Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA Indonesia. Tapi, ja ngan salah duga. Indonesia yang ini bukan negara, namun panggilan seekor orangutan (Pongo pygmaeus) betina di pulau buat an di Wanariset Samboja Lestari, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Petugas Wanariset memberi nama itu karena primata ini lahir pas pada 17 Agustus 1994.
Sejak tahun lalu Indonesia tinggal dan mengikuti latihan di pulau itu. Bersama keempat temannya, ia terampil bergelantungan di pohon, jumpalitan, dan makan buah-buahan.
Belakangan, pengelola Wanariset pusing tujuh keliling. Bukan cuma Indonesia, Laura, Bastian, Jovan, dan Pingkan saja yang ada di tempat itu. Sebanyak 223 orangutan mulai dari usia 2 hingga 15 tahun berjejalan di sana. ”Kami pusing. Orang-orang te rus menitipkan (orangutan), namun tak pernah mengambil lagi,” kata Anali za Chaniago, juru bicara Wanariset, kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Wanariset Samboja Lestari yang luasnya 1.580 hektare memang menjadi pusat rehabilitasi orangutan. Lembaga ini didirikan Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (dikenal sebagai Yayasan BOS atau The Borneo Orangutan Survival Foundation) pada 1991. Selain di Kalimantan Timur, yayasan ini juga mengelola pusat rehabilitasi orangutan di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Luas Wanariset tiga hektare.
Dalam pengelolaannya, Yayasan BOS bekerja sama dengan kepolisian dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Departemen Kehutanan. Aparat pemerintah menyita orangutan yang dipelihara masyarakat dan kemudian menyerahkan primata ini ke Wanariset untuk menjalani proses karantina dan so sialisasi.
Hewan sitaan itu umumnya masih bayi atau lahir ketika induknya mengandung seperti yang dialami si Indonesia. Ada juga hewan sitaan yang sudah lama dipelihara orang sehingga tak tahu lagi bagaimana menjalani hidup sebagaimana layaknya orangutan di habitatnya. Petugas Wanariset lantas memberi pelatihan dan setelah tuntas bakal dilepas ke lingkungan alaminya.
”Peranan kami sebatas menyiapkan kemampuan bertahan hidup bagi orangutan di alam liar,” ujar manajer proyek Samboja Lestari, Paramita Ananda. Hewan yang datang ditempatkan dalam area babies rooms, kandang sosialisasi, kandang individu, pulau orangutan, sekolah hutan, dan rumah singgah.
Sekolah hutan ditujukan bagi bayi-bayi orangutan yang berumur kurang dari tiga tahun. Mereka menghabiskan waktunya setiap hari di hutan dengan pengawasan petugas yang menjadi induk angkat. Rumah singgah merupa kan proses belajar mengenal habitat ala mi serta berbagai jenis pohon pakan. Biasa nya orangutan berlatih di rumah singgah ini selama enam bulan sebelum dilepaskan.
Ada pula pulau-pulau buatan khusus bagi orangutan yang menderita hepatitis B kronis yang sulit disembuhkan, yang tua, cacat, atau yang tak mungkin dilepaskan di hutan. Pulau-pulau ini diperkaya dengan beberapa jenis pohon buah-buahan serta dilengkapi dengan arena bermain.
Kini, setelah berjalan 17 tahun, jumlah orangutan sitaan melebihi daya tampung. Di Wanariset Samboja saja ada 223 orangutan. Padahal jumlah ideal yang bisa ditampung hanya setengah nya. Wanariset Nyaru Menteng sekarang mengelola 617 ekor orangutan, sementara daya tampungnya cuma 300.
Rupanya aktivitas pembalakan dan pe rambahan hutan membuat orangutan terpinggirkan. Ini terjadi di Berau, Kutai Timur, Bontang, dan daerah lainnya. ”Ancaman terbaru bagi orangutan adalah konversi hutan menjadi perke bun an kelapa sawit,” kata Profesor Anne Russon, sekretaris Dewan Penasihat Ilmiah Yayasan BOS.
Pernyataan Anne tak berlebihan. Di Kalimantan Tengah, mi salnya, sekitar 300 orangutan menjadi korban pem bukaan perkebun an kelapa sawit. Hewan ini terlunta-lunta karena habitatnya hancur. Oleh petugas, ratusan primata ini kemudian diserahkan ke Nyaru Menteng. Hal yang sama juga terjadi di Samboja Lestari.
Menurut Untung, petugas komunikasi di Nyaru Menteng, orangutan korban perkebunan sawit tak semuanya bisa ditampung. ”Fasilitas kandang kami terbatas,” ujarnya. Di sini hanya ada 200 kandang untuk karantina dan sosiali sasi. Yang diterima hanya yang berusia di bawah lima tahun, yang terluka, atau sakit.
Mereka ditempatkan di pulau-pulau buatan seluas 100 meter persegi yang dikelilingi kolam sedalam dua meter. Sementara orangutan sitaan lainnya yang sehat dipindahkan atau ditranslo kasikan ke hutan di sekitar perkebun an kelapa sawit yang habitatnya masih baik.
Urusan memindahkan orangutan ke habitat alaminya juga menimbulkan masalah. ”Hutan mana lagi yang masih tersisa?” tanya Analiza. Menurut dia, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan industri semakin pesat. Tak ayal, habitat bagi orangutan semakin terdesak.
Awalnya, hutan lindung Gunung Beratus dan Sungai Wain menjadi tempat permanen orangutan eks penghuni Samboja Lestari. Hutan lindung Gunung Beratus seluas 28.261 hektare masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kutai Barat. Kini kedua hutan ini tak bisa lagi menampung orangutan. Sungai Wain di Kalimantan Timur penuh dengan aktivitas manusia, sementara di Pegunungan Beratus habitat lingkungannya rusak oleh pembalakan liar.
Menurut Analiza, kondisi itu membuat pihaknya menolak titip an orangutan lagi. Alasan lainnya, kata Analiza, adalah besarnya bia ya mengelola Wanariset. Untuk membiayai seekor orangutan da lam sebulan, butuh dana Rp 1,5–1,7 juta. Belum lagi biaya merawat 52 beruang madu yang menjadi penghuni Samboja Lestari.
Analiza menyebutkan, dalam sebulan biaya me rawat orangutan dan be ruang madu sampai Rp 412 juta. ”Ini belum termasuk biaya operasional dan gaji 203 pegawai,” ka tanya. Dia tak memberikan data dana yang diperoleh melalui sejumlah program yayasan. Mereka memang mengkampanyekan sejumlah program pengumpulan dana, namun hasilnya belum signifikan untuk mendukung biaya operasional Wanariset.
Selain dua tempat di atas, pusat rehabilitasi orangutan juga terdapat di Pasir Panjang, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Di Kalimantan sendiri terdapat tiga subspesies orangutan, yakni Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus wurmbii, dan Pongo pygmaeus morio.
Dua subspesies pertama ditemukan di Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Sedangkan satu subspesies lainnya ditemukan di Kalimantan Timur dan Sabah, Malaysia. Dari survei 2006, jumlah orangutan Borneo diperkirakan tinggal sekitar 50 ribu ekor. Yang merosot jumlahnya adalah subspesies Pongo pygmaeus, cuma 4.800 ekor. ”Ini akibat tingginya kerusakan habitat, perburuan, dan perdagangan satwa liar di Kalimantan Barat,” kata Albertus Tjiu, Spesies Conservation Program Officer, WWF-Indonesia di Putussibau.
Albertus khawatir jumlah itu bakal ber kurang karena ada dua ancaman menghadang. Pertama, keluarnya izin hak pengusahaan hutan pembaruan di koridor antara Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum. Kedua, terus bergerilya nya investor membangun perkebunan kelapa sawit di perbatasan Indonesia- Malaysia.
Departemen Kehutanan sendiri sudah menerima surat dari Yayasan BOS me ngenai masalah yang dihadapi di Samboja dan Nyaru Menteng. ”Kami juga dilematis,” kata Herry Djoko Susilo, Kepala Subdirektorat Genetik dan Konservasi Spesies, Direktorat Jende ral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Di satu sisi, dikritik karena tak menegakkan aturan; di sisi lain, orangutan sitaan membutuhkan dana pera watan besar. ”Anggaran pemerintah terbatas,” ujarnya.
Untung Widyanto, S.G. Wibisono (Kutai Kartanegara) dan Karana W.W. (Palangkaraya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo