Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gregorius Soeharsojo Goenito mengenang Balai Pemuda di Surabaya sebagai saksi bisu kejayaan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Pada 1963-1965, kata dia, di gedung itu para seniman Lekra kerap mengadakan pergelaran seni. Mereka mendominasi pentas drama, musik, paduan suara, serta pameran seni rupa. Beragam atraksi kesenian rakyat, seperti sendratari, ludruk, wayang kulit, dan reog, hampir selalu dijejali penonton.
"Lekra sangat berpengaruh dan menguasai panggung kesenian waktu itu," kata seniman Lekra ini saat ditemui di rumahnya di Trosobo, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu tiga pekan lalu. Ia mengatakan, begitu besarnya pengaruh Lekra, sehingga tak ada lembaga kesenian lain yang mampu menyejajarkan diri dengannya.
Pria 77 tahun asal Madiun itu merupakan satu dari sekian banyak seniman yang nyemplung ke Lekra. Alasannya memilih organisasi yang berdiri pada 17 Agustus 1950 di Jakarta ini adalah banyaknya kesempatan belajar bagi seniman muda. Terlebih seni rupa ketika itu sedang naik daun.
Greg muda menghabiskan waktu melukis di Sanggar Sura di belakang Balai Pemuda. Satu-satunya tempat berlatih melukis di Surabaya ini diasuh langsung pemimpin Lekra Surabaya, Roestamadji dan Sukaris S.G. "Mereka aktif membimbing seniman muda," ujarnya. Sederet pelukis papan atas Indonesia, seperti Affandi, Hendra Gunawan, dan Sudjojono, sering menggelar pameran di Balai Pemuda.
Pentas seni berkualitas oleh seniman-seniman terkemukalah yang menarik minat Greg merantau ke Surabaya, ketika dia berusia 24 tahun, pada 1960. Tiga tahun kemudian, ia bergabung dengan Lekra. Ia mengatakan karya para seniman kala itu mengambil tema revolusi dan kondisi rakyat yang tertindas.
Pesona Lekra juga menjejak di Yogyakarta. Seniman sanggar seni Bumi Tarung, Djoko Pekik, mengatakan banyak seniman muda Yogyakarta tertarik masuk Lekra lantaran kepincut ideologi kiri yang mengusung kredo kerakyatan. Semangat perlawanan terhadap kapitalisme dan neokolonialisme membakar semangat mereka, yang kebanyakan mahasiswa baru. Sanggar seni yang awalnya beranggotakan sepuluh orang itu perlahan berkembang jumlah anggotanya menjadi 30 seniman. Sebagian besar di antaranya masuk Lekra, termasuk Pekik.
Ia mengatakan seniman muda Bumi Tarung yang masuk Lekra tergiur oleh propaganda dan agitasi kerakyatan. Selain berkarya atas nama seni kerakyatan, mereka rutin turun ke bawah (turba) bersama buruh dan tani. Militansi sanggar seni yang berdiri pada 1961 itu juga tecermin dari slogannya, yaitu mengabdi kepada buruh dan tani. "Karena masih muda, mereka bersemangat mengacungkan tangan dan mengepalkan tinju ke langit," tuturnya.
Bagi wartawan Amarzan Ismail Hamid, 72 tahun, ada dua alasan yang memikatnya masuk Lekra. Pertama, ia tertarik oleh keberpihakan Lekra pada rakyat. Kedua, Lekra menjadi tempat berkumpulnya tokoh seni terkemuka, dari pelukis Affandi dan Basuki Resobowo, aktor dan sutradara Basuki Effendy, hingga musikus Sudharnoto dan Amir Pasaribu. Bahkan sastrawan Angkatan 45 yang ia idolakan, seperti Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani, juga bergabung di Lekra. "Puisi mereka, sewaktu saya di SMP, saya taruh di bawah bantal, dan sekarang kami jadi teman," katanya.
Amarzan bergabung dengan Lekra pada 1957, saat ia berumur 16 tahun. Ketika itu, ia memperoleh undangan mengikuti Konferensi Daerah I Lekra di Tanjung Balai, Sumatera Utara. "Di situ, saya kenal dengan orang-orang Lekra," ucapnya. Sejak itu, ia aktif terlibat dalam pelbagai kegiatan Lekra. Ia mengaku bangga bisa mengenal dan bekerja bersama para seniman tersohor saat umurnya masih belasan tahun.
Menurut pelukis Amrus Natalsya, 80 tahun, setiap seniman harus memiliki sikap dan prinsip. Begitu pula saat mendirikan sanggar seni. "Untuk apa kami melukis, melukis untuk siapa, apa manfaat melukis," ujar kolega Pekik saat mendirikan Bumi Tarung itu.
Lekra menuangkan arah dan tujuan berkesenian secara jelas di dalam mukadimahnya. "Membela buruh dan tani itu hal yang berat karena tidak bisa ngawur," Amrus menambahkan. Keselarasan ide inilah yang mendorongnya bergabung dengan Lekra.
Ada alasan lain seniman bergabung dengan Lekra. Pekik mengatakan sebagian seniman yang berhimpun ke Lekra mendapat fasilitas sekolah ke luar negeri. Ia menyebut Trubus Sudarsono—seniman Lekra yang juga anggota PKI—yang pernah dikirim belajar ke Cekoslovakia. Tentu tidak semua seniman Lekra mendapat fasilitas itu.
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku membenarkan ucapan Pekik. Mereka menyebutkan Lekra menjadi daya tarik karena kerap memberikan "donasi politik" bagi para perupa.
Lekra, menurut Rhoma dan Muhidin, memberikan santunan perjalanan ke luar negeri dengan memanfaatkan jaringannya di sejumlah negara "berideologi serumpun" yang tersebar di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin. Lekra memperoleh modal jaringan dari kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia, yang muncul lagi di pentas politik nasional setelah menempati posisi keempat dalam Pemilu 1955. "Usaha Lekra menjadi jembatan bagi perupa untuk ke luar negeri menyaingi usaha serupa yang biasa dilakukan Sticusa, yang kerap memberikan beasiswa bagi seniman Indonesia untuk 'mencicipi' pengetahuan di luar negeri, terutama ke negeri Belanda," demikian mereka menulis.
Menurut Pekik, Lekra terbentuk atas anjuran Presiden Sukarno, yang mendorong semua partai memiliki lembaga kebudayaan. Seketika itu Lekra menjelma menjadi alat propaganda politik para seniman. Mereka menggunakan seni sebagai media perlawanan terhadap ideologi kapitalisme.
Pekik menambahkan, pengaruh Lekra cukup kuat lantaran memiliki struktur lembaga yang mengakar dari pusat hingga daerah. Struktur organisasi hingga tingkat kecamatan menaungi kegiatan seni tradisional, seperti tari, reog, ludruk, wayang, dan ketoprak. Adapun seni rupa hanya ada di tingkat kabupaten. "Seni rupa ini karya Lekra yang elite."
Tahun 1960-an menjadi puncak kejayaan Lekra. Ketika itu, lembaga ini sangat gencar menggelar pertunjukan dan pameran seni. Biasanya, mereka mengambil momentum peringatan Hari Kemerdekaan, ulang tahun PKI, dan ulang tahun Lekra. Di Yogyakarta, misalnya, Lekra kerap mementaskan ketoprak tobong—tempat pertunjukan yang sifatnya darurat—untuk mengisi acara seni di Sekatenan. Mereka berkeliling dari desa ke desa.
Di Surabaya, Lekra mendongkrak popularitas ludruk, yang berbasis di perkampungan. "Tidak ada ludruk yang tidak masuk Lekra," kata Greg. Kelompok yang sudah ada sebelum Lekra, seperti Ludruk Marhaen, Cinta Massa, Tresno Enggal, Enggal Tresno, dan Ludruk Arum Dalu, juga memutuskan berhimpun di Lekra.
Namun segala keriuhan dan kemilau pergelaran seni itu harus berakhir setelah meletus tragedi 30 September 1965. Lekra, yang dianggap sebagai onderbouw PKI, dan semua senimannya diburu tentara. Greg ditangkap pada Juni 1966. Ia menghabiskan tiga tahun berpindah tempat tahanan dan sembilan tahun dikucilkan ke Pulau Buru. Meski begitu, ia mengaku bangga pernah bergabung dengan Lekra. "Terkadang saya merasa terharu ketika mengingatnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo