Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Maestro dari Desa Meskom

Di desa ini berdiamlah para maestro tua zapin. Hidup dengan seni, dan menurunkan ilmunya kepada yang muda.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMUMNYA 80 tahun. Hari itu badannya masih terserang demam tinggi. Ia menggigil dan salah satu tangannya agak bengkak. Tapi ia langsung bangkit ketika diminta menari zapin. Tertatih-tatih, ia masuk ke arena.

Penonton menahan napas. Irama gambus lagu Bunga Cempako mengalun. Satu, dua, tiga, empat, lelaki uzur itu bergerak ke depan dan ke belakang seiring dengan irama petikan gambus dan entakan marwas. Sesekali, ia agak limbung. Napas hadirin terhenti sesaat ketika melihat tubuh yang ringkih itu seperti hampir terjatuh….

Raut wajah Pak Tua itu begitu gembira saat membawakan tarian, dan itu membuat tariannya memancarkan keanggunan luar biasa. Zapin yang dipertunjukkannya mampu memukau seratusan penduduk dan para pengamat zapin.

Itulah penampilan Ahmad Yazid, maestro zapin Desa Meskom. Desa berpenduduk 6.000 jiwa itu terletak 13 kilometer ke arah selatan dari Kota Bengkalis. Desa yang dikenal sebagai penghasil ikan langka, terubuk, sejenis bandeng, itu tersohor sebagai desa zapin. Di situ tradisi zapin diteruskan secara turun-temurun. Begitu juga para pemain instrumen pengiring, gambus dan marwas.

Datanglah ke sana. Anda akan melihat bagaimana zapin secara alamiah berurat-berakar dalam ke seharian. Anda akan menyaksikan bagaimana seusai sekolah anak-anak lelaki dan perempuan akan te rus berlatih zapin. ”Di sini anak-anak bermain gambus dan marwas setiap petang meski tak ada acara khusus,” tutur Riza Pahlefi, Ketua Dewan Kesenian Bengkalis.

l l l

”Meski dulu tak dibayar, penari dan pemusik zapin sangat dihormati masyarakat,” Ahmad Yazid me ngatakan pengalamannya kepada Tempo. Lelaki tua itu lalu bercerita bagaimana riwayat zapin masuk ke Desa Meskom. Ia ingat, di Desa Meskom ini ia ber guru sejak berumur delapan tahun pada Datuk Sebeh dan Abdullah Noer, penari zapin asal Langkat, Sumatera Utara, yang sempat bermukim di desanya.

Di desa yang sama, Tempo bertemu dengan Baharuddin, yang merupakan cucu Datuk Sebeh. Baharuddin mengatakan kakeknya dulu membawa zapin Desa Meskom hingga ke negeri jiran, Kesultanan Johor, yang kini menjadi bagian Malaysia. ”Waktu itu zapin dari Desa Meskom di perhelatan mana pun selalu jadi puncak acara,” kenangnya.

Yazid sendiri ingat betapa indahnya menari ber sama Datuk Sebeh dan Abdullah Noer saat itu. Ketika zapin mulai meredup pada 1970-an, Yazid, yang sehari-hari bekerja sebagai penyadap karet, tetap berusaha melangsungkan keberadaan zapin di Desa Meskom. Pada 1975, ia mendidik generasi muda Desa Meskom untuk menarikan zapin. ”Saya berkeliling desa atau ke tempat mana pun dengan sepeda. Yang penting badan sehat,” tuturnya lirih sembari tersenyum.

Sebagai guru, ada satu hal yang selalu ia pegang sebagai pedoman. ”Saya tidak mau mengajarkan zapin di luar pakem,” ia menegaskan. Meski pembaruan terus berlangsung, Yazid tetap setia mengajarkan dan menari sesuai dengan tradisi zapin yang ia peroleh dari gurunya. ”Menarikan zapin punya banyak syarat. Salah satunya tangan tidak boleh terlalu terbuka,” ujarnya. ”Zapin tradisi seharusnya identik dengan gerak kontemplasi dan bukan kreasi yang berlebihan,” katanya mengeluhkan kecenderungan anak-anak muda kini memainkan zapin.

Pada 1990-an, melanjutkan usaha regenerasi Yazid itu, Baharuddin—sang cucu Datuk Zebeh—mendirikan kelompok kesenian Yanurbi. Hasilnya membanggakan: mereka mampu membawa zapin Desa Meskom ke berbagai tempat, seperti Yogyakarta dan Ban dung. Bahkan, bersama Sanggar Tasik, Kota Bengkalis, mereka sampai melawat ke mancanegara, seperti Singapura dan Prancis. Sanggar Tasik juga tampil dalam perhelatan zapin sedunia yang diselenggarakan di Johor, Malaysia.

Selain sebagai tempat penari, Desa Meskom dikenal menjadi ”sarang” para pemusik dan perajin gambus dan marwas. Di desa ini, misalnya, terdapat Abdullah, 65 tahun, yang merupakan perajin dua alat musik itu. ”Kayu terbaik untuk gambus adalah kayu nangka dan kayu cempedak,” katanya. Sedangkan kulit kambing atau sapi penutup bagian perut gambus dan marwas haruslah dari kulit betina muda.

Abdullah belajar membuat gambus dan marwas secara otodidak. Rata-rata pemusik gambus belajar secara otodidak. Salah satu pemetik gambus dan penyanyi zapin terkenal dari Bengkalis adalah Haji Zakaria bin Muhammad Amin, 67 tahun. Ia memetik senar gambus secara otodidak sejak berusia 9 tahun.

Perawakan kakek empat cucu ini masih gagah. ”Saya belajar memetik gambus dan menyanyi zapin sendiri dengan alat musik gambus peninggalan almarhum Ayah,” ujar Zakaria. Sedari belia, ia pun mendapat kehormatan untuk mewakili Bengkalis di Pekanbaru. ”Pemetik gambus harus pandai menyanyi meski suaranya tidak merdu,” katanya seraya tersenyum. Lalu ia pun menyanyikan sebuah pantun yang biasa untuk mengiringi zapin:

Tanjung jati pelampung pukat/pintu gerbang kusangka lorong/kekasih hati bukanlah dekat/hendak terbang bukanlah buruk.

Suaranya tetap bening dan lantang. Ia bercerita, lagu yang ia nyanyikan beragam, dari pantun alam, percintaan, masalah agama, hingga sindiran kepada raja dan pemerintah. Seperti Ahmad Yazid, ia pun mengeluh tentang perkembangan zapin masa kini. ”Sekarang ini zapin tak sama dengan masa lalu. Dulu zapin terutama bertumpu pada gerak kaki, sementara sekarang tari kreasi zapin dianggap yang asli,” ujarnya menggerutu.

l l l

Malam itu listrik padam di Desa Meskom. Desa gelap-gulita. Tapi itu tak menghalangi warga Desa Meskom untuk tetap menjamu tamu yang berdatang an. Warga menyalakan lilin. Tua-muda, pria-wanita, kemudian berduyun-duyun mendatangi rumah Abdurrahim, satu-satunya kediaman warga yang malam itu dilengkapi genset.

Cahaya lampu berpendar dari arah panggung sederhana yang terpasang di halaman rumah itu. Sebuah layar tancap dipasang di sebelah panggung untuk memudahkan penduduk menyaksikan jalannya acara.

Indah, begitu indah. Selesai menari, gerak tubuh Yazid seolah masih berbekas. Yazid seolah ingin membuktikan bahwa semakin uzur seorang penari zapin justru semakin elok dipandang. ”Mungkin karena secara gerontologi gerak tubuh orang tua sesuai dengan hukum dasar serta harmonisasi pakem zapin,” duga Dr Yusmar Yusuf.

Setelah yang tua, kini giliran yang muda. Abdul Karim, 48 tahun, di cahaya lilin yang muram bersemangat mengenakan kostum, satu setel teluk bela nga dengan kain samping dari songket warna jingga keemasan. Tak lupa ikat kepala khas Sumatera.

Kemudian giliran anak-anak usia sekolah dasar hingga sekolah menengah atas Desa Meskom. De ngan kostum Melayu sederhana dalam balutan warna-warni ceria, mereka melenggang bergerak serasi di atas panggung membawakan komposisi tari zapin kreasi hasil garapan para koreografer tamu.

”Bila orang ingin belajar tentang zapin, datang dan tinggallah di desa kami, Desa Meskom Bengkalis,” seolah begitulah bisik mereka.

Sita Planasari Aquadini (Bengkalis)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus