Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Zapin

Malam gelap-gulita. Listrik padam. Genset dipasang. Kaki-kaki itu bergerak ke depan-belakang sesuai dengan iringan musik gambus dan marwas. Kaki-kaki milik penari uzur sampai penari bocah dalam langkah ritmis. Itulah perhelatan Semarak Zapin Serantau—yang diadakan di sebuah pelosok desa di Bengkalis. Bengkalis dikenal sebagai sebuah kabupaten di Riau, tempat zapin tumbuh secara alamiah. Ia the soul of zapin. Ikuti laporan Tempo dari Bengkalis. Meski hujan deras, festival tetap mengesankan.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAT Baru, Kecamatan Bantan, 13 kilometer ke arah timur dari Kota Bengkalis, Minggu, 2 September 2007. Hari itu hujan turun. Makin malam makin deras. Para penari zapin dari Batam, Karimun, Pekanbaru, dan Singapura, yang sudah siap tampil dengan kostum lengkap, tampak masygul. Mata me reka waswas menatap hujan yang makin lebat.

Seharusnya kaki-kaki mereka telah melakukan gerak patah-patah yang indah di lapangan dekat rumah adat tempat berkumpul mereka itu. Hari itu mereka akan tampil sebagai pembuka acara Semarak Zapin Serantau 2007—festival besar zapin yang digagas Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis.

Sengaja, oleh panitia, malam pertama festival ini diadakan di daerah Selat Baru—wilayah yang keba nyakan warganya adalah pendatang dari Jawa. Panitia ingin memasyarakatkan kesenian khas Melayu, zapin, pada komunitas ini.

Tapi hujan seperti tanpa ampun. Sedikit demi sedikit lapangan Selat Baru tergenang. Air sampai se tinggi mata kaki. ”Kami tak manggung. Kami tak berani menanggung risiko dengan peralatan listrik,” stage manager Semarak Zapin Serantau, S.P.N. Iwan Irawan Permadi, mengeluh.

Para penari dari Batam, Karimun, dan Singapura itu masih tampak berharap hujan akan berhenti. Tapi tiba-tiba pettt. Listrik di Rumah Adat padam. Dusun Selat Baru gelap-gulita. Harapan penari langsung sirna. Malam pertama perhelatan gagal. Para penari yang telah siap itu—dengan kostum dan tata rias masih belum terhapus—segera angkat kaki dari Rumah Adat. ”Saya kecewa. Saya kecewa. Tapi mau apa lagi?” ujar Ari Gifo, koreografer Sanggar Sri Setaman, Batam, Kepulauan Riau.

l l l

Bengkalis tengah menyelenggarakan hajat besar. Festival zapin kali ini bukanlah yang pertama. Perhelatan dua tahunan itu adalah yang ketiga kalinya mereka adakan. Pemerintah Bengkalis ingin memiliki sebuah pesta zapin internasional yang mampu menyamai kesuksesan Festival Zapin Nusantara yang digelar di Johor, Malaysia, pada 1998.

Keinginan untuk menempatkan Bengkalis sebagai salah satu pusat perkembangan zapin masa kini bagi mereka adalah hal yang cukup mendasar. Bengkalis dikenal sebagai ”the soul of zapin”. Tatkala zapin mulai ditinggalkan anak-anak muda di seantero Sumatera, zapin dengan segala tradisi dan pengembangannya bertahan di kabupaten dengan 13 kecamatan itu.

Di Bengkalislah zapin tetap berkembang secara ala mi di komunitas-komunitas pedesaan. Di Bengkalislah, misalnya, terdapat sebuah desa bernama Meskom (baca ”Maestro dari Desa Meskom”) yang dikenal memiliki maestro-maestro penari tua zapin yang masih terus-menerus melakukan regenerasi seraya memberikan pendidikan menari zapin bagi anak-anak.

”Perkembangan zapin di Bengkalis sangat mengagumkan, berbeda dengan di daerah kami—keberadaan zapin seperti hidup enggan mati tak mau,” kata Loni Jaya Putra, penata musik PLT Awang Sambang, Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau.

Zapin, kita tahu, aslinya bukan berasal dari tanah Sumatera. Tarian ini menyebar ke wilayah Sumatera dari Hadramaut (Yaman). Zapin berasal dari kata Arab zaffan, yakni penari atau langkah kaki. Pada awal perkembangannya, zapin pernah menjadi media dakwah Islam dan pendidikan budaya Melayu. Selama masa kejayaan kesultanan di Riau, banyak daerah pernah menjadi pusat perkembangan zapin.

Sebagai daerah pelabuhan, zapin Bengkalis mendapat banyak pengaruh dari kebudayaan luar, termasuk dari Siak. Sebelum Indonesia merdeka, seca ra historis wilayah Kabupaten Bengkalis sebagi an besar berada di wilayah pemerintahan Kerajaan Si ak Sri Indrapura. Istana Siak dulu juga terkenal memiliki dan mengembangkan tradisi menari zapin istana. Tapak besar zapin di seluruh Riau, menurut buda yawan Riau, Dr Yusmar Yusuf, memang berakar dari Istana Siak.

Di Istana Siak semula zapin ditarikan dengan aroma Arab. Itu karena sultan-sultan yang berdiam di istana masih keturunan Arab. Zapin diiringi alat musik gambus besar yang disebut ’ud serta syair-syair lagu padang pasir. Saat itu zapin hidup dan direkayasa demi kehendak istana. ”Istana mengkonstruksi zapin atas nama rakyat, padahal sebenar nya untuk mengisi kerinduan mereka kepada tanah leluhur,” kata Yusmar.

Hal itu, menurut Yusmar, terlihat antara lain pada gerakan takzim atau tabik yang diberikan sebelum dan sesudah tari. Dulu, ketika seorang penari zapin hendak tampil di hadapan raja, ia harus melalui sederetan ujian penting. ”Seorang penari zapin akan diukur tingkat keberhasilannya dari seberapa tinggi kaki diangkat. Zaman dulu, bila kaki diangkat melebihi mata kaki, sang guru akan langsung mengibaskan sapu tangan ke kaki penari tanda tidak patut,” kata Raja Alfiravindra, dosen tari Melayu Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, yang pernah melakukan penelitian zapin di Bengkalis.

Raja Alfiravindra menyebutkan, dulu, tes lolos seleksi menjadi penari zapin istana cukup berat. Seorang calon penari istana diharuskan menari di rumah panggung beralaskan permadani yang bagian bawahnya ditaburi penganan sejenis kacang. ”Sang guru akan berdiri di bawah kolong rumah. Bila terdengar suara kacang berderak, pertanda sang penari belum layak masuk istana.”

Tapi, andai sang penari mampu melangkah dan bergerak tanpa membuat kacang-kacang bergetar, tak bersuara, itu pun belum berarti dia langsung lulus. Menurut Raja Alfiravindra, sang guru akan melihat apakah permadani kusut karena gerakan penari. Kalau permadani kusut, nama si calon penari istana pun akan dicoret.

Zapin Arab yang elitis itu, menurut Yusmar, kemudian ”dijinakkan” masyarakat Melayu. ”Ukuran gambus diperkecil dan syair lagu yang dinyanyikan pun berdasarkan pantun-pantun Melayu macam Lancang Kuning ataupun Kopi Tumpah,” ungkapnya. Zapin rasa Melayu ini kemudian berkembang seiring dengan masa puncak Malaka pada abad ke-13 dan ke-14.

Bengkalis adalah tempat zapin dijinakkan itu. Di Bengkalislah zapin kemudian menjadi betul-betul milik rakyat dan tidak ”istana-sentris”. Apalagi kemudian ketika revolusi sosial terjadi di Sumatera pada 1946, saat banyak istana dibakar oleh massa sehingga tradisi zapin istana banyak yang hilang. Di Bengkalis, sebaliknya, zapin malah berkembang menjadi egaliter. Di Bengkalis, zapin menjadi feno mena rakyat jelata.

Tak mengherankan, banyak tarian zapin di kepulauan Bengkalis yang bertolak dari unsur-unsur lokal. Salah satunya adalah zapin api dari Pulau Rupat. Meski zapin identik sebagai kesenian bernuansa islami, zapin api menurut Riza Pahlefi, Ketua Dewan Kesenian Bengkalis, banyak memasukkan unsur animisme dalam penampilannya.

”Mereka menarikan zapin di atas bara dan tempurung api. Saat menari dan memainkan alat musik gambus serta marwas, mereka dalam kondisi trance,” kata Riza. Repotnya, untuk mencapai kondisi itu, mereka memerlukan waktu agar para roh mau memasuki tubuh. ”Itu sebabnya, meski unik, kami tak dapat memboyong kesenian zapin tersebut dalam perhelatan,” kata Riza.

Karena begitu merasa memiliki zapin itulah Peme rintah Kabupaten Bengkalis berambisi memiliki sebuah festival zapin yang besar. Bahkan, dengan guyuran dana setengah miliar rupiah dari APBD Kabupaten Bengkalis, Dinas Pendidikan Bengkalis sebelumnya mencetak ratusan keeping VCD khusus. VCD pelajaran tari zapin itu disebarkan secara gratis ke sekolah-sekolah tingkat SD hingga SMA di seluruh kabupaten. ”VCD itu mendapat respons positif karena tari zapin akan lebih mudah dipelajari dalam bentuk visual,” cerita Suhaimi, mantan Ketua Sanggar Tasik Bengkalis, penggagas VCD pendidikan tari zapin itu.

l l l

Lapangan Tugu, pusat Kota Bengkalis, 3 September 2007. Ini malam kedua perhelatan. Seperti kemarin, hujan terlihat turun rintik-rintik lagi saat petang. Semua mulai merasa itu tanda-tanda bahwa hujan akan kembali turun lebat. Dan benar, hujan yang begitu deras kembali menghajar Bengkalis.

Panggung megah berukuran 18 x 10 meter yang dipersiapkan untuk pentas akbar itu menjadi merana. Seluruh pendukung acara yang telah siap di balik panggung itu berkemas-kemas. Tapi mereka tak pulang atau kembali ke hotel. Panitia telah mempersiapkan rencana cadangan. Perhelatan dipindahkan ke Gedung Kesenian Che’ Puan, Bengkalis, yang hanya terletak beberapa meter dari tempat semula.

The show must go on, meski akibatnya pertunjuk an mundur dua jam. Penonton ternyata setia. Mereka rela menunggu. Kekurangan pada artistik panggung dan audio pun karena serba darurat tak terlalu me reka persoalkan.

Pertunjukan dibuka oleh kelompok kesenian tuan rumah, Sanggar Tasik asal Kota Bengkalis. Sekitar 20 penari, dari anak-anak hingga orang tua, mempersembahkan tarian zapin khusus: Zapin Tiga Ge nerasi. Keserasian langkah serta keharmonisan ge rak memukau sekitar 700 hadirin.

Sanggar Tasik memasukkan unsur-unsur kreasi baru, tapi tak terlalu banyak ”melenceng” dari pa kem zapin. Kelompok zapin dari Bengkalis ini agaknya tak terlalu berhasrat untuk melakukan inovasi-inovasi baru dalam zapin. Ini berbeda dengan kebanyakan kelompok kesenian kota lain yang tampil malam itu. Mereka banyak memasukkan unsur kesenian Melayu yang cukup rancak macam joged dalam koreografi.

Pembaruan yang muncul dalam pertunjukan malam itu pun tak hanya pada unsur gerak yang di namis. Kelompok kesenian Laksemana asal Pekanbaru, misalnya, melakukan terobosan baru dengan memberikan roh cerita dalam koreografi Seligi Tajam Bertimbal. Akan halnya Kelompok Seni Majlis Pusat Kirana Seni asal Negeri Singa, mereka membawa serta alat musik kompang dan tongkat ke atas panggung. Alat musik kompang itu membuat ramai suasana. Salah satu penampilan yang juga mendapat tempik-sorak membahana pengunjung adalah kelompok Sanggar Sri Setaman asal Batam.

Zapin-zapin gaya baru yang rancak tersebut membuat festival ingar-bingar malam itu. Namun tak semua merasa senang dengan perkembangan itu. Ada yang melihat tarian-tarian generasi muda terlalu keluar dari pakem zapin. Prof Dr Mahdi Bahar dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Padangpanjang, justru melihat zapin rakyat, zapin tradisional, yang masih banyak ditemukan di Bengkalis dan Siak itulah yang perlu dipertahankan dan dibuat lebih anggun.

Hujan deras di luar. Di malam yang dingin itu, yang tua ingin melihat zapin dengan ekspresi yang lebih bergulat di wilayah rohani. Yang muda ingin yang lebih riuh.

Sita Planasari Aquadini (Bengkalis), Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus