Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Medan Para Seniman

Lembaga Kebudayaan Rakyat dibentuk untuk mendukung revolusi dan menyokong usaha membangun kebudayaannya serta mencegah kemerosotan revolusi. Para pendirinya menganggap pekerja kebudayaan harus ikut mengemban tugas penting ini. Lekra segera menjadi magnet bagi para seniman.

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena Revolusi Belum Selesai
Lekra dibentuk dengan tujuan mendukung revolusi dan kebudayaan nasional. Sikap kebudayaannya seni untuk rakyat.

Jakarta, 17 Agustus 1950. Lima tahun setelah pecah Revolusi Agustus, sejumlah seniman berkumpul di Ibu Kota. Mereka tidak sedang berdiskusi tentang sastra, seni rupa, atau film, tapi mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau yang lebih dikenal dengan Lekra.

Konsep perjuangan Lekra termaktub dalam mukadimah lembaga itu. Kalimat pertamanya menyebutkan, "Rakjat adalah satu-satunja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudajaan Rakjat, disingkat Lekra."

Hersri Setiawan, Sekretaris Umum Lekra Jawa Tengah, mengatakan pembentukan Lekra tak bisa dilepaskan dari situasi politik Tanah Air kala itu. Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 1949, Indonesia tidak bisa dikatakan merdeka seratus persen. "Jadi pembentukan Lekra bertujuan membebaskan diri dari ketergantungan pada negeri penjajah," ujar Hersri, pertengahan September lalu.

Seperti ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, Lekra muncul untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi. Bukan cuma para politikus yang mengemban tugas penting ini, melainkan juga para pekerja kebudayaan. "Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi dan kebudayaan nasional."

Mukadimah Lekra juga menyebutkan lembaga itu bekerja di lapangan kebudayaan, terutama kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan para seniman, sarjana, dan pekerja kebudayaan lainnya. "Lekra mengadjak para pekerdja-pekerdja kebudajaan untuk dengan sadar mengabdikan daja-tjipta Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia."

Penggagas dan pendiri Lekra adalah A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Herman Arjuno, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, dan Njoto, yang bersama D.N. Aidit menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah gagalnya pemberontakan Madiun pada 1948. "D.N. Aidit tampaknya ikut hadir, tapi tidak aktif," ujar Hersri. Menurut dia, H.B. Jassin juga diundang, tapi tidak setuju dengan prinsip Lekra.

Putu Oka Sukanta, sastrawan Lekra asal Singaraja, Bali, mengatakan, meskipun proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan lima tahun sebelum Lekra dibentuk, penjajah tak serta-merta meninggalkan Indonesia dan membiarkan rakyatnya mengatur diri sendiri. Pengaruh kebudayaan feodal dan kebudayaan kaum penjajah masih sangat kuat. "Karena itu, diperlukan sebuah gerakan yang mendukung usaha rakyat membangun kebudayaannya, yaitu kebudayaan dan kesenian yang bersumber dari rakyat itu sendiri," tutur Putu.

Tak lama setelah diumumkan, Mukadimah Lekra mendapat kritik dari berbagai kalangan. Joebaar Ajoeb dalam Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia menyatakan kritik-kritik itu terutama menyatakan beberapa bagian Mukadimah tak cocok dengan keadaan Indonesia karena mengandung sejumlah jargon yang tak mudah dipahami umum. Karena itu, disusunlah Mukadimah baru dalam Konferensi Nasional Lekra pertama pada 1957, yang kemudian disahkan oleh Kongres Nasional Lekra pada 1959 di Solo.

Sekretaris Umum Lekra sejak 1957 itu menyatakan Lekra ingin seniman dan sastrawan yang berhimpun di lembaga ini atau di sekitarnya berani, mahir berpikir, dan mengasah intuisi kesenimanannya. "Agar kebudayaannya meninggi, mutu artistik dan ideologi karyawan menjulang, tahan kritik, tahan waktu, dan berfungsi dari masa ke zaman," tulisnya.

Joebaar menyebutkan Lekra dibentuk beberapa hari setelah Konferensi Nasional Kebudayaan Indonesia di Jakarta. Menurut dia, konferensi yang diselenggarakan Lembaga Kebudayaan Indonesia itu berlangsung seru. Hampir semua kekuatan dan tokoh kebudayaan hadir untuk meminta pertanggungjawaban delegasi kebudayaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.

Tokoh yang ambil bagian antara lain Ki Hadjar Dewantara, Prof Dr Poerbatjaraka, Armijn Pane, Soeratno Sastroamidjojo, dan Trisno Sumardjo. Joebaar menulis bahwa Moh. Yamin, anggota delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar yang memberikan pertanggungjawaban, menghadapi gugatan para tokoh kebudayaan itu. "Konferensi ini menunjukkan betapa berkelindannya hubungan antara politik dan kebudayaan, seni, sastra, dan ilmu," Joebaar menulis.

Pada 1950, sejumlah seniman dan sastrawan menyatakan sikap patriotisme mereka dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, yang merupakan manifes kebudayaan Angkatan 45. Bagi angkatan ini, revolusi adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Mereka berpendapat revolusi di Tanah Air belum selesai. Menurut Joebaar, hubungan antara Angkatan 45 dan Lekra sangat jelas karena sebagian kekuatan penting Angkatan 45 kemudian mewujud dalam Lekra.

Sastrawan Lekra lainnya, Amarzan Ismail Hamid, mengatakan ia untuk pertama kalinya setuju dengan definisi rakyat yang tercantum dalam Mukadimah. Lekra merumuskan rakyat sebagai semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Kalau dia tidak menentang penjajahan, dia musuh rakyat. "Kemudian itu diperluas menentang penjajahan dan penindasan. Saya sudah menyimak mukadimah semua organisasi di Indonesia, tidak ada yang bisa mendefinisikan rakyat," ujarnya.

Dharta terpilih sebagai sekretaris umum pertama Lekra. Ajip Rosidi secara khusus menyebutkan peran sastrawan yang memiliki banyak nama samaran ini, antara lain Kelana Asmara dan Klara Akustia. Dalam Mengenang Hidup Orang Lain, Ajip menyebutkan Dharta bersama beberapa seniman dan pengarang lain membentuk Lekra di rumah sahabatnya, Azhar.

Rumah Dinas Perhubungan di Jalan Wahidin 10, Jakarta, itu pula yang kemudian menjadi kantor Sekretariat Pusat Lekra sebelum pindah sebentar ke Jalan Salemba 9 dan akhirnya, sejak 1958, hijrah ke Jalan Cidurian 19, Menteng, Jakarta. Rumah di Jalan Wahidin itu kini tak ada lagi. Di lokasi rumah itu kini berdiri bangunan nomor 8, yang menjadi markas Kepolisian Sektor Metro Sawah Besar. Di seberangnya berdiri kukuh gedung Otoritas Jasa Keuangan dengan nomor 1. "Tidak ada nomor 10 di sini," kata Tamzil, 79 tahun, yang sudah tinggal di kawasan itu sejak 1973.

Demikian pula di Jalan Wahidin I dan II tak ditemukan rumah nomor 10. Sebagian besar bangunan di dua ruas jalan itu milik TNI Angkatan Darat, seperti kantor perwakilan markas Komando Daerah Militer VII Wirabuana dan Komando Daerah Militer IV Diponegoro.

Bekas kantor sementara Lekra di Jalan Salemba 9 juga telah berubah menjadi kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta. "Saya tak tahu kalau kantor itu dulunya kantor Lekra," kata Mainah, 82 tahun, yang tinggal di belakang gedung itu.

Dalam Kepada Seniman Universal: Kumpulan Esai Sastra A.S. Dharta, Budi Setiyono mengutip Martina Heinschke, yang menulis disertasi doktoral "Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts". Heinschke menulis bahwa Dharta menyatakan Peristiwa Madiun bukanlah perselisihan antara kekuatan komunis dan nasionalis, melainkan konflik antar-angkatan. Angkatan 45 gagal karena komitmennya lemah, pecah, dan kurang ketajaman politik. Dharta menuntut para pengarang menyusun awal baru dengan basis komitmen politik yang tegas.

Ia berpendapat Agustus 1945 bukan permulaan revolusi kesusastraan, melainkan permulaan revolusi kemasyarakatan yang ikut mempengaruhi kesusastraan. Bagi Dharta, itu membuktikan kebenaran pendapat bahwa seorang sastrawan tak bisa lepas dari pengaruh lingkungannya.

Pembentukan Lekra merupakan sebuah proses panjang yang melibatkan banyak pihak, yakni para seniman dan politikus Partai Komunis Indonesia. Yahaya Ismail dalam Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia menyebutkan Lekra didirikan setelah kurang-lebih 15 orang peminat dan pekerja kebudayaan di Jakarta menerima mukadimah dan konsep Lekra.

Penulis asal Malaysia itu menyatakan aktivitas Lekra dapat dilihat dari pesatnya kader-kader kebudayaan organisasi ini mendirikan cabang-cabang di daerah. Pada 1951 saja, cabang Lekra sudah tersebar di sejumlah kota besar, seperti Surabaya, Yogyakarta, Solo, Bogor, Bandung, Semarang, Malang, Medan, Bukittinggi, Palembang, Manado, dan Balikpapan.

Awalnya, kata Yahaya, aktivitas kebudayaan Lekra diwadahi dalam lembaga-lembaga kreatif, yang meliputi lembaga seni rupa, film, sastra, dan seni drama. "Untuk melicinkan perjalanan organisasi, setiap cabang Lekra mempunyai seorang wakil yang duduk dalam pimpinan pusat."

Namun, menurut Amarzan, Joebaar pernah bercerita kepadanya bahwa Lekra didirikan mula-mula sebagai sebuah lembaga semacam LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). "Jadi, dia tidak bercabang-cabang, makanya dipilih lembaga," ujarnya.

Yang terjadi kemudian, kata dia, setelah Lekra bercabang-cabang, banyak cabang dan bahkan anak cabang yang tidak didirikan oleh Lekra, tapi oleh PKI. Partai di daerah merasa tidak lengkap tubuhnya kalau tidak punya Lekra. "Misalnya Deli Serdang. Komite Seksi PKI Deli Serdang membentuk Lekra, baru dilaporkan ke pimpinan daerah."


Yang Seiring Bertukar Jalan

Surat Kepercayaan Gelanggang dan Mukadimah Lembaga Kebudayaan Rakyat memiliki kemiripan. Sekretaris Umum Lekra sejak 1957, Joebaar Ajoeb, dalam buku Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, mengatakan keduanya bertujuan memajukan kebudayaan Indonesia sesuai dengan jati diri bangsa, termasuk dalam bersikap terhadap revolusi Indonesia baru, sejarah, dan masa depan. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan manifes politik Angkatan 45. "Keduanya sangat berkaitan. Sebagian kekuatan penting dari Angkatan 45 nantinya akan mengejawantah pada Lekra," kata Joebaar.

Surat Kepercayaan Gelanggang pertama kali dipublikasikan majalah Siasat, mingguan politik dan kebudayaan, edisi Oktober 1950 dalam rubrik Cahier Seni dan Sastera, yang juga bernama Gelanggang. Surat ini merupakan upaya menerjemahkan kebudayaan dan revolusi nasional dengan unsur-unsur universalisme yang humanis dan dipengaruhi budaya Barat. Surat Kepercayaan Gelanggang ini menjadi ibu kandung Manifes Kebudayaan.

Beberapa bulan sesudah Surat Kepercayaan Gelanggang diumumkan pada 17 Agustus 1950, dibentuk Lekra, yang pandangan dan haluan politiknya tertuang dalam Mukadimah. Isinya, rakyat adalah masyarakat yang menentang penjajahan, dan revolusi harus diperjuangkan. Lekra berjuang melalui seni dan ilmu.

Joebaar mengatakan ada perbedaan antara Surat Kepercayaan Gelanggang dan Mukadimah Lekra. Dia mencontohkan soal cara memahami dan mengemban amanat pembaruan, kemanusiaan, dan keindahan kebudayaan yang dikandung Revolusi Agustus 1945 serta peran rakyat Indonesia dan sikap terhadap khazanah kebudayaan dunia. Sementara Angkatan 45 bersikap intuitif terhadap revolusi, Lekra mencoba mengembangkannya menjadi konsep yang dilembagakan. "Lekra menjabarkan secara detail dan aktual bagi kepentingan pembaruan kebudayaan umumnya, seni, dan sastra," ujarnya.

Seniman Angkatan 45 memang tidak dilembagakan. Ikatan mereka ada dalam roh pembaruan yang datang dari Revolusi Agustus 1945. Mereka hanyalah komunitas seniman yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan, tanpa diikat organisasi. Mereka sering berkumpul di Jalan Menteng Raya 31. Kegiatan perkumpulan seniman Angkatan 45 biasanya diarahkan untuk melawan motif-motif politik dan budaya kolonial. Mereka berkarya dan berjuang dengan jiwa anti-penjajahan.

Perbedaan yang lebih jelas antara seniman Angkatan 45 dan Lekra terletak pada orientasi sandaran, kegiatan, dan pengabdian praktisnya. Lekra secara terbuka menyebutkan kegiatannya diabdikan kepada rakyat, yaitu kaum buruh, tani, dan prajurit. Surat Kepercayaan Gelanggang tidak merumuskan hal itu. Angkatan 45 lebih mengutamakan individualisme. Mereka juga sering mengkritik dan menghujat revolusi. Bahkan karya-karyanya bersifat satire atau sindiran. Di sinilah terjadi persimpangan antara Angkatan 45 dan Lekra. "Mereka bagaikan orang yang seiring bertukar jalan," katanya.

Kenyataannya, paham Surat Kepercayaan Gelanggang dan Lekra tak seiring, bahkan berlawanan. Lekra bahkan menilai sinis Angkatan 45. A.S. Dharta, salah seorang pendiri Lekra, menyebutkan Angkatan 45 telah mati. Penolakannya terhadap karya seni Angkatan 45 tercantum dalam buku Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, yang ditulis Alexander Supartono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus