SEBAGIAN karya seni rupa dalam Bienniale Seni Rupa IX, yang berakhir Ahad kemarin, tampak susah dilihat dengan "kaidah" seni rupa pada umumnya. Kita tak lagi bisa berbicara tentang keseimbangan, kontras warna, goresan yang kuat atau lemah, bentuk yang berongga atau padat, misalnya ketika melihat bambu-bambu yang ditegakkan dan di ujungnya dikibarkan bendera segitiga, digantungi karung, dan beberapa topeng ditempelkan di karung itu pada karya instalasi Agus Suwage, Manusia dan Benderanya. Mungkin karena itu lalu muncul tuntutan, dalam acara Temu Perupa Bienniale, seminar di hari kedua di Teater Arena Taman Ismali Marzuki, Jakarta, Selasa pekan lalu, agar penciptanya memberikan penjelasan secara verbal. Permintaan itu datang dari Pelukis Hardi. Pelukis ini membagi karya yang dipamerkan menjadi dua: "instalasi terang" dan "instalasi gelap", meminjam istilah dalam sastra, "puisi gelap", katanya. Maksud Hardi, ada karya yang sudah bicara dengan sendirinya ini termasuk "instalasi terang". Lalu ada yang perlu di-"terang"-i oleh senimannya dengan penjelasan karena karya itu tergolong "instalasi gelap". Ketika seorang pengunjung melangkah memasuki Ruang Pameran Utama TIM, dan ia mulai "terlibat" dengan karya instalasi Erwin Utoyo Supermarket, tiba-tiba ia memaklumi betapa dahsyat perusakan hutan kita. Tiap sudut replika pasar swalayan itu, katanya, harus dibayar dengan pohon-pohon yang dirobohkan. Erwin memang membuat semua hal dalam karya itu dengan kayu yang diusahakan mirip barang yang dijual di toko swalayan: dari kue sampai daging, semuanya kayu. Orang ini tak memerlukan penjelasan apa pun. Juga ketika ia berdiri di depan karya Eddie Hara, Alice in Wonderland. Ia senang lukisan dengan gaya kekanak-kanakan, dan kemudian di depannya ditaruh mainan kuda-kudaan sebenarnya dan lain-lain. Tapi ketika ia sampai di karya instalasi Rahmayani, Empat Wajah, ia bingung. Di dinding, digantungkan empat lukisan wajah, dengan warna gelap, dengan goresan ekspresionistis. Di lantai di depan dinding tempat lukisan digantungkan, sepetak tanah bak kebun buatan disebari butir-butir padi, sebagian sudah tumbuh. Juga kacang merah yang disebarkan di kebun satu lagi, berbentuk salib, sudah tumbuh. Apa hubungan empat potret dengan "kebun" itu? Dalam seminar, Rahmayani mencoba menceritakan proses kreatifnya. Empat Wajah, katanya, adalah perwujudan tentang harmoni atau keseimbangan. Dalam keseimbangan atau harmoni itulah penindasan bisa dielakkan. Sebab dalam harmoni atau keseimbangan, hubungan timbal balik yang terjadi saling menunjang, bak hubungan antara tanah dan benih. Dari pemikiran seperti itulah ia berkarya. Apakah suatu keseimbangan alam memang terasakan dari Empat Wajah, itu soal lain. Tapi proses kreatif Rahmayani bisa dipahami. Juga proses kreatif Mella Jaarsma, mudah dicerna. Seniman Belanda ini datang di Indonesia karena tertarik pada bayangan. Akhirnya, ia mendasari "filsafat" penciptaannya bertolak dari masalah bayangan. Bayangan adalah imaterial, tapi yang mencerminkan material, kata Mella. Dari situlah ia menemukan "kontras" yang menyatu. Dalam karya-karyanya ia mencoba mengekspresikan atau mewujudkan kontras yang menyatu itu: kematian dan kehidupan, terang dan gelap, dan sebagainya. Sementara itu, Tony Haryanto rupanya terteror benar oleh arus informasi yang deras lewat TV. Ia, yang menyatakan dirinya adalah "tukang listrik", merasakan adanya pencekokan "kebenaran" tunggal yang dikuasai oleh sekelompok orang yang berkuasa (terhadap informasi), dan menyajikannya lewat televisi pada seluruh masyarakat. Itulah yang melatarbelakangi karyanya, Keluarga Berisik. Tonny menyuguhkan lima buah televisi yang dihidupkan terus-menerus, masing-masing dengan menyuguhkan siaran dari TV yang berbeda. Lalu beberapa boneka ditaruh pada sofa, sedang nonton TV. Kitakah itu di sana? Sebuah cerminan realita masyarakat dalam karya instalasi yang terutama menggunakan media elektronik dengan menarik. Semsar Siahaan, yang karya instalasinya Menggali Kembali memanfaatkan Ruang Pameran TIM yang akan diruntuhkan, mengatakan bahwa proses kreatifnya merupakan hal yang mudah dimengerti. Karya instalasinya bermula dari keprihatinannya terhadap kondisi sosial politik yang ada, atas penindasan, kesewenang-wenangan, perampasan hak asasi oleh sekelompok masyarakat terhadap masyarakat lainnya. Memang, dengan gambar-gambar bak poster dan karikatur pada dinding Ruang Pameran, dengan suasana seperti tembok-tembok kota yang dicoret-coret tangan gatal, misi "protes sosial" mudah terasakan adanya. Tapi, sesungguhnya Menggali Kembali tak sekadar protes sosial. Setidaknya suasana yang kemudian terbangunkan oleh Ruang Pameran yang bobrok, gambar-gambar poster, terasa surealistis. Apalagi bila ditonton di malam hari, ketika gelap menyelubungi ruang itu, dan hanya oncor-oncor yang berlenggak-lenggok karena tiupan angin, suasana surealistis lebih terasakan. Ini seperti masuk ke ruang hantu di sebuah pasar malam. Ada suatu kenangan dari masa lalu, bercampur dengan kesadaran sosial-politik di masa kini yang berbaur dalam Menggali Kembali. Jadi, perlukah karya instalasi dijelaskan untuk menghindarkan "instalasi gelap"? Tak ada salahnya itu dilakukan, apalagi bila senimannya memang lancar berbicara atau menulis. Tapi perlu dicatat yang dikatakan Pintor Sirait, peserta yang hari itu juga tampil berbicara. Ia menyatakan bahwa perupa sebenarnya hanyalah memberi perangsang terjadinya interaksi antara karya dan penikmat. Sesudah itu, penikmatlah yang "menentukan" apakah karya di depannya itu menarik atau tidak, ia pahami atau tidak, dan lain-lain. Artinya, apa yang dikatakan perupanya beserta perbendaharaannya tentang seni rupa adalah sekadar referensi. Yang kemudian menentukan interaksi adalah banyak faktor dalam diri penonton: kepekaannya, pengetahuannya, pengalaman hidupnya. Dengan demikian, bila tak terjadi interaksi, tak selalu yang "gelap" adalah karya itu. Bisa jadi penonton memang tak punya perbendaharaan yang cukup untuk memungkinkan terjadinya interaksi itu. Berkaitan dengan itu, kalau ada yang luput disinggung dalam Temu Perupa yang dipandu Goenawan Mohamad ini, adalah kegiatan yang bisa memperkaya referensi publik tentang seni rupa. Praktis, kita tak punya tulisan-tulisan yang arahnya adalah memberikan apresiasi dasar, misalnya. Yang dimaksudkan di sini, tulisan yang memberikan bekal publik untuk menonton karya instalasi: bahwa karya seni rupa centang-perenang ini memang tak lagi berurusan dengan "jiwa nampak" yang tercermin dari "sapuan kuas", umpamanya. Tapi itu tentulah lebih urusan para pengamat dan penulis seni rupa, bukan senimannya.S. Malela Mahergasari & Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini