Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran Natasha Tontey di Berlin.
Mengusung konsep kosmologi Minahasa.
Juga menampilkan film pendek karya Natasha.
SEBUAH pameran bersama yang sedang berlangsung di Akademie der Künste (AdK), Berlin, bertajuk “Broken Machines and Wild Imaginings” adalah salah satu upaya untuk bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai interaksi manusia dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Dalam buklet pengantar pameran ini, Clara Herrmann, kepala Junge Akademie yang bernaung di bawah AdK, memformulasikan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi fokus pameran ini: bagaimana seniman dapat berkontribusi dalam diskusi ini, dan apa yang ingin mereka kontribusikan? Nilai-nilai apa saja yang ingin mereka kedepankan? Bahasa dan estetika macam apakah yang tersisa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Junge Akademie adalah program residensi seni internasional di Akademie der Künste. Sejak 2019, program ini memusatkan tema kecerdasan buatan. Saat ini Junge Akademie menjalankan dua program residensi, yaitu Human Machine bekerja sama dengan program VISIT dari E.ON Foundation dan E-WERK Luckenwalde sejak 2022. Program yang kedua bertajuk AI Anarchies yang didanai oleh Komisi Pemerintah Federasi untuk Kebudayaan dan Media. Pameran “Broken Machines & Wild Imaginings” yang berlangsung pada 1 Juni-9 Juli 2023 di Galeri Akademie der Künste tersebut menampilkan hasil kedua program ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman interdisipliner Natasha Tontey, yang bermukim di Jakarta dan Yogyakarta, merupakan salah satu seniman muda yang terpilih untuk bergabung dengan residensi Human Machine sejak 2021. Kini ia ikut memamerkan karya hasil residensi tersebut bersama 12 seniman lain dari seluruh dunia.
Hanya ada lima seniman yang dipilih untuk mengikuti residensi Human Machine dua tahun lalu. Natasha Tontey sebagai seniman memang sudah menorehkan sejumlah prestasi. Dalam proses seleksi residensi di AdK, rupanya konsep yang diajukan Natasha dalam proposalnya secara khusus menarik perhatian Siegfried Zielinski, salah satu anggota dewan juri residensi. Zielinski adalah profesor teori media di Universität der Künste, Berlin, dan anggota Departemen Seni Visual di Akademie der Künste.
“Ia tertarik karena saya menggunakan konsep deep time dalam mendeskripsikan filosofi makatana dalam kepercayaan asli Minahasa,” ujar Natasha. Zielinski adalah penulis buku Deep Time of the Media: Toward an Archaeology of Hearing and Seeing by Technical Means yang terbit pada 2008. Secara sangat sederhana, deep time dapat diartikan sebagai kurun waktu yang jauh di masa lalu sebelum terukur oleh konsep waktu. Dalam paparan Natasha Tontey, energi kebijakan yang mendasari kepercayaan asli Minahasa sudah ada sejak masa deep time. Inilah yang disebut dengan makatana.
Lalu bagaimana kaitannya dengan kecerdasan buatan?
“Saya menyoroti karakteristik makatana sebagai energi alam semesta yang dapat beroperasi secara mandiri tanpa perlu intervensi manusia. Namun manusia bisa hidup dengan itu, bisa juga celaka olehnya,” Natasha menjelaskan. Ia menyebut makatana sebagai pharmakon, yaitu bersifat potensial sebagai obat, tapi juga bisa menjadi racun. Menurut dia, hal inilah yang sesungguhnya serupa dengan karakteristik kecerdasan buatan yang secara umum hanya diasosiasikan dengan perkembangan teknologi terbaru. Padahal, dia menjelaskan, cara beroperasi seperti yang ditemui pada AI tersebut sudah ada pada makatana sejak berjuta-juta tahun lalu. Natasha ingin bersikap kritis terhadap pengertian teknologi yang sempit dan kaku itu.
Instalasi karya Natasha Tontey dalam pameran bertajuk Broken Machines and Wild Imaginings di Akademie der Künste , Berlin, Jerman, Juni 2023. Nelden Djakababa
Instalasi seni Natasha Tontey ditempatkan oleh para kurator pameran pada ruang di antara aula 1 dan aula 2, sebagai semacam transisi antara bagian “Human Machines” dan “AI Anarchies”, karena ia mengeksplorasi kedua tema tersebut secara simultan.
Pengunjung pameran akan disambut oleh tata cahaya yang remang-remang cenderung gelap, dengan terang lampu sorot pada beberapa titik. Hal pertama yang terlihat ketika memasuki ruang tersebut adalah sebuah layar ganda. Satu lapisan berupa kain tembus pandang dan sekitar 3 meter paralel darinya terdapat sebuah layar tak tembus pandang yang dipasang di partisi batas ruang. Pada kedua layar tersebut diproyeksikan film pendek terbaru karya Natasha bertajuk Of Other Tomorrows Never Known produksi tahun ini. Film berdurasi nyaris 16 menit ini diproduksi di Yogyakarta khusus untuk pameran yang akan berlangsung hingga 9 Juli 2023 tersebut. Dengan layar ganda itu, kalau disaksikan dari depan, film terkesan mengalami double exposure. Pengunjung juga ditawari pilihan untuk berdiri di antara kedua layar dan menyaksikan film pada satu layar di dinding, atau memutarbalikkan badan dan menyaksikan film yang sama pada layar tembus pandang. Namun, dalam posisi terbalik, kita seperti melihat bayangan dalam cermin. Ke mana pun menatap, pengunjung yang berdiri di antara dua layar ini seolah-olah berada di dalam film itu sendiri.
Of Other Tomorrows Never Known menampilkan makatana dalam wujud seorang vampir siborg pengisap ingus yang menggunakan kekuatan alam semesta untuk menghidupkan kembali tulang rangka ikan purba coelacanth. Ia kemudian melakukan perjalanan dari deep time ke masa kini untuk menyembuhkan seorang perempuan yang menderita sinusitis. Namun kemudian si manusia berusaha mengendalikan makatana. Akibatnya, keduanya mengalami kehancuran.
Pada bagian ruang yang berhadapan dengan kedua layar tersebut, pengunjung mendapati sejumlah properti yang juga terlihat digunakan di dalam film, seperti dekorasi panggung yang menunjukkan suasana malam, burung manguni yang terbang di atas sekelompok waruga atau batu kubur megalitik purbakala, tempat lilin listrik yang dikelilingi kursi plastik berwarna merah, dan karpet berupa rumput palsu.
Di film ini, Natasha berupaya mengekspresikan pemahamannya tentang makatana dengan bahasa visual yang ia miliki. “Saya tumbuh dengan menonton serial televisi, seperti Tuyul dan Mbak Yul, Si Doel Anak Sekolahan, dan film-film tipe B. Inilah isi bagasi yang saya bawa dalam diri saya,” katanya. Natasha juga terinspirasi gerakan seni Bauhaus di Jerman, seperti yang terlihat dalam tarian tokoh perempuan di film terbarunya itu, yang terinspirasi Das Triadische Ballett karya Oskar Schlemmer. Maka bahasa-bahasa visual inilah yang tertuang dalam karya-karyanya.
Natasha Tontey. Dok. Singapore Biennale 2022
Selama berada di Berlin, Natasha juga membuat film lain bertajuk Garden Amidst the Flame (2022) yang diputar di Xposed Film Festival Berlin 2023 dalam program film pendek All the Aunties. Pemutaran film yang berlangsung pada Sabtu, 17 Juni lalu, itu berlangsung di Kino Moviemiento dalam studio yang penuh sesak. Sesudah pemutaran film, Natasha Tontey hadir di depan layar bersama sutradara asal Prancis berdarah Madagaskar, S.J. Rahatoka, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penonton tentang film yang beranjak dari ritual karai di Minahasa tersebut.
Natasha memang menggeluti kepercayaan asli Minahasa sejak 2019, termasuk mempelajari dan mengikuti ritual-ritualnya. Darinya, ia memperoleh wawasan yang terasa segar mengenai alam semesta dan hubungan manusia dengan nonmanusia. Pada saat yang sama, ia bersikap kritis terhadap aspek-aspek hipermaskulinitas yang hadir di sana. “Saya memang tidak mau mengglorifikasi budaya saya sendiri,” dia mengimbuhkan. Dengan mempelajarinya, ia berharap juga akan bisa lebih menyoroti hal-hal yang dinilainya harus disikapi dengan kritis.
Hubungan manusia dengan nonmanusia juga akan menjadi tema sentral dalam film Natasha berikutnya, yang pada saat ini masih dalam perencanaan. “Film itu akan bercerita tentang orang-orangan yang khusus dibuat para petani di Minahasa untuk mengusir monyet,” tuturnya, lalu tersenyum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Antara Kosmologi Minahasa dan Artificial Intelligence "