Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susanto Pudjomartono, ”koki” Pameran Poster Rusia di Galeri Lontar, Komunitas Utan Kayu, punya alasan kuat memamerkan karya-karya ”seni massal” itu. Duta Besar Indonesia untuk Rusia ini juga belajar sesuatu ketika dia mulai mengoleksi poster-poster Rusia: perubahan Soviet.
Awal bertugas di Rusia, dia nyaris tidak melihat simbol-simbol komunisme. Pria 50 tahun itu justru menemukan lambang-lambang kejayaan masa lalu itu pada poster-poster yang dijual di pasar-pasar tradisional seperti Ismailova di Moskow. Reproduksi poster ”komunis” itu banyak dijual di sejumlah toko cenderamata dengan harga Rp 4.000 saja.
Mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post ini kemudian ingin mendapatkan poster asli era komunis setelah dia menemukan Perdamaian yang dia beli seharga 6.000 rubel atau sekitar Rp 2 juta. Ia membeli poster-poster bersejarah seperti yang bertema Mayday atau Hari Buruh dan yang berasal dari Era Bolshevik (1917-1921). Kini, 300-an poster Rusia sudah jadi miliknya, dan hanya seratusan yang dipamerkan. ”Saya juga terus mencari lagi yang menarik,” katanya.
Mengoleksi poster-poster Rusia di masa komunis lumayan sulit. Dokumentasi terlengkap pertama tentang poster masa Bolshevik dibuat oleh Stephen White pada 1988. Karena tertutupnya Uni Soviet, poster yang tersisa dari era ini sedikit. Meskipun dicetak 5.000–50.000 lembar, poster-poster itu biasanya didaur ulang, hilang selama masa perang, diabaikan, atau dimusnahkan karena alasan politik. Poster Trotsky, misalnya, harus disembunyikan di masa Stalin. Karena langka, karya El Lissitsky dan Alexander Rodchenko, yang menerapkan teknik montase foto, fotografi, dan desain grafis di masa Lenin menelurkan Kebijakan Ekonomi Baru (1921–1927) bisa berharga US$ 10–100 ribu (Rp 100 juta sampai Rp 1 miliar).
Ya, perkembangan poster Rusia bisa dikatakan sejajar dengan perubahan politik negeri itu. Era pertama adalah masa Bolshevik yang ditandai dengan penciptaan simbol-simbol representasi komunisme. Tokohnya adalah Alexander Apsit, pencipta simbol palu, arit, dan bintang merah. Departemen propaganda sendiri didukung seniman-seniman kartun terkenal seperti Dimitri Moor dan Viktor Deni. Di masa ini juga dibentuk Kantor Telegraf Rusia (ROSTA) yang memproduksi massal poster stensil bergaya kartun, lengkap dengan pesan tertulis yang cerdas dan efektif. Dalangnya adalah penulis puisi Vladimir Mayakovsky, seniman Mikhail Cheremnykh, dan Ivan Malyutin.
Masa berikutnya Kebijakan Ekonomi Baru, yaitu ketika Lenin membuka pintu bagi perusahaan swasta. Pada era ini muncul gerakan Konstruktivisme, yang menolak seni mengabdi pada seni itu sendiri, dan menerapkan paham seni untuk produksi. Duet Mayakovsky dan Rodchenko menghasilkan poster-poster propaganda badan usaha milik negara. Dengan slogan-slogan agitatif serta komposisi warna dan garis agresif, poster mereka dinilai sebagai poster di era damai bergaya revolusioner.
Berikutnya masa Rencana Pembangunan Lima Tahun (1928-1932), ketika Stalin ingin menggerakkan Soviet menjadi komunis penuh dan negara industri adidaya. Seni sarat dengan pesan mobilisasi dan realisme sosial. Poster-poster menjadi realistis dengan warna-warna sederhana seperti merah dan hitam. Tokohnya adalah Gustav Klutsis (1895-1944), yang meninggal di gulag. Sedangkan di masa Rencana Pembangunan Lima Kedua (1933-1937), tema poster mengerucut, hanya memunculkan Joseph Stalin.
Masa Perang Patriotik (1941-1945) ditandai dengan berakhirnya gaya realisme sosial akibat invasi pasukan Hitler (1941). Zaman ini ditandai dua hal, yaitu munculnya kembali seniman poster lama dengan tema lama, seperti propaganda masuk tentara merah dan kemunculan seniman-seniman muda baru. Para pendatang baru ini dinilai berhasil menciptakan poster-poster perang terbaik sepanjang masa, seperti Irakly Toidze dengan karya Ibu Pertiwi Memanggil.
Yang terakhir adalah masa setelah Perang Dunia II (1946–sekarang). Stalin kembali menjadi fokus poster, tapi dengan gaya utopia. Lalu, di masa Perang Dingin dan Perang Bintang, poster-poster menjadi bersuasana heroik sekaligus satiris. Setelah Perestroika (1984–sekarang), tema-tema proteslah yang menguat.
Utami Widowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo