Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Komunitarianisme Mochtar Pabottingi

Mochtar Pabottingi wafat dalam usia 77 tahun. Seorang pemikir yang kritis. Mengusung pemikiran komunitarianisme.

25 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI telah berpulang pada Ahad, 4 Juni lalu, Mochtar Pabottingi akan terus dikenang. Intelektual publik yang sebagian besar karier profesionalnya dihabiskan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu meninggalkan banyak sekali tulisan yang mencerahkan. Terutama bagi mereka yang hidup di era akhir Orde Baru, karangan-karangan Mochtar yang tersiar di berbagai media massa saat itu adalah refleksi terbaik tentang bagaimana kekuasaan yang zalim dijalankan secara telanjang—dan oleh karenanya harus dilawan. Hingga akhir hayatnya, dia tegak lurus dengan prinsip-prinsip kritis yang hampir tanpa ampun, terutama terhadap penguasa yang dipandangnya mengkhianati cita-cita luhur “nasion”. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konsep “nasion” bersifat sentral dalam semesta pemikiran Mochtar. Mengkontraskannya dengan “bangsa” yang dipahaminya sekadar kolektivitas sosiologis, nasion adalah kolektivitas politik yang menjadi fondasi terbentuknya negara. Berkali-kali dia mengatakan bahwa nasion adalah sesuatu yang konkret, berbeda dengan “nasionalisme” ala Benedict Anderson (2001) yang “terbayang”. Karena itu, nasion selalu merupakan nasion tertentu, seperti Indonesia atau Amerika Serikat. Nasion adalah pengalaman dan sekaligus harapan orang-orang dari mana sebuah bangsa modern memulai dan akan mengakhiri kisah perjuangannya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bertolak dari konsep nasion yang konkret itu, kita bisa memahami semesta pemikirannya. Dari sana saya bisa mengatakan, dalam peta sejarah intelektual, Mochtar adalah seorang komunitarian. Entah bagaimana rutenya hingga sampai di jalan itu, tapi cukup pasti dia adalah seorang yang sangat menghayati tidak hanya kampung halamannya, tapi juga komunitas dan masyarakat tempat dia tumbuh. 

Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 17 Juli 1945, lalu terlatih dalam ilmu-ilmu yang multidisiplin (S-1 Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada, S-2 Sosiologi di University of Massachusetts, dan S-3 Ilmu Politik di University of Hawaii), pemikiran Mochtar tersusun dari pemahaman yang terjalin di antara sejarah, struktur ekonomi, dan simbol-simbol ideologi. Kerangka ini terlihat jelas dalam disertasinya, "Nationalism and Egalitarianism in Indonesia 1908-1980" (1991), yang berusaha diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia langsung oleh dirinya pada hari-hari terakhir hidupnya. 

Istilah komunitarianisme memang hampir tidak pernah terdengar di Indonesia, termasuk di dunia akademis. Ini tidak mengherankan jika mengingat kenyataan miskinnya perdebatan intelektual yang bermutu di negeri ini. Di tempat asalnya, Amerika Serikat, komunitarianisme tidak hanya merujuk pada sebuah perspektif teoretis yang sangat kritis terhadap liberalisme, tapi juga merupakan gerakan sosial yang hendak memberikan legitimasi politik lebih tebal bagi keberadaan komunitas.

Saya kira ketika melanjutkan studi di Amerika, pada dekade 1980-an dan awal 1990-an, Mochtar terpapar perspektif gerakan ini, meski tidak pernah secara eksplisit mengungkapkannya. Namun, bila kita membaca bab terakhir buku autobiografinya yang ditulis dalam bentuk novel, Burung-Burung Cakrawala (2013), tidak pelak lagi dia adalah seorang komunitarian. Saya mau menunjukkan hal ini pada tiga permasalahan: nalar atau rasionalitas, keluarga, dan kepemimpinan dalam demokrasi. 

Pertama, masalah nalar atau rasionalitas. Bagi kalangan komunitarian, nalar adalah hal yang sangat krusial. Berbeda dengan nalar universal yang dinubuatkan oleh kalangan liberal, nalar dalam pengertian komunitarian selalu berdimensi partikular dan mempunyai tujuan praktikal. Nalar tidak digantung di langit-langit gagasan tanpa tepi, melainkan tertanam dalam sejarah dan bahasa. Hanya melalui relasi yang intim dengan tanah kelahiran dan komunitas tempat seseorang dibesarkanlah nalar akan bersemi. Dalam percakapannya dengan karibnya, W.S. Rendra, seperti tercatat dalam Burung-Burung Cakrawala (2013: 322), Mochtar berujar:

Kendati menyepakati nalar eksplisit Rendra, aku berpegang pada suatu nalar yang lain—nalar yang berkaitan lebih pada soal afeksi, pada ikatan hangat menyangkut aneka tempat dan manusia yang sudah terbangun luas dan dalam di Tanah Air, yang tak ingin kutinggalkan selamanya. Tak kalah penting, nalarku juga menukik pada soal nilai-nilai, pandangan hidup, hasrat akan kebahagiaan sejati, dan panggilan dari cita keindonesiaan.

Bertolak dari nalar yang lebih berorientasi pada afeksi, Mochtar secara otomatis menolak filsafat individualisme. Mungkin karena pengalamannya selama menjalani masa studi S-2 dan S-3, dia khawatir atas gambaran kehidupan sehari-hari di Amerika yang dilihatnya berjalan tanpa tujuan moral yang jelas. Manusia tak lebih dari “animal rationale” yang hanya mengikuti hasrat belaka. 

Mochtar tidak sendirian. Kekhawatiran serupa diungkapkan pula oleh para pemikir komunitarian Alasdair MacIntyre yang sepakat dengan pandangan filsuf Friedrich Nietzsche mengenai manusia modern, pencerahan yang berjalan semata menuruti will-nya, keinginannya. Tidak ada lagi telos yang dituju. Mochtar tidak rela jika gambaran banal tersebut mewujud di Indonesia.

Kedua, masalah keluarga. Perihal nalar yang lebih berorientasi afeksi, Mochtar sangat peduli pada keberadaan keluarga, baik dalam pengertian teoretis maupun praktis. Bagi mereka yang mengenalnya secara dekat, Mochtar adalah seorang family man yang tidak pernah canggung menanyakan kabar anak-anak dan istri atau suami kepada koleganya. Di rumahnya yang sederhana di Rawamangun, Jakarta, visinya mengenai keluarga terejawantahkan secara nyata. 

Tampaknya itu tak lepas dari pengalamannya tinggal di Amerika, yang dalam Burung-Burung Cakrawala (2013: 328) digambarkan berisi   “fragmen-fragmen yang rata-rata sarat dengan tindihan kesepian dan kesendirian—rangkaian pengalaman yang diam-diam mengendap seperti bongkah-bongkah es yang kumulatif menggigilkan kesadaranku”. Dia mewanti-wanti, “jika tak hati-hati, masyarakat Indonesia pun bisa terjerumus ke dalam kondisi kehidupan pahit demikian”. 

Bagi Mochtar, masalah keluarga bukan sekadar personal, tapi juga politik, karena nantinya memperlihatkan relasi antarwarga dalam sebuah masyarakat sipil yang sejahtera. Termasuk perkara kepengasuhan anak yang mengalami kemerosotan seiring dengan terserapnya laki-laki dan perempuan ke dunia kerja di satu sisi dan melemahnya negara kesejahteraan di sisi lain. Sisi gelap kapitalisme neoliberal ini sangat membuatnya khawatir karena tidak hanya akan merusak fondasi keluarga, tapi juga akan menghancurkan tatanan nasion.

Berangkat dari pertimbangan komunitarian itu, kita sampai pada masalah ketiga dalam pemikiran Mochtar, yaitu “lakuna kepemimpinan” dalam demokrasi. Pokok ini adalah kunci dari hampir semua komentarnya tentang politik Indonesia yang berujung pada absennya “kristalisasi politik” dalam perbincangan demokrasi. 

Namun kepemimpinan sama sekali terabaikan, bahkan di dunia akademik. Para pemikir politik liberal membayangkan demokrasi bisa berjalan tanpa pemimpin yang selalu berkonotasi otoriter. Demokrasi liberal yang berbasis pada proseduralisme menitipkan demokrasi pada pilihan bebas individu semata. Mengutip pendapat ilmuwan politik Italia, Giovanni Sartori, Mochtar menyatakan inilah pangkal kebingungan yang menjebak demokrasi pada kondisi darurat seperti yang terjadi di Indonesia. Masalahnya, para penguasa negara sejak era kolonial hingga pascakolonial sekarang membabat habis potensi kepemimpinan dalam nasion, sehingga yang muncul adalah para petugas oligarki dan partai politik belaka.

Berdasarkan tilikan singkat masalah nalar, keluarga, dan kepemimpinan tersebut, kita bisa menikmati kontribusi besar Mochtar tidak hanya pada dunia akademik, tapi juga bagi nasion. Di tangan dia, politik bukan lagi perkara “siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana” seperti yang dicetuskan oleh Harold Lasswell, melainkan “untuk siapa”—untuk siapa lagi kalau bukan untuk nasion yang bernama Indonesia. Selamat jalan, Pak Mochtar!

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus