Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asal-Muasal Perdebatan
Aksi:
April: Presiden Abdurrahman Wahid memecat dua menteri kabinetnya: Laksamana Sukardi (PDI Perjuangan) dan Jusuf Kalla (Partai Golkar). Mengangkat dan memberhentikan menteri adalah hak prerogatif presiden; presiden tak memiliki kewajiban untuk menjelaskan apa alasannya.
Namun, dalam perkembangan lebih jauh, Presiden Abdurrahman mengungkapkan alasan pemecatan itu dalam berbagai kesempatan. Ada dua alasan yang diberikan: pertama, mereka tidak bisa bekerja sama dalam tim ekonomi, dan kedua, mereka punya indikasi melakukan korupsi.
''Indikasi korupsi" itulah yang membuat kedua menteridan partai-partai asal merekameradang.
Reaksi:
Juli: Dengan dukungan telak (332 setuju dan 63 menolak), DPR meloloskan penggunaan ''hak meminta keterangan kepada presiden" (interpelasi) tentang alasan sebenarnya pemecatan dua menteri itu.
Perdebatan dalam Sidang Interpelasi (20 Juli 2000):
Presiden:
Meski mengakui bahwa ''hak meminta keterangan kepada presiden" ini adalah salah satu wujud dari fungsi pengawasan DPR pada pemerintah, yang ''akan selalu saya dukung dan hargai," Presiden pada dasarnya mempertanyakan penggunaan hak tadi:
1. Tidak konstitusional: Hak interpelasi tidak diatur dalam UUD 1945. Dia cuma diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 (tentang Susunan dan Kedudukan MPR dan DPR), yang pada dasarnya berlawanan dengan UUD 1945.
2. Tidak tepat: Presiden, sesuai dengan UUD 1945, tidak bertanggung jawab kepada DPR. Hak interpelasi hanya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer, sementara Indonesia menganut sistem presidensial.
3. Tidak fair: ''Akan timpanglah sebuah sistem yang di satu pihak memberi hak interpelasi dan hak angket pada parlemen, tapi di sebelah lainnya tidak memberi hak pada presiden untuk membubarkan parlemen bila perlu."
DPR:
Meski menghargai kehadiran Presiden, DPR menilai Presiden belum memberikan jawaban secara substansial dan justru mempertanyakan hak yang digunakannya. DPR memandang haknya sebagai:
1. Konstitusional: UUD 1945, yang memang terlalu ringkas, memberikan peluang interpretasi dalam UU, termasuk UU Nomor 4/1999 yang bersumber pada Pasal 19 UUD 1945. Lebih dari itu, BAB VIII Penjelasan UUD 1945 juga memberi DPR kedudukan yang kuat. ''Anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden."
2. Tepat: BAB VII Penjelasan UUD 1945 mengatakan, ''Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukanlah diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas . Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR."
3. Fair: Hak interpelasi DPR tidak bertentangan dengan sistem presidensial karena penerapan hak itu memang tidak memberikan konsekuensi jatuhnya presiden.
Semuanya Benar, Semuanya Salah
Presiden:
1. Benar ketika menyatakan bahwa presiden tidak punya kewajiban konstitusional untuk menjawab permintaan penjelasan DPR tentang pemecatan kedua menteri itu. Bahkan, presiden tidak harus memberikan jawaban.
2. Keliru ketika menyatakan bahwa DPR tidak memiliki hak konstitusional untuk ''meminta penjelasan".
DPR:
1. Benar, DPR memiliki hak konstitusional untuk ''meminta penjelasan" kepada presiden.
2. Namun, DPR keliru jika memaksa presiden menjawab pertanyaannya, apalagi dengan jawaban yang memuaskan pihaknya. Apa pun jawaban presiden, memuaskan atau mengecewakan, tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun, apalagi menjatuhkannya.
Ambigu Konstitusional
Seperti banyak aspek lain di Indonesia, UUD 1945 adalah konstitusi yang ambigu. Pertama karena terlalu ringkas (sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda) dan kedua karena kebiasaan bangsa ini untuk mencari ''jalan tengah"yang tidak ini dan tidak itu.
Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan, UUD 1945 memang secara esensial mengamanatkan sistem presidensial. Meski begitu, UUD yang sama juga memberi DPR peran cukup besar. Dengan kata lain, Indonesia tidak menggunakan sistem presidensial murni.
Sistem Presidensial Murni:
1. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
2. Kedudukan presiden dan DPR sejajar karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat.
3. DPR tidak bisa menjatuhkan presiden; sebaliknya, presiden tidak bisa membubarkan parlemen.
Sistem Presidensial Indonesia (sebagaimana yang bisa ditafsirkan dari UUD 1945):
1. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
2. Legitimasi presiden tidak sekuat DPR karena tidak dipilih secara langsung.
3. Presiden tak bisa membubarkan DPR, tapi DPR memiliki hak untuk mengawasi presiden meski tidak bisa menjatuhkannya.
Moral Cerita Perdebatan ini:
1. UUD 1945 menggarisbawahi kesepadanan serta kerja sama antara presiden dan DPR.
2. Meski tidak wajib, Presiden sebenarnya bisa memberikan penjelasan tentang alasan pemecatan kedua menteri secara baik-baik. Dan DPR akan puas mendengarnya. Persoalan akan selesai di situ.
3. Namun, Presiden tampaknya memang tak memiliki argumen yang kuat dan masuk akal tentang pemecatan kedua menteri, sehingga memilih menghindar ketimbang memberikan jawaban yang hampir pasti tidak memuaskan.
4. Meski jawaban presiden tidak memuaskan, DPR, sebagai lembaga, tak berhak menggugat presiden lebih jauh. DPR hanya bisa mencatatnya sebagai rapor kredibilitas presiden.
5. Hanya MPR yang bisa menggugatdan bahkan menjatuhkanpresiden secara konstitusional. Namun, mengingat semua anggota DPR pada dasarnya adalah anggota MPR (seperti diamanatkan oleh konstitusi), rapor buruk presiden tampaknya tak akan berhenti hanya sebagai rapor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo