Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran seni rupa memperingati ulang tahun Tempo ke-50.
Pameran seni rupa bertajuk Love/Tolerance.
Menampilkan karya-karya seni bertema cinta dan penghormatan antarmanusia.
PEMATUNG Carl Fredrik sangat terkejut mendengar kabar pembunuhan John Lennon oleh Mark David Chapman pada 8 Desember 1980. Dalam kepiluan ia lantas mencipta patung Knotted Gun, yang berbentuk pistol Colt Python 357 terbundel bagian larasnya. Patung logam itu lalu dipajang di taman Strawberry Field Memorial, Central Park, New York, Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa puluh tahun kemudian, atas restu Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan, dibikin replika patung itu dalam ukuran raksasa di Markas Besar PBB di New York. Knotted Gun pun jadi termasyhur sebagai “pistol cinta”, dan dimasyarakatkan dalam 30 replika baru di plaza di berbagai negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini “pistol cinta” itu ada di Indonesia. Tepatnya di patung karya Bambang Winaryo, Champion of Love Revolution – Mahatma Gandhi. Patung ini muncul dalam pameran “Love/Tolerance” yang digelar di Gedung Tempo, Jakarta, pada 1-21 Desember 2021.
Patung setinggi manusia ini menggambarkan Gandhi yang berbusana khadi (selembar kain tenunan tangan khas India) sedang tersenyum kepada kita. Tangan kirinya memegang tongkat, sedangkan tangan kanannya memaut sepucuk pistol kecil. Nah, apabila diperhatikan, pistol itu terbundel bagian larasnya, sebagaimana Knotted Gun. Lantaran Gandhi gugur pada 1948, sedangkan Knotted Gun tercipta 32 tahun setelahnya, nyata bahwa Bambang Winaryo sedang menunjukkan kecerdasannya dalam memutar sejarah lewat metafora.
Sebagaimana judulnya, pameran “Love/Tolerance” menghadirkan karya-karya yang kontennya menyiratkan dan menyuratkan rasa kasih serta penghormatan antarmanusia. Tak peduli apa profesinya, sukunya, bangsanya, pekerjaannya, apalagi agamanya. Seperti diperlihatkan Bambang Winaryo yang beragama Islam kepada Gandhi yang Hindu dan berjuang ala ahimsa.
Di sisi ruang lain kita berjumpa dengan lukisan Arie Kadarisman yang menggambarkan seorang santri menjinjing Al-Quran sedang khidmat menatap patung Buddha berwarna emas. Lukisan ini diberi judul Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku. Selarik tajuk yang diambil dari ayat yang aslinya berbunyi lakum dinukum wa liya din. Kalimat kebajikan Islam untuk menghormati dan tidak mencampuri urusan agama-agama lain. Lukisan ini mendampingi karyanya yang juga berkonten memikat, tentang seorang bocah muslimah berkerudung sedang bercanda riang dengan tiga bocah lelaki Myanmar berbusana calon biksu seusai upacara tahbis shinpyu.
Perkara keakraban dan hormat-menghormat ini juga terwujud dalam lukisan fiksional puitis karya Waryo Sukoco, Menjemput Rembulan. Dalam kanvas yang membentang 2 meter terlukis tokoh lintas agama duduk bareng di tepi danau untuk menyambut munculnya purnama. Rembulan memang pas dijadikan simbol. Selain dianggap sebagai lambang keindahan semesta, bola langit itu diposisikan sebagai penanda kebesaran Sang Empunya Dunia.
Dalam satu kitab disuratkan bahwa Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang, dan menundukkan bulan (dan matahari) agar selalu beredar dengan ketepatan waktu. Dalam risalah Buddha ada cerita “Hui Neng dan Buddha Menunjuk Langit”. Yang ditunjuk Buddha tak lain rembulan yang disebut sebagai lambang kebenaran. Dalam kepercayaan Katolik, rembulan adalah hadiah alam kepada manusia yang punya keluasan pandangan dan kejauhan perspektif. Ini sebagai perlawanan atas paham sempit dan fanatik yang meyakini extra Ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Rembulan adalah keselamatan.
Hubungan harmonis antaragama ini dipertegas oleh Yose Sulawu lewat lukisan posteristiknya yang berjudul Gus Dur. Dalam kanvas yang dilatari gambaran motif bercitra kardus, tergambar wajah Abdurrahman Wahid sedang tertawa riang. Di lukisan itu tertulis inskripsi: “Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua manusia, maka orang tidak pernah bertanya apa agamamu”.
Tentu bukan soal kasih dan toleransi yang berkonteks agama saja yang menjadi muatan pameran ini. Sebab, belasan perupa yang tampil ramai menyorongkan berbagai isu dan persoalan. Misalnya ihwal empati yang mendorong lahirnya naluri saling mendukung dan menolong serta berbagi.
Eny Retno Purwaningtyas (istri Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang membuka pameran ini) menggambarkan empati lewat lukisan mata-hati yang selalu tajam dan jernih dalam melihat kehidupan. Juga lewat karya cat air yang menggambarkan bundelan dolar dalam ikatan. Lukisan ini menjelma menjadi pengingat ketika judulnya terbaca: Open Your Bundles, and Share! Dan tentu dolar hanyalah simbol, karena berbagi tidak harus dengan fulus.
Afriani menaburkan empati lewat lukisan bergaya realis yang lama ditelateni di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Ia menggambarkan susah payahnya pengamen ondel-ondel hanya untuk sekadar mendapat saweran orang-orang sekitar. Dalam Sang Pengabdi ia melukis sang anonim sedang mengevakuasi seseorang dalam bencana gunung api. Cinta atas sesama memang tak perlu unjuk muka!
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, melihat karya berjudul Champion of Love Revolution – Mahatma Gandhi dalam Pameran Seni Rupa Love Tolerance, Tempo 50 Tahun Merawat Indonesia, di Gedung Tempo, Jakarta, 1 Desember 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Seno Watuatos, pemusik alumnus Wina, Austria, dan doktor dari Seattle, Amerika Serikat, tak hanya mementaskan teater musik di malam pembukaan, tapi juga menghadirkan beberapa lukisannya. Salah satu yang menarik adalah Orpheus und Eurydike. Mitologi Yunani dan Nordik ini mengisahkan betapa Orpheus dan Eurydike saling mencintai dan siap memasuki jenjang perkawinan. Namun, tepat pada saat perayaan, Eurydike mendadak meninggal.
Dalam lukisan tergambar Orpheus menelanjangi diri, dan mengangkat Eurydike sekuat tenaga. Orpheus memohon kepada Dewa Hades agar kekasihnya itu dihidupkan kembali. Untuk meyakinkan Sang Dewa, Orpheus menyanyi dan memainkan musik cinta yang melodius luar biasa. Hades lalu mengabulkan permintaan itu sambil memberikan persyaratan: dalam kehidupan selanjutnya, Orpheus dan Eurydike dilarang sekali pun menengok ke belakang. Eurydike pun bangun dari kematiannya. Keunikan yang terselip dalam lukisan ini adalah Orpheus terlihat memakai masker, yang mengindikasikan Eurydike mati karena Covid-19. Dan, dalam kematian, tangan kiri Eurydike tampak tetap memegang erat bahu Orpheus. Ah, cinta, betapa kuatnya!
Perupa lain yang ikut dalam pameran adalah Akbar Linggaprana, Kana Fuddy Prakoso, Laila Tifah, dan Vincensius Dwimawan. Juga Gorgonius Wisnu Waseso, yang menampilkan patung instalasi estetik Al Masih. Selain itu, Chryshnanda Dwilaksana membiarkan kuasnya menari lincah demi mengantar gubahan keindahan abstrak dengan menawarkan tafsir tentang kasih dan toleransi. Bambang Prasadhi pun turut serta dengan lukisan pop art yang halus menyindir hegemoni tuna-adab lelaki terhadap perempuan dalam karya Rape Me.
Tema “Love/Tolerance” tentulah bukan tema baru dalam khazanah kuratorial di Indonesia. Presiden Sukarno dan Dullah mengangkat tema itu dalam kurasi pemajangan koleksi di berbagai Istana Presiden sejak 1955. Pada 1982, Sutan Takdir Alisjahbana menginisiasi pameran lukisan bertema “seni lukis, manusia dan tanggungjawab” di Taman Ismail Marzuki. Pada 2005, Galeri Canna, Jakarta, menggelar pameran “Syair Pengantin” yang menjajarkan lukisan yang berkisah cinta berbagai suku dan bangsa.
Namun kehadiran “Love/Tolerance” yang dikuratori Jeffrey Sumampouw dan Seno Joko Suyono ini sungguhlah tepat momentumnya pada saat ini. Bukankah dalam bangsa yang sedang guyub ini masih saja terselip kelompok kecil penindas cinta bersemi dan pembenci kata toleransi?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo