Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pengusaha logistik meminta pemerintah tak mempersoalkan anjloknya peringkat Indonesia dalam Indeks Performa Logistik (LPI) yang diterbitkan Bank Dunia.
Luhut mempertanyakan anjloknya ranking Indonesia dalam Indeks Performa Logistik ke Bank Dunia.
Biaya logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari PDB, lebih tinggi daripada Vietnam hingga Malaysia.
JAKARTA — Para pengusaha logistik meminta pemerintah tak mempersoalkan anjloknya peringkat Indonesia dalam Indeks Performa Logistik (LPI) yang diterbitkan Bank Dunia. Alih-alih memprotes, laporan hasil survei persepsi pengguna jasa logistik tersebut dapat menjadi acuan pemerintah untuk berbenah.
Pengusaha logistik yang juga bekas Ketua Asosiasi Logistik Indonesia, Zaldy Masita, mengatakan, walaupun metode LPI adalah survei ke pengguna jasa logistik dari seluruh dunia, hasilnya sangat valid dan kredibel. "Sangat aneh kalau hanya Indonesia yang komplain karena ranking-nya turun drastis. Kok negara lain bisa menerima," kata dia kemarin, 21 Juli 2023.
Baca: Tak Ampuh Menekan Ongkos Logistik
Dalam LPI yang dilansir Bank Dunia pada April lalu, ranking kinerja logistik Indonesia anjlok 15 peringkat dari posisi ke-46 pada 2018 menjadi peringkat ke-61 pada 2023. Skornya pun turun dari 3,2 menjadi 3. Dari enam komponen penilaian LPI, hanya dua yang skornya naik, yaitu kepabeanan dan infrastruktur.
Turunnya peringkat Indonesia tersebut lantas menuai sorotan karena dipersoalkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam sebuah diskusi di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa lalu, dia mengatakan akan mengundang Bank Dunia—lembaga yang menerbitkan laporan LPI tersebut—guna menanyakan kelemahan sektor logistik Indonesia. “Jangan bilang saja tiba-tiba turun 17 peringkat. Tell me, kita harus transparan semua, we have done this, this, this, kau cari di mana?” ujar Luhut, kala itu.
Luhut Mempertanyakan Bank Dunia Soal Indeks Performa Logistik
Luhut mengatakan, Bank Dunia perlu menjelaskan mengenai enam dimensi yang menjadi penilaian indeks performa logistik tersebut. Musababnya, ia merasa Indonesia sudah bisa melakukan penghematan biaya logistik karena telah melakukan digitalisasi. “Nanti kami periksa. Kami juga tidak menutup diri terhadap kritik,” kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan tersebut juga muncul karena ia menilai ada paradoks antara laporan LPI dan data dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang menempatkan Indonesia dalam 20 besar performa pelabuhan. Karena itu, kendati mengklaim akan menerima laporan LPI tersebut, Luhut menegaskan bahwa pemerintah akan tetap mengundang Bank Dunia untuk berdiskusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya mau tanya satu per satu di mana salah kami. Terus kami perbaiki. Ya, kami tidak boleh menutup diri, harus ada perbaikan. Jadi, kami juga tidak perlu kecil hati mengenai hal itu,” kata Luhut.
Berbeda dengan LPI yang diterbitkan Bank Dunia, data UNCTAD yang disebut Luhut diambil berdasarkan rata-rata pergerakan kapal kontainer dari 1.000 GT ke atas dalam waktu semester pertama 2022. Artinya, UNCTAD memakai parameter performa pelabuhan.
Adapun Indeks Performa Logistik yang dirilis Bank Dunia mencakup 139 negara dengan mengukur kemudahan membangun rantai pasok yang andal, beserta faktor pendukung struktural, seperti kualitas layanan logistik, infrastruktur perdagangan, infrastruktur transportasi, dan kontrol di perbatasan. "Indeks Performa Logistik membantu negara-negara berkembang mengidentifikasi di mana perbaikan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing," ujar Direktur Global untuk Perdagangan, Investasi, dan Daya Saing Bank Dunia, Mona Haddad, dalam keterangan tertulis pada 21 April lalu.
Peringkat Indonesia dalam Indeks Kinerja Logistik (LPI) yang dilansir Bank Dunia anjlok dari posisi ke-46 pada 2018 ke peringkat ke-61 pada 2023. Hanya dua dari enam komponen penilaian LPI untuk Indonesia yang naik, yaitu kepabeanan dan infrastruktur. Berikut ini data LPI Indonesia dari tahun ke tahun.
Skor LPI tersebut tersusun atas enam komponen penilaian, yaitu layanan kepabeanan, infrastruktur, ketepatan waktu, pelacakan dan penelusuran, pengiriman internasional, serta kompetensi dan kualitas logistik. Setiap kriteria akan dinilai dengan skor 1 (sangat rendah) hingga 5 (sangat tinggi).
Dari enam dimensi tersebut, Indonesia mencatatkan kenaikan skor pada dua kriteria: kepabeanan dari 2,7 pada 2018 menjadi 2,8 pada 2023 dan infrastruktur dari 2,895 menjadi 2,9. Di sisi lain, skor empat komponen turun. Skor komponen ketepatan waktu turun dari 3,7 menjadi 3,3, pelacakan dan penelusuran dari 3,3 menjadi 3,0, pengiriman internasional dari 3,2 menjadi 3, serta kualitas dan kompetensi logistik dari 3,1 menjadi 2,9.
Nilai Indonesia berkebalikan dengan Singapura. Negara tetangga tersebut kini berada di peringkat tertinggi di dunia LPI 2023 dengan skor 4,3, diikuti Finlandia (4,2), Denmark (4,1), dan Jerman (4,1). Pada 2018, Jerman berada di peringkat pertama dengan skor 4,2, sementara Singapura pada peringkat ketujuh dengan skor 4.
Adapun di antara negara-negara ASEAN, peringkat LPI 2023 tertinggi adalah Singapura (peringkat 1), Malaysia (31), Thailand (37), Filipina (47), Vietnam (50), Indonesia (63), Laos (82), dan Kamboja (116).
Zaldy mengatakan, hasil survei Indeks Performa Logistik tahun ini menjadi ironi bagi Indonesia. Pasalnya, ranking kinerja logistik Tanah Air ambles 15 peringkat di tengah berbagai program pemerintah, dari pembangunan infrastruktur besar-besaran, merger PT Pelabuhan Indonesia (Persero) alias Pelindo, hingga penerapan sistem Ekosistem Logistik Nasional (NLE).
"Ternyata apa yang dibuat pemerintah belum sesuai dengan harapan di lapangan karena beberapa faktor," ujar dia. Faktor pertama adalah pembangunan infrastruktur berupa prasarana berbayar seperti jalan tol dan bandara yang cukup masif. Menurut Zaldy, para pelaku logistik tidak memanfaatkan fasilitas tersebut karena keberadaannya justru menambah biaya perjalanan.
Dia mencontohkan pengantaran barang menggunakan truk di Pulau Jawa. Zaldy mengatakan, sekitar 80 persen truk di Jawa tidak memakai jalan tol Trans Jawa sebagai lintasan utama kendati jalur bebas hambatan tersebut bisa memangkas waktu perjalanan. Musababnya, para pengusaha perlu merogoh kocek lebih dalam apabila hendak melintasi jalan tol tersebut. "Truk harus mengeluarkan biaya jalan tol lebih dari Rp 2,5 juta dari Jakarta sampai Surabaya (via jalan tol Trans Jawa). Jadi, jalur Pantura (Lintas Pantai Utara) masih menjadi jalur utama logistik darat di Jawa," kata Zaldy.
Perkara biaya pelabuhan juga menjadi sorotan. Menurut Zaldy, merger Pelindo yang diharapkan bisa membuat perusahaan lebih efisien ternyata tidak berpengaruh pada tarif di pelabuhan. "Tidak ada satu pun tarif pelabuhan turun. Malah naik."
Selain itu, sistem digital yang diterapkan pemerintah masih belum efektif karena belum dibarengi sumber daya manusia yang berintegritas. Zaldy mengatakan, sistem digital akan percuma tanpa dibarengi aparat yang mumpuni.
Aktivitas bongkar-muat peti kemas di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Adapun CEO PT Lookman Djaja Logistics, Kyatmaja Lookman, menilai empat komponen LPI yang membuat ranking Indonesia menukik masih memiliki masalah di lapangan. Misalnya soal ketepatan waktu. Dia mengatakan, sampai saat ini masih kerap terjadi keterlambatan pengiriman karena kemacetan di jalan raya hingga hambatan di fasilitas logistik. Untuk pelacakan dan penelusuran pun masih belum andal karena sistem belum sepenuhnya terintegrasi. "Sehingga sulit melihat keseluruhan visibility, dari mulai kirim sampai di tujuan," ujarnya.
Soal pengiriman internasional, Lookman mengingatkan bahwa selama ini barang dari Indonesia masih kerap dikonsolidasikan di Singapura karena volumenya tidak mencukupi untuk pengiriman langsung. Ia mengatakan, semakin banyak volume akan menarik minat carrier untuk membuka cabang di Indonesia, sehingga memungkinkan untuk pengiriman langsung.
Adapun untuk kualitas dan kompetensi layanan logistik, menurut Lookman, masih perlu ditingkatkan lagi di lapangan. "Pendidikan berbasis kompetensi perlu didorong untuk mendorong lulusan siap kerja yang kompeten," ujar dia.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono sepakat bahwa salah satu persoalan dalam sistem logistik Indonesia adalah masih bertumpu pada angkutan truk. Ia mengatakan, komoditas yang diangkut menggunakan kereta masih terbatas. Begitu pula dengan angkutan laut.
Masalahnya, jalan tol yang dibangun besar-besaran selama delapan tahun terakhir juga tidak digunakan oleh pelaku logistik karena tarifnya mahal. Di sisi lain, ketepatan waktu pengiriman juga menjadi persoalan ketika angkutan ini memilih jalan non-tol yang kerap macet. "Angkutan logistik berbasis truk ini juga sering kali menghadapi pungli (pungutan liar), bahkan menghadapi premanisme. Akibatnya, biaya logistik kita tidak membaik meski jalan tol bertambah signifikan," ujarnya.
Biaya Logistik RI Tinggi
Menyitir laman Kementerian Keuangan, biaya logistik Indonesia pada kuartal I 2021 mencapai 23,5 persen dari produk domestik bruto. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, besaran itu dihitung dengan memasukkan komponen biaya transportasi logistik dari kawasan industri ke pelabuhan secara rata-rata, biaya sewa pergudangan, hingga biaya administrasi seperti pajak dan pungutan liar. "Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara ASEAN. Misalnya Vietnam 20 persen PDB, Thailand 15 persen PDB, Malaysia dan Filipina 13 persen PDB, dan Singapura 8 persen PDB," kata dia.
Selain soal biaya logistik, masalah ketepatan waktu yang masuk dalam komponen penilaian LPI menjadi sorotan. Berdasarkan dashboard Indonesia National Single Window per Juni 2023, dwelling time atau waktu bongkar-muat barang rata-rata di pelabuhan Indonesia mencapai 2,9 hari. Sedangkan di pelabuhan Singapura hanya memakan waktu 1 hari dan di Malaysia 2 hari.
Atas persoalan tersebut, pelaksana tugas Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Ferry Irawan, mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya mengefisienkan biaya logistik dengan menguatkan konektivitas antardaerah dengan pembangunan infrastruktur. Peningkatan konektivitas wilayah itu diharapkan dapat mengurangi disparitas harga antarwilayah, menopang perekonomian nasional, serta meningkatkan aksesibilitas daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
"Meski demikian, untuk mewujudkan sistem logistik yang memadai, masih diperlukan upaya-upaya, antara lain, mendorong digitalisasi untuk mendukung kelancaran logistik yang saat ini belum sepenuhnya didukung oleh SDM yang memadai," ujar Ferry.
CAESAR AKBAR | KHORY ALFARIZI | DIDIT HARIYADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo