KESIBUKAN yang lain dari biasanya itu terjadi Istana Negara pada Jumat pekan lalu. Selepas salat Jumat, Presiden Abdurrahman Wahid memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman, Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono, dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab. Ketiganya dengan ditambah Sekretaris Kabinet Marsillam Simanjuntak dan Sekretaris Negara Djohan Effendi diminta Presiden menyusun jawaban Presiden atas pertanyaan 22 anggota DPR dalam sidang interpelasi DPR sehari sebelumnya.
Dalam sidang terbuka Kamis lalu itu, anggota DPR memprotes Presiden Abdurrahman yang tak ingin menjelaskan perihal pemecatan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Jusuf Kalla dan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi. Padahal, hak interpelasi yang dipakai DPR dimaksudkan untuk mencari klarifikasi Presiden tentang dugaan korupsi di balik pemecatan tersebut.
Tak ada wejangan panjang dari Presiden Abdurrahman. Menurut seorang bekas sekretaris pribadi Presiden, dia cuma menitipkan pesan pendek: alasan pemecatan itu mohon tidak dibeberkan. ''Gus Dur tidak ingin melanggar konstitusi karena alasan pemecatan dua menteri itu dulu disampaikan dalam rapat konsultasi tertutup Presiden dengan pimpinan DPR," kata sumber tersebut.
Kelimanya lalu berkumpul di ruang kerja Marsillam di Gedung I Sekretaris Kabinet. Dalam waktu dua jam, konsep setebal empat halaman itu rampung disusun. Abdurrahman setuju setelah memberikan koreksi di sana-sini. Jawaban itu, seperti diminta Ketua DPR Akbar Tandjung, dikirim pada pukul 17.00, terlambat satu jam dari waktu yang ditentukan.
Dilihat dari substansinya, jawaban Presiden atas pertanyaan anggota DPR itu memang tidak memenuhi permintaan anggota dewan. Selain meminta maaf atas segala akibat yang muncul karena keputusan pemecatan kedua bekas menteri itu, Abdurrahman mempersoalkan kedudukan DPR yang sesungguhnya sejajar dengan presiden. Kedatangannya ke DPR Kamis lalu, menurut Presiden, bukan untuk mempertanggungjawabkan keputusannya memecat Laksamana dan Jusuf Kalla, melainkan hanya mematuhi peran pengawasan yang sedang dimainkan DPR. Itulah sebabnya, untuk klarifikasi tuduhan korupsi terhadap keduanya menyusul pemecatan itu, Abdurrahman menawarkan penjelasan tertutup kepada DPR.
Antiklimaks drama interpelasi itu segera saja memicu kontroversi. Sabtu pekan lalu, sejumlah anggota DPR dari tiga kekuatan, yakni PDI Perjuangan, Poros Tengah, dan Golkar, berkumpul di sebuah hotel di Jakarta untuk menentukan sikap terhadap jawaban Abdurrahman ini. Mereka di antaranya adalah Alvin Lie (Fraksi Reformasi), Ade Komaruddin (Golkar), Bachtiar Chamzah (PPP), Didik Supriyanto (PDI-P), Ahmad Sumargono (Fraksi Bulan Bintang), dan Meliono Suwono (PDI-P). Kelompok politisi muda yang oleh Alvin Lie dijuluki ''Kelompok Koboi" ini untuk sementara belum akan mengeluarkan statemen keras terhadap jawaban Presiden Abdurrahman itu. Tapi, seperti dikatakan Didik, pada prinsipnya mereka menyesalkan keengganan Presiden menjawab secara terbuka pertanyaan DPR.
Kegerahan kelompok penyokong interpelasi itu merupakan ekor kekecewaan mereka sehari sebelumnya. Pada Kamis, misalnya, setelah sidang interpelasi, kubu PDI-P langsung berkumpul di ruangan pimpinan Fraksi PDI-P DPR Arifin Panigoro untuk merapatkan barisan. ''Masalah kecil yang sebenarnya tinggal dijawab Gus Dur kini membesar. Menolak menjawab pertanyaan DPR berarti Gus Dur menolak melaksanakan undang-undang. Ini melanggar sumpah jabatan," kata Heri Akhmadi, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan.
Dalam pertemuan Presiden dan DPR sebelumnya, pada November 1999, ketika DPR mempertanyakan penghapusan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, Presiden sudah membuat luka yang pedas dengan mengatakan, ''DPR seperti taman kanak-kanak." Dan pekan lalu, fakta bahwa Presiden tidak menjawab substansi tapi memilih mempertanyakan balik hak interpelasi justru ibarat ''menggarami luka".
Jika reaksi ini mengeras, posisi Presiden Abdurrahman Wahid memang akan benar-benar terancam. Soalnya, interpelasi bukan satu-satunya anak panah yang sedang diarahkan kepada tubuh bekas Ketua Umum Nahdlatul Ulama itu. Dipakainya hak angket untuk mempersoalkan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei diperkirakan bisa membuat limbung Presiden. Dalam skandal Bulog, Presiden dan kalangan dekatnya disebut-sebut terlibat menampung dana yayasan karyawan lembaga itu. Sedangkan dalam skandal Sultan Brunei, Presiden dipersalahkan karena menerima secara pribadi bantuan luar negeri untuk menyelesaikan masalah Aceh. Apalagi sejumlah anggota DPR dalam sidang interpelasi Kamis lalu sudah menyebut-nyebut Presiden Abdurrahman melanggar UUD 1945. Artinya, bisa jadi skenario sidang istimewa sebagai kelanjutan Sidang Umum Tahunan MPR bakal terwujud.
Abdurrahman memang terkesan kewalahan dengan gempuran dari berbagai sudut ini. Untuk menjawab pertanyaan interpelasi, misalnya, ia pernah meminta Wakil Presiden Megawati membacakan jawaban tertulis yang disiapkannya. Maksudnya adalah agar Mega menjadi peredam gemuruh pertanyaan yang diperkirakan akan datang dari kubu PDI-P. Tapi belakangan Mega menolak. ''Ini kan persoalan Mas Dur, bukan persoalan saya," kata Mega seperti ditirukan seorang anggota DPR asal PDI-P. Keterangan ini dibenarkan Pramono Anung, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P. Setelah Mega menolak, pilihan akhirnya dijatuhkan kepada Djohan Effendi.
Sementara itu, penyusunan konsep jawaban interpelasi diserahkan kepada Sekretaris Kabinet Marsillam Simanjuntak. Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, yang mengaku menawarkan diri menyusun konsep jawaban itu, menemukan tawarannya ditolak. ''Tak usah repot-repot. Semua sudah saya serahkan kepada Marsillam," kata Abdurrahman seperti ditirukan Yusril kepada TEMPO Interaktif.
Di luar persiapan teknis tersebut, Presiden juga melakukan persiapan politis. Sabtu pekan lalu, misalnya, ia melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua DPR Akbar Tandjung di Hotel Regent, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Presiden membawa dokumen setebal 400 halaman yang berisi bukti-bukti dugaan korupsi Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla. Menurut beberapa kalangan Golkar, maksud pertemuan itu adalah menunjukkan—di belakang panggung—kepada Akbar Tandjung bahwa sinyalemen korupsi itu bukan kabar angin semata. Diharapkan, dengan aksi ini, kubu Golkar akan mengurangi derajat tekanannya kepada Presiden.
Tapi, menurut Ade Komaruddin dari Partai Golkar, dokumen itu tidak berbicara banyak. Selain tidak argumentatif, kata-kata yang dipakai juga sangat kasar. ''Isinya faktur-faktur, izin, dan segala macam. Tidak kuat buktinya dan itu sampah saja," kata Ade. Semula, beberapa anggota DPR mengira Abdurrahman akan membawa bundelan data itu ketika memenuhi undangan hadir di Senayan. Dugaan itu meleset.
Ada cerita versi lain tentang isi pertemuan empat mata itu. Menurut seorang politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa yang mendukung Presiden, terjadi negosiasi politik antara Akbar dan Abdurrahman dalam pertemuan itu. Akbar, kata dia, menawarkan akan memberikan jaminan kepada Presiden bahwa partainya akan menjaga Abdurrahman sampai masa jabatan Presiden berakhir pada 2004. Selain itu, sidang interpelasi tidak akan dibiarkan menjadi pintu masuk menuju sidang istimewa yang bisa menjatuhkan Presiden.
Konsesi yang diminta Akbar adalah kursi di kabinet. Kuat dugaan Presiden Abdurrahman akan merombak susunan kabinetnya tidak lama lagi. Itulah sebabnya, meski dicopot, menurut versi itu, Akbar menginginkan agar proporsi orang Golkar di kabinet tidak diubah. Tapi Abdurrahman menolak. Selain karena alasan bahwa pemilihan menteri adalah wewenangnya penuh, Presiden juga takut kesepakatan itu dikhianati: kursi di kabinet sudah diberi tapi serangan tidak dihentikan. Akbar Tandjung sendiri, seperti membantah cerita itu, dalam Rapat Pimpinan Golkar pekan lalu, menyatakan yang sebaliknya. ''Golkar siap menjadi partai oposisi," katanya. Artinya, partainya berani keluar dari kabinet.
Serangan kepada Presiden akhirnya memang tidak menunjukkan gelagat akan mengendur. Meski PDI-P, misalnya, secara resmi menerima permintaan maaf Presiden, secara perorangan gerilya untuk mempersoalkan Presiden itu tetap ada. Salah satunya adalah ''Kelompok Koboi" tadi.
Apalagi pengumpulan tanda tangan untuk pengajuan hak pernyataan pendapat menyusul jawaban Presiden itu masih terus dilakukan. Saat ini, setidaknya 80 anggota DPR—dari 10 yang diwajibkan undang-undang—sudah setuju mengajukan hak itu.
Hak menyatakan pendapat memang tidak memiliki kekuatan penyelidikan seperti hak angket. Tapi, menurut Alvin Lie, hak itu bisa menjadi statemen resmi DPR dalam Sidang Umum Tahunan MPR nanti. Senin ini, rencananya, pernyataan dari 80 tanda tangan itu akan dibacakan untuk selanjutnya dibahas dalam Badan Musyawarah DPR. ''Pernyataan pendapat ini tetap akan menjadi awan hitam di atas Sidang Tahunan MPR, menggantung terus," kata Alvin Lie. Landasan hukum untuk memuluskan jalan menuju sidang istimewa telah pula disiapkan (lihat Dari Drama DPR ke Drama MPR).
Jika awan tak hanya terus menggantung, tapi kian tebal, mampukah Presiden mengelak dari menuai badai?
Arif Zulkifli, Adi Prasetya, Ardi Bramantyo, Gita Laksmi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini