Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terik matahari yang menyengat ditambah debu semen dan pasir yang beterbangan tak mengganggu buruh bongkar-muat di Pelabuhan Boom Baru di Sungai Musi, Palembang, Kamis siang pekan lalu. Mereka terus bekerja seperti tanpa jeda. "Mereka pegawai Pelindo II dan tenaga outsourcing yang bekerja bergantian selama 24 jam," kata salah seorang karyawan pelabuhan.
Di lapangan penampungan sementara, sejumlah petugas lain tak kalah sibuk mengatur lalu-lalang kendaraan besar yang melintas di antara tumpukan peti kemas. Adapun di dermaga, beberapa operator crane atau derek kontainer berkonsentrasi mengeluarkan peti kemas dari kapal dan merapikannya di area penumpukan. "Itu derek yang berkaki warna biru bisa mengangkat beban hingga 61 ton," karyawan yang minta namanya tak ditulis itu kembali menjelaskan.
Derek yang berdiri kokoh dan dikendalikan secara otomatis itu merupakan salah satu perangkat yang dipersoalkan oleh Serikat Pekerja PT Pelindo II. Alat berat jenis quayside container crane (QCC) bermerek Hua Dong Heavy Machinery (HDHM) itu didatangkan dari Cina sekitar dua tahun lalu. Selain yang ada di Boom Baru, pengadaan alat serupa dilakukan di Pelabuhan Panjang di Lampung dan di Pontianak. Serikat Pekerja yang diketuai Kirnoto menuding, selain kapasitasnya yang dianggap terlampau besar dibanding kebutuhannya, ada pula indikasi kecurangan di balik proses pembelian perangkat itu oleh Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino. "Totalnya senilai Rp 2,7 triliun," kata Kirnoto, Kamis pekan lalu.
Seorang karyawan di Pontianak menunjukkan data waktu kerja QCC selama sebulan dan jumlah kontainer yang diangkat. Dalam catatan itu, dari tiga unit alat, terdapat 11.835 peti kemas yang diangkat dengan total waktu 1.315 jam. Artinya, kata dia, hanya terdapat 9 unit peti kemas yang ditangani setiap alat per jamnya. Padahal satu unit QCC itu dirancang dengan kemampuan 25-29 kontainer per jam. "Dengan keadaan seperti itu, sekarang malah ditambah satu lagi QCC buat Pontianak. Ini jelas investasi yang berlebihan," kata sang karyawan, yang lagi-lagi minta agar namanya tak disebut.
Urusan derek kontainer ini hanya satu di antara beberapa masalah yang diangkat oleh Serikat Pekerja dalam surat mereka kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, akhir September lalu. Surat itu menyambung laporan sebelumnya pada Juli lalu. Isinya membeberkan beberapa dugaan penyelewengan yang dilakukan oleh R.J. Lino, dari soal pendirian anak-anak usaha yang dinilai tergesa-gesa dan potensi tumpang-tindih dengan bisnis induk, tentang penggunaan tenaga ahli dan konsultan asing, investasi yang kurang matang, sampai potensi kegagalan proyek Pelabuhan Kalibaru senilai Rp 46 triliun. Ada pula pengaduan tentang pelaksanaan proyek teknologi komunikasi dan informasi Rp 105 miliar oleh PT Telkom, yang menurut para pekerja dijalankan tanpa melalui proses tender yang seharusnya.
Tak cuma berkaitan dengan proyek di perusahaan, laporan yang diteken Kirnoto bersama sekretaris umum dan 12 ketua serikat di tiap cabang Pelindo II di 10 provinsi itu juga menyoroti soal pribadi direktur utama yang diangkat pada Mei 2009 tersebut. Mereka bahkan menyebutkan adanya sepak terjang istri Lino, Betty Sastra, yang banyak menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi dan sering mengintervensi pengelolaan perusahaan.
Terdapat tujuh poin masalah personal Lino yang dilaporkan pengurus Serikat Pekerja kepada Dahlan, dan ditembuskan ke Dewan Komisaris Pelindo II. Mereka mempersoalkan penggunaan mobil Hyundai H-1, yang awalnya dibeli untuk urusan operasional tamu perusahaan, oleh Betty. "Anehnya, begitu surat ini dibuat, esok paginya mobil itu sudah kembali diparkir di kantor Pelindo," kata salah seorang karyawan. Kendaraan yang semula bernomor pelat B-77-BTY itu—sesuai dengan inisial Betty—juga sempat berubah menjadi B-1975-OUF.
Persoalan lain menyangkut kakak kandung Lino, Yan Christoffel Lino, yang disebut tak membayar biaya perawatan kesehatan Rp 95,5 juta ketika menjalani rawat inap di rumah sakit pelabuhan. Menurut karyawan lain yang menceritakannya kepada Tempo, Lino akhirnya membayar biaya perawatan kesehatan itu setahun kemudian. "Pak Lino bilang selama ini tak ditagih. Ya, jelas saja tak ada yang berani menagih. Dia kan dirut," ujarnya.
Ada lagi laporan tentang tiga kerabat Lino lainnya, yakni Tony Syam, Dedeh Nawangsih, dan Alin. Mereka dikatakan telah menerima penyaluran pinjaman lunak dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT Pelindo II masing-masing Rp 387,6 juta, Rp 75 juta, dan Rp 75 juta. Dua dari tiga pinjaman itu macet.
Kirnoto menjelaskan, para pekerja juga mempertanyakan penunjukan serta pengangkatan staf ahli dan penasihat direksi, seperti Farid Haryanto dan Nina Insania. Serikat Pekerja menilai gaji US$ 25 ribu atau sekitar Rp 250 juta per bulan dan bermacam fasilitas setingkat direktur bagi keduanya terlalu besar dan dianggap sebagai pemborosan. Soal lain ialah tentang penunjukan sejumlah konsultan asing yang mahal dalam beberapa proyek strategis, seperti New Priok Port di Kalibaru. "Mengapa semua keputusan penting didominasi oleh David Wignail Associate dan Rothschild untuk pembiayaannya?" ujar Kirnoto, menyebut dua di antara beberapa konsultan asing yang kini dibayar Pelindo.
Selain kepada Dahlan dan Dewan Komisaris, laporan penyimpangan dikirim ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung. Sempat diproses di Kejaksaan dengan memanggil beberapa saksi, kelanjutan laporan itu kini tak lagi terdengar. Selama itu pula Lino tak pernah datang untuk memberikan keterangan.
Bukan kali ini saja serangan mengarah ke Lino. Pada pertengahan April lalu, sejumlah pemimpin asosiasi jasa kepelabuhanan juga merapatkan barisan menghadapi langkah bisnis dan ekspansi yang dilakukan Pelindo II di bawah komando Lino. Ketika itu, Ketua Komite Tetap Pelaku dan Penyedia Jasa Logistik di Kamar Dagang Indonesia Irwan Ardi Hasman mengatakan strategi Pelindo II yang mendirikan beberapa anak usaha baru selama tiga tahun terakhir cenderung mematikan bisnis mereka. "Ada kekhawatiran dari teman-teman pelaku usaha bahwa Pelindo ingin mengambil alih semua bisnis jasa kepelabuhanan," katanya.
Bagi Bambang Rakhwardi, hilangnya rezeki di pelabuhan itu bahkan pelan-pelan sudah terjadi dalam tiga tahun kepemimpinan Lino. Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar-Muat Indonesia itu mengungkapkan, dari 129 perusahaan bongkar-muat yang sebelumnya ada di Priok, kini hanya tersisa 16 perusahaan. "Yang lain tutup atau menunggu order tumpahan di luar service area," katanya.
Setelah protes yang dilayangkan langsung ke Pelindo tak mempan, asosiasi-asosiasi ini aktif melobi kanan-kiri untuk mendapat sokongan, termasuk ancaman untuk melayangkan protes resmi ke Menteri BUMN dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ujungnya, mereka berusaha agar Lino digeser dari posisinya. Poin yang meminta pencopotan Lino dari jabatan Direktur Utama Pelindo II itu pun disertakan dalam dua surat pengaduan Serikat Pekerja.
Menanggapi laporan serikat pekerja, Kementerian BUMN melalui Deputi Infrastruktur dan Logistik Imam Apriyanto Putro sempat mengirim surat ke Komisaris Utama PT Pelindo II Luky Eko Wuryanto untuk segera meneliti kebenaran isi pengaduan itu. Berdasarkan surat itu, Luky membentuk tim khusus beranggotakan tujuh orang. Tim yang terdiri atas beberapa anggota komisaris serta Komite Audit dan Manajemen Risiko itu diperintahkan melakukan pemeriksaan menyangkut laporan mengenai proyek ataupun yang bersifat personal.
Sempat mempertanyakan langkah pemeriksaan oleh Komisaris Utama, Lino akhirnya menerima dan mengaku terbuka terhadap penyelidikan itu. Namun mantan Direktur Proyek AKR Nanning di Guangxi, Cina, itu mengaku tak bisa terima atas tudingan dan serangan yang bersifat pribadi dan membawa-bawa keluarganya. Karena itu, ia kemudian melaporkan para pengurus Serikat Pekerja tersebut ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. "Saya tak bisa terima yang seperti itu," kata Lino, Kamis pekan lalu. "Tadi pagi saya bertemu dengan Kepala Polres Jakarta Utara untuk menanyakan tindak lanjutnya."
Protes para karyawan kali ini, menurut Lino, tak bisa dipisahkan dari ancaman pemogokan dan berbagai tekanan yang ia terima sebelumnya. Ia menuding bahwa pengurus Serikat Pekerja itu hanya sebagian kecil atau minoritas di dalam perusahaan. Dia bahkan mengancam balik. "Mereka segelintir saja. Saya akan memberikan tindakan khusus, karena mereka bisa merusak kinerja yang lain," ujarnya. "Kalaupun satu-dua tudingan mereka ada benarnya, tolong bandingkan dengan efisiensi dan kenaikan keuntungan perusahaan dalam beberapa tahun ini, yang mencapai triliunan rupiah."
Lino mengaku maklum bahwa ada banyak pihak yang mungkin dirugikan dan tersinggung dengan cara dan langkah bisnis yang ia jalankan di Pelindo, dari perampingan perusahaan jasa bongkar-muat sampai penampungan kontainer. "Saya tahu ada banyak yang marah. Sekarang mereka mencari cara untuk menghantam dari dalam," katanya. "Tapi efisiensinya bagi ekonomi kita bisa sampai Rp 1 triliun lebih per tahun karena biaya ekspor-impor yang lebih murah. Karena itu, saya tak akan mundur menghadapi mereka."
Tudingan balik ini dibantah oleh Kirnoto. Ia menyangkal jika gerakannya disebut ditunggangi kepentingan para pemilik perusahaan jasa pelabuhan yang kini tersingkir. "Saya jamin tidak ada," ujarnya. Kirnoto lalu bercerita, jauh sebelum terjadi ketegangan ini, dia kerap berhadapan dengan Lino di lapangan bulu tangkis. Tapi belakangan kesempatan itu semakin jarang. "Beliau sibuk terus."
Dimintai konfirmasi dan penjelasan mengenai perkembangan pemeriksaan yang ia lakukan, Luky Eko Wuryanto tak bersedia memberi keterangan. Luky, yang juga Deputi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian, mengelak dan minta agar pertanyaan disampaikan langsung ke Kementerian BUMN. "Tanya ke BUMN saja," katanya melalui pesan pendek. Menteri Dahlan Iskan yang ditanya tak menjawab. Ia hanya tertawa tanpa mengucapkan sepatah kata pun tentang langkah apa yang akan diambilnya. "Ha-ha-ha…."
Y. Tomi Aryanto, Amandra Mustika M., Parliza Hendrawan (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo