah aturan tersebut diperkirakan bakal membuat laju pertumbuhan di sektor ini lebih lambat. Karena itulah, tahun depan, sejumlah pihak meramalkan pertumbuhan di sektor properti tak semoncer tahun-tahun sebelumnya.

Head of Research Cushman ­Wakefield Arief Rahardjo mengatakan pasar perumahan melambat pada triwulan ketiga 2013 dan terus berlanjut hingga tahun depan. Permintaan rumah terpengaruh oleh kebijakan uang muka yang ditetapkan bank sentral. Melonjaknya suku bunga perbankan juga ikut menekan permintaan. "Pembiayaan melalui KPR ini adalah metode pembayaran yang paling diminati konsumen," ujarnya.

Melambatnya pertumbuhan itu terutama terjadi pada penjualan apartemen dan perkantoran atau strata title. Penyebabnya, daya beli menurun, sementara pasokan diperkirakan bakal membanjir pada tahun depan. "Pertumbuhan properti akan melambat, sementara pasokan jauh lebih banyak," kata Arief.

Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Eddy Ganefo, turunnya permintaan rumah juga dipicu oleh pemilihan umum yang akan digelar tahun depan. "Konsumen banyak yang menunggu pemenang pemilu dan kebijakannya tentang properti," ujarnya. Dia memprediksi permintaan bakal anjlok hingga 20 persen dibanding tahun ini. Ketidakpastian iklim politik, kata Eddy, membuat orang berhati-hati memilih investasi.

Eddy menyebutkan melonjaknya harga rumah dalam beberapa waktu terakhir memang mencapai angka yang fantastis. "Bayangkan, harga rumah dalam setahun naik 30 persen. Ini bisa bubble," ujarnya. Tapi perihal ancaman gelembung di sektor properti itu ditampik Halim. Menurut Halim, ancaman bubble belum terjadi. Itu, kata dia, karena Bank Indonesia sudah mengantisipasi lebih dulu dengan memperketat aturan kredit.

Mengacu pada bubble harga properti di berbagai negara, "gelembung" ini diawali dengan beberapa indikasi. Salah satunya kenaikan permintaan properti untuk spekulasi. "Terjadi kenaikan harga properti yang sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat," ujar Halim. Indikasi lain adalah melonjaknya permintaan properti akibat aksi spekulasi.

Bank sentral menilai, sejauh ini, pertumbuhan kredit properti di Tanah Air belum berisiko mengganggu stabilitas. Sebab, pangsa kredit properti terhadap total kredit perbankan di Indonesia masih relatif kecil, yakni 14,1 persen pada Agustus 2013. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto, rasionya baru sekitar 4 persen. Angka ini masih jauh di bawah Malaysia dan Singapura, yang mencapai 27 persen dan 45 persen.

Kemampuan konsumen membayar juga dinilai masih tinggi. Itu tecermin dari rasio utang rumah tangga terhadap total aset yang rendah, yakni di bawah 10 persen. Angka tersebut jauh di bawah rasio utang rumah tangga di negara lain. "Sektor properti tahun depan masih tetap prospektif," kata Halim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus