Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Koentjaraningrat juga seniman.
Sketsanya kuat, lukisannya hidup.
Menampilkan obyek-obyek keseharian yang menarik.
DARI tukang cukur di Maroko sampai pertandingan gulat sumo di Jepang. Dari anak-anak Baduy sampai Papua. Namun yang paling banyak dipajang adalah lukisan wajah-wajah keluarga. Dari sosok Kustiani, istri Koentjaraningrat; sampai ekspresi anak-anak dan cucu-cucunya saat masih bayi atau bocah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah pensiun, Koentjaraningrat menekuni kembali hobi masa mudanya: melukis. Lukisan-lukisan Koentjaraningrat yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta beberapa waktu lalu kebanyakan dikumpulkan dari keluarga, dari istrinya atau anaknya, Sita Satar dan Rina Tamara; bukan dari kolektor. Pamerannya memang terasa memancarkan suasana kehangatan dan kebahagiaan keluarga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koentjaraningrat, misalnya, berulang kali melukis istrinya. Ada empat lukisan tentang Kustiani dalam pameran. Dua dilukis Pak Koen—panggilan Koentjaraningrat—di Boston dan Colorado, Amerika Serikat. Lukisan Kustiani menggendong Chininta Satar, cucu pertamanya, pada 1987 dan lukisan Kustiani dengan rambut tergerai di Colorado pada 1994. Keduanya mampu menampilkan sosok Kustiani yang modern dan anggun.
Kustiani masih ingat suatu waktu ketika diminta suaminya duduk berpose untuk dilukis. Duduk diam menjadi model lukisan tak membuat Kustiani betah. Akhirnya Koen tak menyelesaikan lukisan itu. “Entahlah apakah lukisan itu ditimpa lagi atau bagaimana. Tapi setelah itu saya tak mau lagi jadi model,” ujar Kustiani, yang akrab dipanggil Bu Stien. Putri sulung Koentjaraningrat-Kustiani, Sita Satar, juga ingat ibunya pernah mengatakan tak mau jika disuruh berpose lebih dari 10 menit oleh ayahnya.
Obyek lukisan yang dipilih Pak Koen sesungguhnya “konvensional”. Rata-rata portrait. Lalu panorama, kehidupan sehari-hari masyarakat kecil di pasar, dan kampung nelayan. Sebagai antropolog, Pak Koen tentu sering keluar-masuk pedalaman. Tak diragukan bila dia memiliki the way of seeing, cara melihat kehidupan masyarakat etnis yang berbeda, yang lebih personal. Apalagi ia sering hadir dalam ritual-ritual langka. Namun lukisan-lukisannya tidak menunjukkan hal itu.
Betapapun obyeknya terasa “biasa”, lukisan Koentjaraningrat tidak dapat dipandang remeh. Pak Koen memiliki teknik realis yang lumayan. Ia bisa menggambar dengan berbagai medium. Sebanyak 63 lukisannya yang dipajang di Bentara Budaya menggunakan cat air, pensil warna, krayon, dan cat minyak. Pak Koen tampak andal dalam teknik cat air.
Lukisan-lukisan cat airnya terlihat halus dan hidup. Lihatlah bagaimana empat lukisan tentang istrinya di atas. Kita bisa mendapat nuansa ekspresi yang berbeda dari Stien. Saat Stien mengenakan kebaya dan bersanggul, misalnya, ekspresinya kontras dibanding saat ia sendiri dengan rambut terurai. Tentu Pak Koen memiliki dasar-dasar melukis di masa muda. Dia bukan mulai belajar melukis saat sepuh.
“Pak Koen belajar menggambar dari guru Belanda yang sangat bagus, Mr. Huiskens. Ia juga sempat belajar kepada pelukis Belanda ternama, Ernst Dezentjé,” kata Profesor Dr Heddy Shri Ahimsa-Putra, guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Heddy mengutip sebuah potongan wawancara antropolog Belanda, Leontine Visser, dengan Koentjaraningrat yang dimuat dalam jurnal Current Anthropology pada 1988.
Dalam wawancara itu, Pak Koen mengatakan bahwa ia berguru kepada Dezentjé. Menurut Heddy, Pak Koen dulu juga mengikuti Poesat Tenaga Peloekis Indonesia, yang salah satu anggotanya adalah Bagong Kussudiardja. Heddy ingat, Pak Koen pernah bercerita kepadanya bahwa dia sangat mengagumi guru menggambarnya saat ia bersekolah di Algemeene Middelbare School Yogyakarta—sekarang SMA Negeri 3 Yogyakarta, yang dikenal sebagai SMA 3B atau Padmanaba. Guru gambar tersebut bernama Pak Katamsi. “Sampai-sampai beliau dulu sempat pengen menjadi guru gambar,” tutur Heddy.
Kustiani mengaku tak paham betul dari mana suaminya belajar melukis. Menurut Stien, suaminya pernah bercerita bahwa saat muda dia bergaul dengan para seniman muda Yogyakarta. Salah satunya Trubus. “Yang pernah dia sebut itu Trubus, yang lain saya kurang tahu. Tapi katanya dulu ikut para pemuda corat-coret kereta api,” ujarnya.
Salah satu lukisan periode awal Koentjaraningrat mungkin adalah potret wajah sendiri dengan konte hitam, yang dibuat pada 1947. Lukisan itu terasa kuat, sugestif. Para perupa kita, seperti Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan, Basoeki Abdullah, dan Soenarto Pr., berulang kali membuat potret diri sehingga kita tahu evolusi wajah mereka. Pada 1987, Koentjaraningrat tampaknya melukis potret diri lagi, dalam pakaian guru besar Universitas Indonesia.
Stien ingat, saat melukis, sang suami sesungguhnya lebih sering bertolak dari foto. Saat tinggal di Jepang pada 1993, misalnya, mereka rutin mendapat majalah mingguan. Jika dari sampul atau lembar-lembar halamannya ada hal yang menarik, Pak Koen akan melukisnya. “Yang sumo itu dari gambar di majalah, juga lainnya,” ucap Stien. Koentjaraningrat menggambar banyak obyek di Jepang. Selain sumo, ada lukisan lanskap, kuil, pepohonan sakura, rusa, kuda, laut, dan perahu. Juga perempuan berkimono, suasana festival dan upacara, kabuki, serta potret orang Jepang dari anak-anak sampai orang tua.
Sketsa Gatotkaca & Jatayu, Kuil Jepang, 1993, dan Anak Baduy Dalam, 1990.
Saat turun ke lapangan untuk melakukan penelitian, menurut Stien, suaminya tidak melukis obyek secara langsung. Biasanya obyek tersebut dipotret dulu. Lukisan keluarga Baduy, misalnya, dilukis setelah mereka pergi ke daerah Baduy di Banten. Juga lukisan orang Papua dan Sasak.
Koentjaraningrat, seingat Stien, pernah gagal melukis secara langsung. “Waktu itu ia ingin melukis istri Pak Sadli, koleganya di UI. Melukis langsung gagal. Dari foto juga enggak jadi. Dia menyerah,” katanya. Stien ingat biasanya Koentjaraningrat melukis di teras belakang rumah. Stien baru menyadari suaminya “jorok” jika melukis setelah ia wafat. Ketika ada saudara yang meminta sisa cat, ternyata bentuk tube cat tersebut sudah tak keruan.
Dalam pameran juga disajikan sketsa-sketsa tinta hitam. Sketsa hitam-putih ini cukup impresif. Sebuah sketsa menggambarkan seekor babi di dekat seseorang yang melintas, entah dibuatnya sewaktu di Papua entah di mana.
Garis-garis sketsa itu tampak kuat dan langsung bisa menimbulkan imaji. Pak Koen selalu membawa sketchbook saat melakukan perjalanan. “Biasanya, selain memotret, Bapak akan membuat sketsanya dulu,” tutur Sita Satar. Ratusan sketsa mungkin telah dibuat, tapi sayang hanya beberapa yang dipamerkan. Suatu waktu sepertinya sketsa-sketsa Pak Koen bisa dibuatkan pameran tersendiri apabila dokumennya ada.
Lihatlah sketsa berjudul Gatotkaca & Jatayu. Seorang penari wayang wong berada di dalam kostum burung Jatayu, hanya kakinya yang terlihat. Seorang penari lain, sebagai Prabu Gatotkaca, mengendarainya. Goresan paruh, bulu-bulu, dan ekor Jatayu terlihat detail.
Orang segera bisa menyadari bahwa di masa mudanya Pak Koen juga pernah ditempa latihan tari. Di dalam lukisan-lukisannya ada lukisan tari Jaipong, tari Jawa, dan tari Bali, tapi tidak sekuat Gatotkaca & Jatayu. Pameran ini langka dan penting karena menunjukkan sisi lain Koentjaraningrat yang terlupakan. Pak Koen akademikus cum pelukis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sisi Lain Pak Koen"