Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mafioznik di tengah krisis ekonomi

Kondisi ekonomi dan pertahanan menyebabkan banyak masalah yang harus dihadapi pemeritah. kini, di rusia muncul kelompok mafia-mafia yang disebut mafioznik.

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bubarnya Uni Soviet membuka peluang bagi republik-republik di Asia Tengah untuk menentukan nasib sendiri. Kepentingan penduduknya, yang beragama Islam dan berbudaya Timur, dahulu sering bentrok dengan penguasa Rusia, yang berorientasi Barat. Namun, ketergantungan pada Moskow, terutama soal ekonomi dan pertahanan, tampaknya sulit dilepas. Kini, di tengah krisis ekonomi yang menimpa Rusia, aspek kriminalitas dari Asia Tengah semakin marak dengan lahirnya mafia-mafia yang di sana disebut mafioznik. Berikut laporan perjalanan wartawan TEMPO Yuli Ismartono, yang bulan Desember lalu berkunjung ke Rusia. KEMENANGAN Vladimir Zhirinovsky dalam pemilu Rusia belum lama ini mengejutkan dunia. Di luar dugaan, Ketua Partai Demokratik Liberal yang berpolitik ekstrem kanan itu berhasil menyikat 25 persen suara pemilih. Kontan saja masyarakat Barat panik. Sebab, tokoh ini blak-blakan mengaku pengikut ideologi fasisme. Ia bahkan ditakuti sebagai "Hitler Baru" dari Rusia. Namun, di negerinya sendiri, Zhirinovsky seolah juru selamat. "Dialah satu-satunya yang bisa memimpin Rusia menjadi jaya lagi," kata Sergei, sopir taksi di Ibu Kota Moskow. Memang, adalah Zhirinovsky, di antara para calon yang bertanding untuk memperoleh kursi parlemen baru di Rusia, yang mendambakan bangkitnya kembali negara Uni Soviet. Negeri yang pernah dianggap sama superkuatnya dengan Amerika Serikat itu dua tahun silam terberai akibat hancurnya komunisme. Republik dan negara bagian yang dahulu dikuasai Rusia kini sudah merdeka, di antaranya Ukraina, Georgia, Azerbaijan, Armenia, Latvia, dan Lithuania. Sekarang Rusia adalah bagian dari suatu federasi yang terdiri dari 88 republik dan daerah otonom. Persatuan itu diberi nama Federasi Rusia, yang dikenal juga sebagai Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (Commonwealth of Independent States). Berbeda dengan zaman Uni Soviet dahulu, sistem pemerintah mereka sekarang bersifat otonom, lepas dari Moskow. Hanya dalam hal politik luar negeri dan pertahanannya, mereka masih bekerja sama dengan Rusia. Keputusan yang menyangkut kepentingan bersama dicapai lewat musyawarah dalam dewan federasi, yang terdiri dari dua utusan dari setiap 88 republik dan daerah otonom itu. Hilangnya kekuasaan dan pengaruh Rusia di tempat-tempat itu berarti pula terbatasnya akses pada berbagai sumber ekonomi di sana, yang jelas mengecilkan hati rakyat Rusia, apalagi di tengah krisis ekonomi akibat pelaksanaan sistem pasar bebas dan dihilangkannya bermacam-macam subsidi. Masalah pangan dan rumah, yang dahulu dijamin pemerintah, kini menjadi tanggung jawab pribadi setiap penduduk. Sementara itu, harga-harga naik 1.000 persen lebih sejak 1990. "Bayangkan perasaan orang-orang yang pernah merasakan dirinya sebagai rakyat negara superkuat yang kini mesti mengemis minta bantuan dari luar negeri. Betapa pahitnya itu," kata Viktor Linnik, redaktur harian Pravda. Dalam keadaan begitulah orang seperti Zhirinovsky mendapat simpati masyarakat. Janji-janjinya, meski bermuluk-muluk, didengar oleh kaum muda yang menganggur maupun mereka yang merasa dirugikan oleh perubahan-perubahan radikal di Rusia itu. Buktinya, anggota Partai Demokratik Liberal, yang ketika dibentuk dua tahun silam hanya 10 ribu orang, kini sudah mencapai hampir 150 ribu. Berita terakhir dari Moskow menunjukkan bahwa jumlah itu naik terus. Adapun janji Zhirinovsky menyapu bersih negerinya dari unsur-unsur buruk, terutama kriminalitas, mendapat dukungan kuat dari masyarakat, khususnya di antara kaum ultranasionalis. "Tak ada orang yang aman dari kejahatan di Rusia yang dilakukan oleh orang-orang dari luar Rusia," kata Yuri, mahasiswa Universitas Moskow, pengagum Zhirinovsky. Kejahatan di Rusia memang sudah parah. Setiap tamu hotel, misalnya, mendapat peringatan khusus pada waktu check-in tentang bahayanya jalan sendiri pada malam hari maupun di daerah-daerah tertentu. "Terutama jangan menerima tawaran mobil sewaan jika sudah ada penumpangnya," kata resepsionis hotel Radisson Slavyanskaya. Jangan pula, katanya, menukar uang di jalan secara terbuka. "Anda pasti akan diincar dan dibuntuti sampai dompet Anda lenyap," kata orang itu. Peringatan itu tidak dibuat-buat. Kejahatan terhadap orang asing meningkat 44 persen tahun lalu. Kadang kejadiannya berani sekali. Menurut suatu laporan di majalah Newsweek, seorang pengusaha Inggris ditikam mati di kamar hotel Mezhdunarodnaya yang bertarif US$ 200 per hari. Suasana itu memang mengerikan. Apalagi jika membaca statistik yang menunjukkan kenaikan kasus kejahatan. Tahun lalu, pembunuhan di Rusia naik 35,5 persen, kata Alexander Rostovstev, juru bicara kementerian dalam negeri, belum lama ini. Dari bulan Januari sampai Oktober saja sudah tercatat 24.233 kasus pembantaian. "Sekarang ini Rusia negeri yang memiliki angka pembunuhan tertinggi di dunia," kata Rostovstev. Ditambahkannya lagi, kasus pencurian mobil naik 63 persen tahun 1993, sedangkan perampokan naik 44 persen. Kebanyakan pelaku kejahatan itu, menurut para pejabat, adalah orang "hitam"-nya Rusia alias unsur buruk yang terang-terangan dimaksud oleh Zhirinovsky. Mereka bukanlah orang negro dari Afrika, melainkan keturunan, antara lain suku Tatar, Turki, dan Armenia. Orang-orang itu dianggap "hitam" karena tidak berbangsa Slav, yang berkulit putih. Ketika berkampanye beberapa bulan lalu, Zhirinovsky mendapat tepukan tangan penonton ketika ia menyerukan agar penyiar-penyiar televisi diganti dengan "orang-orang yang bermata biru dan berambut pirang" sesuai dengan penduduk mayoritas Rusia, yang bergolongan Slav itu. Orang hitam Rusia itu berasal dari republik-republik di bagian selatan, yang juga dikenal sebagai kawasan Asia Tengah. Nama-namanya memang menunjukkan pendekatan dengan Benua Asia daripada Eropa, misalnya Turkmenistan, Uzbekistan, Kyrgysztan, Kazakhstan, Tajikistan, Yakutia, Bakoshkorstan, dan Chechnya. Di Rusia, mereka umumnya tinggal di kota-kota besar seperti Moskow, Vladivostok, dan St. Petersburg (di bawah rezim komunis namanya Leningrad). Selain berbeda warna kulit, mereka juga memiliki kebudayaan dan agama yang lain. Orang Rusia kebanyakan penganut agama Kristen Ortodoks, yang mirip dengan agama di Yunani, sedangkan banyak penduduk dari republik di Asia Tengah mengikuti agama Islam atau Yahudi, dan penduduk republik di sebelah timur, yang keturunan Mongol atau Cina, beragama Budha atau animis. Sebanyak 100 kebangsaan terdapat di daerah-daerah itu, yang menggunakan 200 bahasa dan dialek. Umumnya, mereka pedagang kaki lima. Pasar-pasar utama di Moskow, seperti pasar pusat di Tsentralnya atau di pinggiran taman-taman besar, seperti taman Gorky yang terkenal itu, dikuasai kaum hitam. Pada hari Sabtu dan Minggu, mereka berkumpul di pasar raya Izmailov untuk berjualan bermacam barang, dari makanan tradisional shashlik (mirip sate) dan kopi Turki yang amat kental dan manis itu sampai ke dagangan permata dan batu amber. Juga permadani dan karpet, hasil kerajinan tangan negerinya masing-masing. Pasar Izmailov itu begitu beraneka ragam, baik barang yang dijual maupun asalnya, sehingga menjadi atraksi utama para turis di Moskow. Keuletan orang-orang republik itu diakui masyarakat Rusia. Orang Chechen atau Tajik, misalnya, sering kelihatan memboyong buntelan besar, naik-turun tangga eskalator tinggi di stasiun kereta bawah tanah sampai ke tempat jualannya. Bahkan, boleh dikatakan, pasar-pasar di Moskow dikuasai oleh orang hitam Rusia itu. Sebab, orang Rusia sendiri, tampaknya, kurang berminat atau kurang mampu berdagang. "Terbiasa sebagai juragan," begitu Nikolai Mordinov bergurau. Orang asal Yakutia itu ada di Moskow untuk berjualan buku dan majalah asing, selundupan dari Turki. Namun, bukanlah sebagai pedagang mereka dibenci orang Rusia. Mungkin bukan atas dasar ras pula kebencian itu kendati beberapa pakar membenarkan adanya orang Rusia yang agak etnosentris. Buktinya, ketika Uni Soviet masih berdiri, penduduknya bukanlah warga negara Soviet saja, sebagaimana seharusnya penduduk suatu negara berdaulat. Dalam paspor mereka, tercantum bagian yang menunjukkan "kebangsaan"-nya, apakah itu bangsa Kazakh, Ukraina, Rusia, atau bahkan Yahudi. Adapun orang-orang hitam itu, selain memonopoli pasar-pasar, sebagian besar juga dari dunia kriminalitas di Rusia. Penjahat di negeri ini, dari pencopet sampai pembunuh bayaran, kebanyakan berasal dari republik-republik itu, terutama yang berbatasan dengan Armenia, Iran, Georgia, dan Azerbaijan. Merekalah yang memanfaatkan kerawanan dan kekacauan ekonomi dan politik akibat peralihan radikal dari sistem komunis ke kapitalis. Orang-orang inilah yang pernah disarankan oleh Zhirinovsky agar diadili dan dihukum mati di muka umum, di tempat mereka tertangkap. "Mereka semua kriminal, anggota mafioznik," kata Sergei, si sopir taksi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus