Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang empu, pada umumnya, tidak memakai keris buatan sendiri. Begitu pula dengan TNI Angkatan Darat. Sejak setahun lalu, mereka tak lagi memakai peluru mortir buatan PT Pindad (Pusat Industri Angkatan Darat). Namun, berbeda dari para empu, alasan Angkatan Darat adalah karena produk itu memang tidak layak.
Alasan itu datang bukan dari mulut sembarang orang, melainkan Tyasno Sudarto, mantan orang nomor satu di Angkatan Darat yang sudah diganti. Padahal, sebagai KSAD, Tyasno adalah Komisaris Utama Pindad.
Menurut Tyasno, mortir kaliber 60 dan 81 buatan pabrik Pindad di Turen, Malang, redah kualitasnya: tidak akurat alias kerap melenceng dari sasaran. Tak sekadar luput, sang mortir tidak jarang menyebabkan banyak korban di kalangan prajurit sendiri. Padahal, harganya mahal: Rp 1,5 juta sebutir pada tahun lalu.
Bosan melihat serdadunya menjadi korban mortirnya sendiri, Tyasno memutuskan tak lagi menggunakan mortir tersebut. Saat itu ia menyatakan akan membeli produk yang sama buatan RRC.
Cerita yang sama berulang kini. Kepolisian RI, yang kecewa dengan mutu senjata PT Pindad, memutuskan menambah jenis senapan organik mereka dengan produk impor. Mereka memilih senapan serbu AK-101 dan 102, dua varian dari AK-47, dan melepaskan fanatisme lama pada senapan serbu model 1 (SS-1). Senapan terakhir ini buatan Pindad, yang diturunkan dari senapan serbu FNC kaliber 5,56 milimeter buatan Belgia.
Polisi memang membutuhkan banyak senjata, untuk menutupi kekurangan persenjataan Brimob yang parah. Pada saat gangguan keamanan muncul di banyak tempat, kesiapan Polri justru begitu payah. Dari sekitar 31 ribu personel Brimob, hanya sekitar 17.500 personel yang memegang senjata. Karena itu, bila terjadi kerusuhan yang memerlukan pengamanan segera, tak jarang ada pasukan yang berangkat ke lapangan tanpa persenjataan.
Meskipun butuh, pihak kepolisian menilai angka penawaran awal dari Pindad sebesar US$ 825 per pucuk terlalu tinggi untuk SS-1. Senjata ini termasuk yang banyak dikeluhkan para pemakainya. Setelah tawar-menawar, harganya memang turun menjadi US$ 475 per pucuk. Tapi ini pun tetap lebih mahal daripada AK, yang US$ 360 per pucuk.
Seorang penguji senjata di satu kesatuan elite menyatakan, SS-1 memiliki umur yang relatif pendek. "Larasnya tak tahan panas dan mudah bengkok sehingga mengganggu akurasi," katanya. "Kualitas baja yang dipakai kurang begitu baik."
Mantan Komandan Komando Pendidikan dan Pelatihan TNI, Hendropriyono, juga menilai banyak kelemahan SS-1. Menurut bekas anggota Kopassus di berbagai operasi militer ini, SS-1 terkenal ringkih. Selain itu, senapan ini gampang sekali macet bila kemasukan air atau berkarat. "Popor lipatnya pun gampang patah saat direntang dengan tiba-tiba di medan tempur," katanya. Karena itu, pemeliharaan SS-1 juga lebih membutuhkan ketelatenan. "Lain dengan jenis AK, yang tak perlu perawatan rumit," tambahnya. Mungkin itu sebabnya, menurut Hendro, banyak kekecewaan muncul di kalangan prajurit pada awal-awal penggantian senapan organik TNI dari AK-47 ke SS-1 beberapa tahun lalu.
Kala itu Direktur Utama PT Pindad dipegang Menristek B.J. Habibie. Dan sebagaimana lazimnya praktek di masa Orde Baru, BUMN ini pun tak pernah disapih dari susu monopoli. Semua angkatan mesti membeli senjata darinya, tanpa kecuali. Inilah mungkin yang membuat perusahaan itu lengah berkompetisi, lamban dan tidak efisien. Selain itu, sebagaimana BUMN lain, Pindad tak luput dari posisi sebagai sapi perahan rezim. Inilah yang membuat produknya menjadi mahal dan kalah bersaing.
Dan itu ironis. Pindad sebenarnya merupakan perusahaan senjata paling maju di ASEAN. Thailand dan Malaysia, yang sempat mengembangkan jenis senapan Hackler & Koch (Jerman) dan Styer (Austria), mengalami kegagalan. Selain memproduksi pistol, senapan, ratusan ribu granat per tahun, serta berbagai variasi SS-1, Pindad juga mampu membuat granat senapan kaliber 40 milimeter atau GLM 203. Saat ini perusahaan itu malah tengah mengembangkan pembuatan kendaraan tempur.
Jangan sangka produk Pindad semata berkaitan dengan urusan senjata untuk membunuh. Sejak 1992, komposisi produksi perusahaan ini sudah 80:20, untuk produk komersial dan produk persenjataan. Di antara produk komersialnya adalah generator, mesin bubut, dan perangkat rel kereta api.
Pindad juga pabrik senjata yang kenyang asam-garam. Berdiri di Surabaya sejak 1808, awalnya pabrik senjata ini bernama Artillerie Constructie Winkel. Sepanjang penjajahan Belanda, namanya sempat beberapa kali berganti. Tak lama setelah kemerdekaan, pemerintahan yang baru segera menasionalisasi dan menggantinya dengan nama PSM (Pabrik Senjata Munisi) dengan pusatnya di Bandung. Perusahaan ini berganti nama menjadi Pindad pada 29 April 1983, dengan status badan usaha milik negara.
Tapi, begitulah. Korupsi, kolusi, dan monopoli menjadi bagian sejarahnya yang kental pula. Harga mahal harus dibayar ketika dia harus bersaing di pasar global, bahkan di hadapan publiknya sendiri.
Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo