Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gambar cadas di gua Maros Sulawesi Selatan berusia 40.000 tahun.
JIka benar usia peradaban manusia Nusantara lebih tua dibanding Neanthertal.
Tapi bukti migrasi baru 4.000 tahun lalu.
PUBLIKASI gencar sejak 2014 mengenai penanggalan absolut gambar cadas telah mampu mengusik perhatian ahli arkeologi prasejarah di Indonesia. Pasalnya, menurut hasil yang diperoleh Aubert (et al., 2014), gambar cadas di Maros, Sulawesi Selatan, sangatlah tua. Metode seri uranium yang diterapkan pada speleothemuralite 12 cap tangan dan 2 gambar binatang dari 7 situs gua Maros menghasilkan usia 39.900 tahun untuk cap tangan dan 35.400 tahun untuk gambar babi rusa. Hasil penanggalan ini menunjukkan bahwa gambar cap tangan di Leang Timpuseng merupakan gambar paling tua di Maros.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lain pihak, gambar sejenis di Maros juga menunjukkan penanggalan yang bervariasi, dengan usia termuda adalah 17.400 tahun, mayoritas usia yang diperoleh adalah 25.000 tahun. Hal senada dilakukan peneliti yang sama terhadap gambar cadas di gua-gua Sangkulirang, jajaran karst raksasa Mangkalihat, Kalimantan Timur. Di Gua Jeriji Saleh, dengan metode yang sama untuk cap-cap tangan, dihasilkan usia lebih tua: 37.200 hingga 51.800 tahun!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam arkeologi, uji penanggalan radiometrik—misalnya dengan metode seri uranium terhadap gambar cadas ini—sah-sah saja dilakukan, oleh siapa pun. Serahkan kepada ahlinya, kata pepatah. Jika sampelnya benar, teknik pengambilan sampel benar, ekstrak sampel di laboratorium benar, dan metode yang diterapkan benar, hasil yang didapat tentu diyakini kebenarannya. Ini persoalan teknis uji penanggalan absolut dan hasilnya juga sah untuk dipublikasikan secara luas di khalayak.
Namun, dalam konteks historis, apakah hasil uji penanggalan itu membumi dan klop dengan aspek historis yang menjadi obyek penanggalan? Ini yang paling penting harus diperhatikan. Artinya, penanggalan sangat tua di Maros dan Sangkulirang itu harus mampu menjawab secara mantap aspek historis tentang gambar cadas setempat, terutama terkait dengan artis pembuatnya. Benarkah usia gambar cadas ini demikian tuanya?
Hunian Manusia di Kepulauan Nusantara
Historiografi tentang migrasi dan penghunian manusia selama Kala Plestosen dan Holosen di Kepulauan Nusantara, sejak 2 juta tahun yang lalu hingga sekarang, telah sarat menghadirkan bukti-bukti kolonisasi prasejarah itu secara jelas dalam bentuk sisa-sisa rangka mereka. Manusia purba Homo erectus adalah penghuni paling awal, yang hadir di Pulau Jawa pada periode 1,8 juta tahun lalu, sebelum mereka punah sekitar 150 ribu tahun lalu dan digantikan oleh manusia modern awal (MMA).
Homo erectus bukanlah penghuni gua. Mereka menjelajah alam terbuka. Konteks mereka dengan gambar cadas sangatlah tidak beralasan. Hunian gua baru dilakukan oleh MMA, yang hadir pertama kali di Nusantara sejak 100 ribu tahun lalu (Homo floresiensis, Flores), dilanjutkan dengan manusia Lida Aer di Sumatera (73 ribu-63 ribu tahun) dan manusia Wadjak (Jawa Timur, sekitar 40 ribu tahun). Manusia modern tertua ini adalah penghuni gua sejati, tapi tidak terdapat bukti sama sekali akan penemuan gambar cadas di semua gua hunian MMA. Hampir pasti jenis manusia yang hidup di gua-gua Nusantara pada 100 ribu hingga 20 ribu tahun lalu ini bukanlah pembuat gambar cadas. Budaya artistik ini belum mereka kenal.
Sepeninggal MMA, teridentifikasi secara kuat hadirnya ras Australomelanesid sejak setidaknya 15 ribu tahun lalu. Sisa rangka mereka ditemukan di berbagai gua di Pulau Jawa (terutama di gua-gua Gunung Sewu), Kalimantan Selatan (Pegunungan Meratus), dan Sumatera Selatan (Gua Harimau). Mereka juga penghuni gua sejati yang hidup bertumpu pada perburuan binatang kecil; di gua-gua di Gunung Sewu menunjukkan dominasi perburuan kera ekor panjang (Macaca sp.). Data arkeologis dan paleoantropologis terhadap situs hunian mereka yang cukup luas tersebar di Indonesia menunjukkan absennya gambar cadas dalam konteks kehidupan ras Australomelanesid. Karena itu, ras Australomelanesid bukanlah pencipta gambar cadas. Mereka tidak pernah berpikir tentang gambar cadas dan bukanlah artis yang menciptakan gambar cadas.
Kedatangan Sang Austronesia Awal
Segi-segi fisik manusia terhadap berbagai hunian gua di Indonesia bertambah lengkap dengan ditemukannya ras Monggolid di berbagai gua hunian prasejarah di Indonesia. Ras ini adalah pendatang baru yang menggantikan ras Australomelanesid. Dalam konteks budaya, ras Monggolid identik dengan bangsa penutur bahasa Austronesia, the Austronesians. Mereka menghuni wilayah yang sangat luas di dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Pasifik, dari Taiwan di utara, Vanuatu-Selandia Baru di selatan, Madagaskar di barat, hingga Polinesia di timur. Lebih dari 300 juta populasi Austronesia menyebar di dua samudra luas; kedatangan dan persebaran mereka dikaitkan dengan teori out of Taiwan. Teori ini mengatakan bahwa asal muasal mereka dari Taiwan pada 6.000 tahun lalu yang kemudian bermigrasi dan menyebar ke berbagai tempat, termasuk Indonesia.
Mereka dikenal sebagai sea-nomad tangguh yang menaklukkan pulau-pulau di dua samudra dengan perahu bercadik. Hadir di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur pada sekitar 4.000 tahun lalu, migrasi mereka adalah migrasi Homo sapiens terakhir, yang menurunkan populasi aktual Indonesia saat ini, terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Penggalian arkeologis yang dilakukan di gua-gua Sulawesi (Leang Cadang, Ululeba, Leang Karassa, Bola Batu, Leang Lampoa, Gua Ara, Gua Jari-E) serta beberapa situs terbuka di Kalumpang, Selayar, dan Sabbang di Palopo menghasilkan hanya sisa rangka ras Monggolid ini. Seluruh penggalian di Sulawesi, terutama di gua yang ditemukan sisa rangka dan gambar cadas, hanya meyakinkan kita tentang konteks erat antara gambar cadas dan sisa rangka ras Monggolid.
Penelitian terbaru di Leang Bulu’ Bettue oleh Brumm (et al., 2021) yang menghasilkan pecahan rahang atas manusia dengan tiga gigi gerahamnya bertarikh 25 ribu hingga 16 ribu tahun lalu yang termasuk MMA ataupun data dari Leang Pannige, yang menghasilkan sisa manusia berusia 7.000 tahun dalam konteks budaya Toala dengan afinitas Australomelanesid, tidak terkait dengan gambar cadas sama sekali. Ketika saya meneliti gua-gua di Sangkulirang pada dekade pertama tahun 2000, termasuk di Gua Jeriji Saleh, dan menggali Gua Kababoh, hanya ras Monggolid yang ditemukan, bukan jenis manusia lain. Sama persis dengan di gua-gua di Sulawesi Selatan. Lalu siapakah sebenarnya sang artis bagi terciptanya gambar cadas megah nan indah di Sulawesi Selatan dan di Kalimantan Timur itu? Benarkah gambar-gambar ini diciptakan manusia pada 40 ribu hingga 52 ribu tahun lalu?
Dikatakan bahwa archaeology digs people. Kalimat ini menyiratkan pesan sangat dalam. Bukan benda yang disasar oleh arkeologi. Tapi, melalui benda yang ditemukan, arkeologi berusaha menjelaskan masyarakatnya pada periode saat benda itu berperan. Menyangkut gambar cadas, hasil penanggalan hanyalah salah satu cara untuk masuk ke identitas pembuatnya. Apa pun hasil usia yang diperoleh, hal itu harus bisa diterapkan dan dihubungkan dengan pijakan historis pendukungnya. Harus jelas membumi, begitu pesannya.
Kedua, arkeologi masih percaya kepada contextual analysis, bahwa benda-benda yang berdampingan—misalnya yang ditemukan dalam sebuah penggalian—mempunyai hubungan satu sama lain yang kuat di masa lalu. Dalam konteks gambar cadas, eksistensi budaya ini tidak akan jauh jaraknya dengan sisa manusia yang ditemukan di gua yang sama. Manusia yang ditemukan sisa-sisanya di sebuah gua adalah sang pembuat gambar cadas di gua yang sama. Berdasarkan prinsip ini, data arkeologis penghunian manusia di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur tidak terdapat sisa manusia yang ditemukan dari periode 40 ribu hingga 50 ribu tahun silam. Sejauh yang terkumpul sebagai data fisik selama ini di Sulawesi, sisa manusia yang dihasilkan dari semua situs—baik situs gua maupun situs terbuka—berasal dari sisa manusia berciri ras Monggolid, Austronesia, bukan dari manusia lain. Bahkan hasil penggalian terbaru oleh Budianto Hakim dari Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan di Leang Jari-E ditemukan rangka hampir utuh dari seorang Monggolid.
Hasil yang sama—ras Monggolid—saya peroleh di Gua Kebaboh, dan juga di Leang Jon oleh peneliti sebelumnya, di Sangkulirang, Kalimantan Timur. Analisis kontekstual—sekali lagi—membuktikan bahwa gambar cadas di Maros dan Sangkulirang itu hanya terkait dengan ras Monggolid, bukan dengan jenis manusia lain. Bagaimana dengan posisi rahang atas manusia berusia 25 ribu hingga 16 ribu tahun dari Leang Bulu’ Bettue? Bukan, bukan dia pembuatnya. Sisa manusia ini termasuk manusia modern awal, yang di mana pun di berbagai gua di Australasia tidak pernah ditemukan dalam konteks dengan gambar cadas. Bukan mereka pembuatnya.
Demikian juga sisa manusia di Leang Pannige berusia 7.000 tahun, yang terkait dengan afinitas Australomelanesid. Ras ini pun tidak pernah ditemukan berasosiasi dengan gambar cadas. Banyak gua di Pulau Jawa dan Kalimantan Selatan yang menghasilkan banyak rangka Australomelanesid, tapi tidak satu pun gambar cadas ditemukan di gua-gua hunian mereka. Analisis kontekstual pun menjawab tegas: ras Australomelanesid yang hidup di Nusantara 15.000 hingga 5.000 tahun silam bukanlah pencipta gambar cadas di Indonesia.
Gambar Cadas dan Petualangan Artistik Ras Monggolid
Jadi siapa sebenarnya artis andal pencipta gambar cadas di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur? Jawabannya sangat mudah ditebak: ras Monggolid! Hanya ras inilah yang terkait dengan gambar cadas di sana. Temuan gambar cadas terakhir di Gua Harimau, Sumatera Selatan, juga merupakan tempat hunian dari 77 rangka ras Monggolid di gua ini. Ras Monggolid selalu hadir ketika gambar cadas ditemukan. Kaitan antara gambar cadas dan ras ini sangat kuat. Gambar cadas adalah buah karya dari petualangan artistik ras Monggolid. Mereka tak hanya tampil sebagai pemburu binatang kecil, petani awal, dan navigator pelayaran ulung, tapi juga artis andal yang telah mampu menciptakan gambar cadas spektakuler dalam rangka mengekspresikan alam pikiran religius mereka.
Gambar binatang ditafsirkan merupakan pedoman untuk keberhasilan dalam perburuan binatang mereka, sementara cap-cap tangan yang didominasi warna merah diinterpretasikan sebagai cap tangan nenek moyang yang akan selalu memberikan perlindungan kepada keturunannya yang masih hidup. Simbol-simbol manusia ataupun hiasan geometris merupakan representasi alam pikiran mereka yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidup mereka. Gambar cadas di Indonesia dibuat oleh ras Monggolid, sang Austronesia kita, bukan oleh jenis manusia lain. Karena itu, kepurbaan tertua gambar cadas di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur tersebut terkunci pada periode 4.000 tahun yang lalu, bukan 40 ribu tahun di Sulawesi Selatan atau bahkan 52 ribu tahun di Kalimantan Timur, seperti yang dilansir oleh metode seri uranium akhir-akhir ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo