Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Drama DPR ke Drama MPR

DPR memang tak bisa "menyentuh" presiden. Bagaimana dengan MPR?

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOGIKA konstitusi yang digelar oleh Presiden Abdurrahman Wahid dalam perdebatan hak interpelasi DPR pekan lalu bisa menjadi "senjata makan tuan". Secara telak. Sesuai dengan konstitusi, DPR memang tak bisa menjatuhkan presiden, betapapun kecewanya mereka atas jawaban presiden. Namun, yang mungkin dilupakan tim kepresidenan, DPR memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan Sidang Istimewa MPR. Nasib presiden, pada gilirannya, akan ditentukan oleh MPR—lembaga tertinggi negara—yang lebih dari separuh anggotanya adalah anggota DPR yang kecewa itu.

Ketegangan politik memang agak reda setelah Presiden Abdurrahman menyatakan maaf atas segala kisruh yang ditimbulkan dari langkahnya memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Meski begitu, pernyataan Presiden bahwa DPR tak memiliki hak konstitusional untuk memajukan interpelasi justru terbukti telah menyalakan bara yang baru—lebih serius dari sekadar pemecatan menteri.

Kekecewaan terhadap jawaban Presiden tak hanya datang dari partai-partai pendukung interpelasi. Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (F-KKI)—satu-satunya fraksi di luar Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) yang menolak penggunaan hak tadi—ikut kecewa. "Jawaban Presiden telah menimbulkan masalah baru," kata Sutradara Ginting, Ketua F-KKI. "Awalnya, saya sangat bersimpati dengan pengantar yang disampaikan Gus Dur. Tapi, begitu ia mengemukakan jawabannya, terus terang saya kaget karena sifatnya konklusif dan tidak tepat," ujar Ginting.

Dengan itu, jalan kompromi tampaknya sudah kian jauh. Tawaran Presiden Abdurrahman untuk merotasi kabinet yang kembali terdengar, misalnya, ditanggapi tawar oleh Faisal Baasir dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP). "Reshuffle tidak ada artinya kalau kepemimpinan Gus Dur tidak berubah," katanya. Ia menyodorkan sejumlah indikasi. Sekarang ini, katanya lagi, partainya sudah tak lagi merasa berada dalam pemerintahan. Ia juga melihat kecenderungan yang sama dari keputusan Rapat Pimpinan Golkar yang menyatakan kesiapannya menjadi oposisi dan menarik semua menterinya dari kabinet. Begitu juga dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). "Ibu Mega juga diam saja sekalipun partainya bersuara keras," katanya.

Akankah "talak tiga" dijatuhkan kepada Presiden Abdurrahman? Kepada TEMPO, seorang anggota parlemen mengungkapkan tiga skenario yang kini tengah berkembang di kalangan partai besar—PDI-P, Golkar, dan aliansi Poros Tengah—untuk menyikapi pemerintahan Abdurrahman Wahid. Pertama, Presiden Abdurrahman akan dipertahankan hingga 2004 dengan satu syarat: kewenangannya di pemerintahan diciutkan. Porsinya dikerutkan hanya sebagai simbol, sebatas kepala negara. Cuma, peluang untuk pilihan ini amat kecil. Abdurrahman, yang terkenal amat percaya diri, hampir dipastikan akan mentah-mentah menolaknya.

Skenario kedua adalah meminta Presiden Abdurrahman mundur secara sukarela. Jika ini tak berhasil juga, di titik inilah skenario sidang istimewa akan didesakkan.

Jalan yang harus ditempuh menuju sidang istimewa tidaklah mudah dan segera. Namun, di tengah memuncaknya kekecewaan kepada sikap Presiden, para politisi di Senayan tampaknya cenderung memilih jalan itu—dan menyingkirkan penghalang jika perlu.

Menurut Ketetapan MPR Nomor III/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar-Lembaga Tinggi Negara, sidang istimewa hanya dapat digelar setelah anggota dewan mengeluarkan dua kali memorandum (yang pertama dalam jangka waktu tiga bulan dan yang kedua setelah satu bulan). Jadi, setidaknya diperlukan waktu empat bulan.

Alasan yang diangkat juga tak sembarangan. Ketetapan MPR Nomor II/1999 tentang Tata Tertib MPR menyatakan presiden hanya bisa diberhentikan di tengah masa jabatannya apabila telah sungguh-sungguh melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar. Atau, menurut Penjelasan UUD 1945, "jika dewan menganggap bahwa presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh MPR."

Dalam peta konstitusi inilah hak meminta keterangan yang diajukan anggota dewan tentang pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari kabinet bisa punya impak lebih dari yang diperkirakan sementara orang. Selama ini, para pengamat menyatakan pokok persoalan ini tak cukup signifikan untuk berujung pada sebuah sidang istimewa.

Kamis pekan kemarin, sejumlah politisi dari tiga kekuatan utama di parlemen (PDI-P, Golkar, dan Poros Tengah) menyimpulkan bahwa penolakan Presiden Abdurrahman menjawab pertanyaan anggota dewan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran konstitusi—syarat pokok menggelar sidang istimewa. Abdurrahman mereka nilai telah melanggar sumpah jabatan presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 UUD 1945, yang di antaranya berbunyi, "…menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya…." Sedangkan hak dewan meminta keterangan ini tegas dijamin UU Nomor 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Bola interpelasi—begitu hak meminta keterangan itu banyak disebut—memang belum berhenti bergulir. "Mayoritas menyatakan persoalan belum selesai," kata Ade Komaruddin dari Golkar. Dalam rapat pleno Senin ini, kata Ade, setidaknya 80 anggota dewan telah bertekad menggiring bola itu menjadi sebuah pernyataan pendapat. Lalu? "Bola panas ini bisa digelindingkan ke sidang tahunan," kata Faisal Baasir.

Dan dalam kadar tertentu, sebagaimana ditegaskan Pasal 165 Peraturan Tata Tertib DPR, pernyataan pendapat ini bisa lantas menjelma menjadi sebuah memorandum untuk menggelar sidang istimewa. Dan peluang ini bisa makin menggelembung seiring dengan terus bergulirnya penyelidikan dewan terhadap dua skandal di seputar Istana—"Buloggate" dan "Bruneigate".

Apalagi, kini, jalur ke arah sidang istimewa terus dilapangkan. Berbagai barikade konstitusi dilonggarkan. Percepatan diupayakan. Dinamika di sidang tahunan bisa menjadi sinergi yang dahsyat menuju sidang istimewa dan menentukan kelangsungan pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Hal ini sudah terlihat sejak penyusunan draf jadwal sidang tahunan. Di susunan acara, tercantum pemandangan umum fraksi-fraksi. Peluang anggota majelis menilai pidato presiden mulai dibuka. Padahal, semula, agenda sidang cuma untuk mendengarkan pidato hasil kerja presiden setahun, tanpa penilaian apa pun.

Perkembangan berikutnya makin jelas memperlihatkan gejala itu. Pekan lalu, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR—minus F-PKB—sepakat mengajukan perubahan Tata Tertib Majelis untuk disahkan di sidang tahunan, khususnya pasal 49 ayat 2 yang semula menyatakan bahwa agenda sidang tahunan hanya sebatas mendengarkan pidato presiden mengenai pelaksanaan ketetapan dan/atau membuat putusan majelis. Sementara itu, formulasi baru dilengkapi dengan kalimat "mendengar dan membahas." Artinya, pidato Presiden Abdurrahman Wahid akan berujung pada keputusan diterima atau ditolak majelis.

Jika keputusannya adalah ditolak, efeknya bisa gawat. Soalnya, telah disepakati menambahkan sebuah klausul di pasal 50. Bunyinya, apabila pidato presiden ditolak majelis, sidang tahunan dapat merekomendasikan sidang istimewa. Artinya, prasyarat yang diperlukan menjadi jauh lebih longgar ketimbang sebelumnya—pelanggaran presiden terhadap haluan negara dan konstitusi.

Namun, di mata pakar hukum tata negara Profesor Sri Sumantri, pernyataan pendapat dewan kali ini tak bakal mengandung akibat hukum yang berujung pada mundurnya presiden. "Barangkali cuma bermakna secara politik," katanya. Cuma, ia mengingatkan preseden hukum tata negara yang tercipta ketika B.J. Habibie "dipaksa" mengundurkan diri setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak dalam sidang umum lalu, meski tak ada ketentuan yang melarangnya. "Itu kemudian menjadi konvensi baru dalam tata negara kita," ujarnya.

Faisal Baasir juga mengingatkan, peta suara Senayan saat ini sangat tak berpihak ke Abdurrahman. Jangan dilupakan, katanya lagi, 500 anggota dewan adalah juga bagian dari 700 anggota majelis. Dan menilik perimbangan yang ada, suara mayoritas di majelis tak bakal sulit dicapai. Interpelasi, misalnya, diloloskan dengan 332 suara—dua pertiga anggota dewan. Sedangkan persetujuan menggunakan hak angket telah diteken 237 anggota parlemen. Apalagi, sekali bersidang, majelis pemegang kedaulatan tertinggi di Republik itu bisa melakukan "apa saja".

Toh, Baasir menyangkal tudingan bahwa semua langkah itu digelar sekadar untuk mencari-cari alasan guna menjatuhkan Presiden. Tujuannya, kata Baasir lagi, tak lain untuk menyetop tabiat Presiden yang gemar melontarkan pernyataan inkonsisten dan kontroversial yang memicu kebingungan, ketegangan politik, dan kemerosotan ekonomi. "Agar kita memiliki presiden yang bertanggung jawab, bukan yang selalu mencari-cari permasalahan baru," katanya.

Karaniya Dharmasaputra, Gita Laksmini, Endah W.S., Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus