Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Teka-teki Lukisan Cadas Gua Maros

Para arkeolog terbelah memperkirakan usia lukisan cadas gua Maros di Sulawesi Selatan. Uji uranium menunjukkan 45 ribu tahun tapi ada juga yang meragukannya.

 

4 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lukisan-lukisan cadas di gua Nusantara disebut berumur puluhan ribu tahun.

  • Perkiraan usia lukisan cadas itu disangsikan karena belum dibarengi temuan rangka manusia.

  • Perubahan iklim menggerus kualitas gambar cadas.

Penemuan gambar gua cadas di Maros, Sulawesi Selatan, dan Sangkulirang, Kalimantan Timur, menjadi salah satu topik utama yang diperbincangkan dalam Borobudur Writers & Cultural Festival (18-21 November lalu), yang tahun ini mengambil tema “Estetika Nusantara”. Gambar gua Maros dan Sangkulirang menjadi perhatian luas dunia akademis dan kebudayaan lantaran umurnya dianggap lebih tua daripada gambar di gua cadas yang ada di Eropa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapakah nenek moyang pembuat gambar-gambar gua cadas tersebut? Manusia Australomelanesid atau manusia Monggolid (Austronesia)? Betulkah usianya sekitar 45 ribu tahun? Ternyata di kalangan arkeolog pun masih belum ada kesepakatan untuk usia penanggalan gambar-gambar tersebut dan siapa manusia prasejarah pembuatnya. Tempo menyajikan persoalan gambar cadas ini untuk Anda.

***

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAMBAR babi itu berukuran 136 x 54 sentimeter, atau setinggi rata-rata bocah 12 tahun. Warnanya merah kecokelatan, dengan rona lebih gelap dan arsir lebih tebal pada bagian pinggir lukisan. Hal itu memberi kesan tiga dimensi pada gambar di dinding selatan-barat daya Leang Tedongnge di Kampung Biku, Kecamatan Balocci, Sulawesi Selatan. Leang Tedongnge adalah gua alam pada bukit karst kecil di bagian tengah kawasan karst Maros-Pangkep. Gambar babi itu menjadi bagian dari panel lukisan cadas yang panjangnya sekitar 3 meter.

Situs Leang Tedongnge dan gambar babi itu ditemukan oleh arkeolog asal Sulawesi Selatan, Basran Burhan, dan para mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 2017. Gambar-gambar fauna babi ada pada dua panel. Pada panel dinding timur, gambar babi ada di langit-langit gua. Gambar ini diidentifikasi berukuran paling besar dengan warna merah gelap. Kondisi gambar di bagian ini sudah sangat rusak sehingga sulit dikenali lagi. Sedangkan kondisi gambar babi pada panel dinding selatan relatif lebih baik. Pada panel ini terdapat empat gambar babi. Hanya sebuah gambar babi yang hampir utuh, sementara yang lain mengalami kerusakan parah karena pengelupasan.

Penemuan gambar babi di Leang Tedongnge satu dari sekian penemuan gambar cadas di kawasan gua-gua Maros. Sebelumnya, pada 1989, ditemukan situs Leang Timpuseng, yang memiliki gambar-gambar cap telapak tangan. Kemudian, pada 2016, situs Leang Bulu’ Sipong 4, yang mempunyai gambar-gambar seperti sekelompok figur setengah manusia-setengah hewan yang tengah berburu anoa dan babi rusa menggunakan tombak dan tali, ditemukan.

Penemuan-penemuan gambar cadas di Maros mengundang perhatian luas kalangan akademis dan pemerhati seni. Termasuk dalam perhelatan tahunan Borobudur Writers & Cultural Festival pada 18 November lalu. Penemuan baru gambar gua cadas itu menjadi salah satu materi utama diskusi festival—yang berkaitan dengan estetika Nusantara. Basran Burhan mengatakan, saat pertama kali ditemukan, lukisan babi itu—meski kondisinya rusak, untuk “mata” para arkeolog—relatif masih jelas diidentifikasi. Warga setempat selama ini memanfaatkan gua tersebut sebagai kandang ternak, terutama saat kampung yang dihuni 13 keluarga itu dilanda banjir. Itu pula yang membuat gua ini berjulukan Tedongnge, yang dalam bahasa lokal berarti kerbau.

Gambar babi hutan dan cap tangan di salah satu gua di Leang Tedongnge, Maros, Sulawesi Selatan. Adhi Agus Oktaviana

Selain digunakan sebagai kandang hewan, Leang Tedongnge difungsikan warga sebagai penyimpan alat pertanian, pakan ternak, dan perlengkapan lain—seperti halnya gua-gua di lembah tersebut. Setelah lukisan babi ditemukan, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan segera mengambil upaya perlindungan. “Kami menempatkan juru pelihara dan petugas patroli di situs ini,” kata Kepala BPCB Sulawesi Selatan Laode Muhammad Aksa saat dihubungi, Rabu, 24 November lalu. BPCB Sulawesi Selatan juga menggunakan pendataan tiga dimensi untuk mengecek kondisi lukisan secara jarak jauh.

Jumlah gambar cadas di kawasan Maros sendiri ada ribuan. “Kami bisa mengetahui adanya degradasi penurunan nilai gambar. Banyak yang dulu warnanya bercahaya sekarang memudar, bahkan hilang,” ujar Laode Aksa. Penyebab perubahan ini beragam, bisa karena faktor biologi ataupun kimiawi. Leang Tedongnge, misalnya, adalah gua alam pada bukit karst kecil yang dikelilingi lembah persawahan yang datar dan perkampungan seluas 22 hektare. Saat musim hujan, area itu bisa terendam banjir hingga setinggi 2 meter. Leang Tedongnge memiliki dua mulut yang memanjang dengan jaringan lorong yang cukup rumit. Sebagian besar lorongnya relatif lapang untuk ditelusuri dan terkoneksi satu sama lain.

Dibandingkan dengan ratusan gua lain di kawasan Maros-Pangkep, hanya Leang Tedongnge yang memiliki temuan gambar paling banyak. Secara umum gambar di gua-gua lain ditemukan dalam kondisi rusak parah akibat pengelupasan dan pertumbuhan ganggang. Warna yang banyak didapati di sana adalah merah gelap, merah terang, dan sebagian kecil warna kuning. Berbagai lukisan itu tersebar di sejumlah panel di empat bagian gua, yakni mulut gua sebelah timur dan lorong bagian atas mulut gua, dinding timur mulut ruang utama, galeri panggung sisi timur ruang utama, dan panel di dinding bagian selatan ruang utama.

•••

YANG menjadikan gambar babi hutan di situs Leang Tedongnge atau gambar pemburu setengah manusia-setengah hewan di situs Leang Bulu’ Sipong 4, Maros, menakjubkan dan disebut sebagai temuan besar peradaban manusia adalah umurnya diperkirakan puluhan ribu tahun. Kolaborasi riset Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan Australian Research Centre for Human Evolution dan Griffith Centre for Social and Cultural Research dari Australia yang dipublikasikan pada Januari 2021 (Brumm dkk.), misalnya, mengatakan gambar di situs Leang Tedongnge berusia minimal 45.500 tahun.

Sebelumnya gambar-gambar cap telapak tangan di situs Leang Timpuseng diperkirakan peneliti berusia minimal 39.900 tahun. Sementara itu, umur gambar cadas pemburu anoa dan babi rusa di Leang Bulu’ Sipong 4 diperkirakan minimal 43.900 tahun. Apa artinya? Artinya, lukisan-lukisan tua di sejumlah gua Maros-Pangkep itu berumur lebih tua daripada gambar-gambar cadas yang diketahui dunia saat ini. Gambar cap tangan di situs El Castillo di Spanyol, misalnya, disebut berumur 37.300 tahun. Sementara itu, lukisan binatang dan manusia di Gua Lascaux, Prancis selatan, berumur sekitar 17 ribu tahun. Akan halnya lukisan babi hutan, bison, kuda, rusa, kambing, dan cetakan tangan manusia di Gua Alta Mira, Spanyol, berusia 36 ribu tahun. Demikian beragam dan tuanya gambar cadas di Altamira sampai gua tersebut dijuluki Sistine of Chapel of Paleolithic Art.

Motif cap tangan di Jeriji Saleh, Sangkurilang, Kalimantan Timur. Adhi Agus Oktaviana

Gambar cadas di Maros-Pangkep, menurut Basran Burhan, diperkirakan dibuat oleh manusia ras Australomelanesid. Basran menceritakan bagaimana saat dia, Shinatria Adhityatama, Adhi Agus Oktaviana, dan yang lain bekerja sama dengan arkeolog University of Wollongong dan Griffith University, Australia, seperti Adam Brumm dan Maxime Aubert, mulai mengambil sejumlah sampel untuk diteliti di laboratorium di Australia. “Kami kaget karena hasilnya gambar-gambar cadas itu berusia puluhan ribu tahun,” tuturnya. Peneliti akhirnya mengambil lebih banyak sampel. Shinatria Adhityatama menyebutkan, mulai 2014 hingga sebelum masa pandemi Covid-19, timnya mengambil sampel di sejumlah gua Maros.

Penanggalan sampel itu mulai dicek dengan metode seri uranium. Caranya dengan mengambil potongan kecil gua (biasa disebut popcorn cave) untuk dibuatkan subsampel yang dicek di laboratorium Australia. Namun hasilnya tetap sama, dengan umur gambar termuda sekitar 18 ribu tahun. Semula, kata Basran, umur gambar cadas itu diduga tak lebih dari 4.000 tahun dan dibuat orang ras Austronesia. Namun ternyata temuan menunjukkan usia yang jauh lebih dari itu. Bersamaan dengan itu, dalam sebuah publikasi di jurnal PLoS One akhir September lalu, peneliti menemukan sisa tulang rahang manusia tertua di Wallacea—Indonesia bagian tengah. Tulang rahang lengkap dengan giginya itu ditemukan di “lapisan A” Leang Bulu’ Bettue, Maros. “Usianya diperkirakan 25 ribu hingga 16 ribu tahun,” ucap Basran, yang juga kandidat doktor Griffith University.

Namun umur gambar cadas gua-gua Maros yang diperkirakan mencapai 40 ribu tahun tersebut dipertanyakan oleh arkeolog Harry Widianto. Harry menampik pendapat bahwa pembuat gambar-gambar cadas tersebut adalah ras Australomelanesid (lihat kolom Siapa Artis Pembuat Gambar Cadas Maros?”). Sebab, sampai sekarang belum ada tulang atau rangka manusia Australomelanesid yang ditemukan di kawasan Maros-Pangkep. Klaim umur gambar cadas puluhan ribu tahun, meski berdasarkan tes laboratorium, menurut Harry, belum membumi karena belum ada hard evident siapa kira-kira manusia pembuatnya.

Cecep Permana bersama gambar-gambar kuda di Liang Metanduno, Muna, Sulawesi Tenggara, pada 2012. Dok. Pribadi

Dia menyebutkan temuan gambar cadas di Maros-Pangkep berbeda dengan gambar di Gua El Castillo, Altamira, ataupun Lascaux. Menurut Harry, yang pernah mengunjungi tiga situs itu dan situs Gua Chauvet, di situs-situs tersebut bukti manusia pendukung budaya gambar cadasnya jelas. Ia menyatakan, bila kita mengunjungi Gua El Castillo, misalnya, ada display dan dokumentasi penggalian yang dilakukan yang menunjukkan ditemukannya data himpunan sisa rangka manusia Neandertal yang hidup 125 ribu hingga 35 ribu tahun lalu. Demikian juga di Altamira dan Lascaux. Peneliti bisa menunjukkan adanya sisa-sisa rangka manusia Cro-Magnon dalam penggalian di gua-gua tersebut.

Ketergesa-gesaan memastikan gambar cadas di Maros berumur puluhan ribu tahun dan dibuat oleh ras manusia Australomelanesid, menurut Harry, juga bisa terjadi saat penaksiran penanggalan gambar cadas di Kalimantan. Selain di Maros, gua-gua di Sangkulirang, Kalimantan Timur, belakangan ini menjadi perhatian karena ditemukannya gambar-gambar yang diperkirakan berusia 52 ribu tahun. Kawasan Sangkulirang memiliki tujuh gunung karst yang kaya akan peninggalan purbakala. Tercatat ada ratusan cap tangan dan puluhan gambar figuratif dalam gua yang dikitari hutan lebat itu. Figur lukisannya pun beragam, dari sarang lebah madu raksasa, cap tangan, manusia, sampai fauna seperti tapir dan banteng liar yang diduga berumur 40 ribu-52 ribu tahun. Gambar banteng liar ditemukan peneliti gambar cadas dari Institut Teknologi Bandung, Pindi Setiawan, yang mempublikasikan risetnya di jurnal Nature edisi 7 November 2018.

•••

PINDI Setiawan mulai mengeksplorasi belantara Sangkulirang pada 1994. Ia berangkat karena pustaka peneliti Belanda sama sekali tak menyebutkan adanya gambar purba di Borneo. Situasinya ketika itu tak mudah. Sebab, hutan tersebut menjadi ladang ekonomi warga, bukan kawasan konservasi. “Seperti ‘Wild Wild West’, yang berlaku di sana, ya, hukum rimba saja. Ketika di bandar udara, orang heran karena saya bilang akan ke Sangkulirang, sementara daerah itu dihindari orang karena banyak penjahat dan perampok,” ujarnya kepada Tempo.

Pada awal penelitian bersama periset dari Griffith University dan arkeolog Prancis, Pindi dan kawan-kawan beberapa kali berserobok dengan warga bersenjata. Pernah juga timnya diserang saat mereka berniat menginap di dalam gua. Kondisi itu, menurut Pindi, yang membuat proses penelitian di Sangkulirang berlangsung lama. Sejak 1994 hingga 2006, Pindi dan arkeolog lain “baru” menemukan 20-an gua. Baru setelah itu jumlah temuannya bertambah hingga sekarang membukukan 60 gua bergambar cadas. Pindi memperkirakan jumlah itu belum sampai separuh dari semua gua di sana.

Tim arkeolog di depan mulut gua Liang Bulu Sipong 4, Sulawesi Selatan. Adhi Agus Oktaviana

Warna lukisan di Sangkulirang beragam, dari merah, ungu, hitam (pigmen dan arang), sampai putih. Warna-warna tersebut sekaligus merujuk pada perkiraan usia: ungu dan hitam 20 ribu tahun, sementara merah 40 ribu tahun. Pindi menjelaskan, perkiraan usia lukisan gua sendiri dilihat dari umur bebatuan yang mengapit gambar itu, atau disebut umur apit. Dari situlah didapati ada lukisan di Sangkulirang yang berumur 51.800 tahun. “Sebenarnya yang lebih tua di Sangkulirang, tapi kami tak memviralkannya. Sebab, bagi kami, usia tua lukisan itu tidak sepenting kreativitas manusia dalam menggambarnya,” katanya.

Dalam makalahnya di Borobudur Writers & Cultural Festival, Pindi menjelaskan gambar cadas Sangkulirang ada yang jauh di atas dinding, ada yang setinggi garis mata, ada yang di bawah garis mata, dan ada di atas langit-langit. Cara penempatan gambar di berbagai situs Sangkulirang di atas memperlihatkan bahwa imaji-imaji digambarkan dengan penuh perhitungan dan tidak acak. Para penggambar mempunyai beragam cara menempatkan imaji pada panel.

Menurut Pindi, ada panel bergambar yang nyaman dilihat sambil berdiri, ada yang nyaman dilihat sambil duduk, ada juga yang nyaman dilihat sambil berbaring. Gambar yang nyaman dilihat sambil berbaring tidak banyak ditemukan di belahan dunia lain. Gambar cadas di Sangkulirang, kata Pindi, hampir semuanya berada di ruang terang. Adapun gambar cap tangan juga masif di Sangkulirang. Ada yang digambar berjejer, ada yang dibuat melingkar sehingga tampak seperti bunga. Selain itu, ada gambar fauna seperti tokek, rusa jantan, banteng, dan artropoda. Yang menarik, cara melihat lukisan itu tak hanya dengan berdiri atau vertikal, tapi ada juga dengan tubuh telentang.

•••

ADAPUN gambar cap tangan di Maros sebagaimana dilihat arkeolog Universitas Indonesia, Cecep Eka Permana, sangat beragam. Ada gambar yang hanya menunjukkan jari dan telapak tangan, ada juga yang memperlihatkan pergelangan tangan. Selain itu, ada yang menunjukkan citraan lengan. Arah telapaknya pun beragam, begitu pun ukuran dan letaknya. Dalam makalahnya di Borobudur Writers & Cultural Festival, Cecep menyebutkan bentuk dan makna gambar cap telapak tangan ada hubungannya dengan ketinggian gua.

Cecep membagi posisi gua-gua di Maros-Pangkep. Ketinggian gua yang berada di tempat rendah mulai 1 sampai 20 meter. Sedangkan letak gua yang ketinggiannya sedang lebih dari 20 meter dan yang tinggi letaknya lebih dari 40 meter. Dia mengamati bentuk telapak dan jari-jari hingga pergelangan tidak ditemukan di gua yang letaknya rendah. Bentuk tangan ini hanya ditemukan di gua dengan ketinggian sedang dan tinggi. Sementara itu, gambar tangan berupa telapak dan jari-jari hingga pergelangan dan lengan ditemukan di gua dengan ketinggian lebih 40 meter, yang sulit dicapai. Cecep menduga ini berkaitan dengan kesakralan gua. “Makin tinggi gua, makin gambar-gambar itu dianggap suci,” ujarnya.

Proses pengambilan sampel oleh Maxime Aubert di Leang Jeriji Saleh, Sangkurilang, Kalimantan Timur. Adhi Agus Oktaviana

Cecep sepakat bahwa umur gambar cap tangan di gua-gua Maros mencapai puluhan ribu tahun. Betapapun demikian, ia menyadari, karena belum ditemukannya tinggalan rangka manusia pendukungnya, diskusi selalu terbuka. Menurut dia, tantangan arkeolog kita sekarang adalah mencari titik temu antara usia gambar dari hasil penanggalan seri uranium dan pencarian rangka manusia pendukung kebudayaan gambar cadas tersebut. “Tantangan kita adalah membuktikan apakah betul yang membuat lukisan tertua di Nusantara adalah manusia-manusia Pre-Austronesia dari 45 ribu tahun lalu,” tuturnya.

Cecep melihat minimnya temuan rangka yang klop dengan penanggalan gambar itu bisa dimaklumi karena gua adalah hunian sementara manusia prasejarah. Pada masa itu manusia masih nomaden dan bergantung pada perburuan. Kemungkinan kedua terkait dengan minimnya temuan rangka adalah kondisi gua sebagai jalan air yang alami. Cecep memisalkan adanya banjir bandang yang melewati gua sehingga menghapus bukti arkeologis yang ada di dalamnya. Namun ia melihat hasil riset Herawati Sudoyo, peneliti genetika dari Lembaga Eijkman, tentang asam deoksiribonukleat (DNA) manusia Indonesia memungkinkan kita untuk membayangkan seniman pembuat gambar cadas di Maros dan Sangkulirang memang manusia pre-Austronesia.

Dari penelitian DNA Herawati, kata Cecep, diperkirakan manusia yang pernah hidup di Kalimantan, Sulawesi, dan Semenanjung Malaysia sampai di masa 40 ribu tahun lalu. Temuan kerangka di Sarawak, Malaysia, diduga berumur 34 ribu-46 ribu tahun. Karena itu, Cecep menyebutkan ada kemungkinan suatu ketika kesenjangan usia lukisan cadas gua Maros dengan peninggalan rangka manusia akan terjawab. “Kondisi penelitian yang saya lakukan pada 2006-2008 di Maros berbeda sekali dengan sekarang. Apalagi 10 tahun mendatang, bisa jadi ada kemajuan lagi,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Seno Joko Suyono dari Jakarta dan Rustan Lebe dari Maros-Pangkep berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Teka-teki Lukisan Cadas Kita"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus