Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Program makan siang dan susu gratis kembali menjadi perbincangan publik usai debat Capres pamungkas pada Minggu, 4 Februari 2024. Bak obat mujarab, program makan siang dan susu gratis terus diulang Prabowo untuk menjawab setiap pertanyaan yang diajukan panelis maupun pesaingnya. Ia mengklaim, program ini mampu menyelesaikan permasalahan fundamental bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo mengklaim program makan siang dan susu gratis ini bukan hanya sekadar memberikan nutrisi bagi anak sekolah, tapi juga memiliki dampak positif untuk menekan angka kematian ibu saat melahirkan dan mengatasi masalah stunting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makan siang dan susu gratis, kata Prabowo, akan diberikan anak-anak sekolah yaitu dari usia dini sampai dewasa. "Termasuk yang masih di kandungan ibunya, karena dia 9 bulan di kandungan ibunya, dan ibunya harus kita dukung," ujar Prabowo.
Makan siang dan susu gratis janjinya diberikan untuk 82,9 juta masyarakat Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 74,2 juta adalah murid SD, SMP, SMA, dan SMK, baik yang bersekolah di sekolah negeri maupun swasta. Selain itu, 4,3 juta di antaranya adalah santri, sementara 4,4 juta lainnya adalah ibu hamil.
Program makan siang dan susu gratis ini disebut membutuhkan biaya hingga Rp 460 triliun per tahun. Jumlah tersebut ternyata nyaris setara dengan anggaran pembangunan IKN Nusantara yaitu Rp 466 triliun dan total biaya pembangunan tol era Jokowi dari 2015 hingga 2023 yang mencapai Rp 489,31 triliun.
Lantas, dengan anggaran jumbo, apakah program makan siang dan susu gratis bisa menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat khususnya stunting?
Tak Selesaikan Masalah Hingga Akarnya
Dokter sekaligus epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyoroti pernyataan Prabowo Subianto perihal penanganan stunting dengan program makan siang gratis. Dicky menilai program ini bukan solusi yang komprehensif untuk mencegah stunting.
"Jadi kalau bicara stunting, sayangnya yang disampaikan Pak Prabowo (tampak) belum memahami masalah stunting di Indonesia. (Penanganan) stunting di Indonesia bukan semata masalah gizi, tapi harus dilihat kenapa anak atau ibu itu kurang gizi," kata Dicky.
Selanjutnya: Stunting dan kondisi kemiskinan
Ia mengungkap stunting disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya kondisi sosial dan ekonomi yang kurang memadai. Misalnya, seorang anak dapat terkena stunting, jika anak atau ibunya hidup dalam kondisi kemiskinan dan lingkungan yang tidak bersih, serta memiliki tingkat literasi rendah dan akses terhadap sanitasi air yang terbatas. "Infeksi berulang akibat cacingan sering terjadi dan berkontribusi pada stunting," ucap dia.
Karena itu, Dicky menilai kalau penanganan stunting hanya diselesaikan dengan program makan gratis, maka usulan tersebut tidak solutif. Program makan gratis, kata dia, tidak mampu menyelesaikan masalah stunting dari akar-akarnya.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) juga menyoroti program makan siang dan susu gratis yang ditawarkan Prabowo-Gibran. Mengutip kajian CISDI bertajuk ‘Prioritas Pembangunan Kesehatan dalam Visi Misi Calon Pemimpin Republik Indonesia 2024-2029’, CISDI menyarankan Prabowo-Gibran untuk mengkaji ulang program ini. CISDI menyebut, ada catatan untuk progam makan siang dan susu gratis.
Pertama, Prabowo-Gibran perlu mengkaji ulang apakah program ini perlu diprioritaskan dan mampu memiliki daya ungkit yang menyasar akar masalah. Hal ini perlu dipertimbangkan agar alokasi sumber daya dapat berdampak secara bermakna dan berkelanjutan.
Kedua, ada yang perlu diluruskan terkait program susu gratis. CISDI menyampaikan Kementerian Kesehatan atau Kemenkes sudah lama meninggalkan konsep ‘4 Sehat, 5 Sempurna’ dan beralih ke Pedoman Gizi Seimbang ‘Isi Piringku’. Di konsep lama, susu disebut sebagai komponen penyempurna, tetapi di ‘Isi Piringku’ susu adalah opsional, dimana kandungan gizi dari susu bisa didapatkan dari konsumsi lauk pauk lain.
CISDI menilai susu juga kurang tepat dianggap sebagai kandungan gizi wajib karena banyak masyarakat Indonesia yang memiliki gangguan mencerna laktosa yang ada di produk susu. Selain itu, susu yang ada di pasaran Indonesia mengandung gula yang cukup tinggi, yaitu sekitar 17,3 gram per sajian, atau kurang lebih 35 persen dari rekomendasi harian maksimum konsumsi gula tambahan Kemenkes yaitu 50 gram per hari.
Saran Perbaikan untuk Atasi Stunting
Sementara itu, Narila Mutia Nasir, Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) provinsi DKI Jakarta sekaligus Dosen Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut, program makan siang dan susu untuk anak sekolah ini bisa menjadi alternatif untuk perbaikan kurang gizi anak menjelang remaja. “Tapi bukan menjadi satu-satunya jawaban untuk mengatasi permasalahan gizi apalagi untuk mengatasi stunting yang seharusnya lebih komprehensif,” ujar Narila.
Jika nantinya program ini tetap dilaksanakan, Narila memberikan sejumlah catatan. Ia membandingkan dengan program serupa di Jepang yang bernama school lunch. Di Jepang, keamanan makanan yang diberikan kepada anak sangat diperhatikan, termasuk jumlah kalori yang sangat spesifik disesuaikan untuk tiap tingkatan anak sekolah. “Soal susu juga perlu diperhatikan tentang laktosa intolerance yang umum dialami oleh orang Asia."
Selanjutnya: Pemerintah perlu pusatkan perhatian ke persiapan sebelum kehamilan
Narila menyatakan untuk menangani permasalahan stunting, pemerintah perlu memusatkan perhatian pada langkah-langkah pencegahan sejak masa kehamilan, bukan setelah anak dilahirkan. Dia menekankan pentingnya persiapan sebelum kehamilan atau bahkan sebelum pernikahan untuk mengurangi semua faktor risiko stunting. “Kalau ditarik lebih ke hulu lagi saat anak-anak dan remaja status gizinya baik,” ucap Narila.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso menyebut program makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah tidak berkaitan dengan stunting. Menurut dia, pencegahan stunting harusnya berfokus pada 1000 hari pertama kehidupan atau HPK. Pada 1.000 hari pertama itu, kata Piprim, perlu ada penguatan protein hewani.
"Dan sebetulnya sejak dia wanita hamil itu, kemudian 1.000 HPK (yang penting). Jadi, fase keemasan itu di 1.000 hari pertama, itu yang harus kaya dengan (protein) hewani, saya kira mungkin itu yang harus disosialisasikan ya," ujar Piprim.
Mengenai protein hewani, Piprim menyebutkan susu sapi memang baik untuk dikonsumsi. Namun, susu bukan menjadi satu-satunya sumber protein hewani, karena protein hewani juga bisa didapatkan melalui ikan, ayam, dan telur.
Jurus Paslon Lain Tekan Stunting
Di sisi lain, pasangan calon nomor urut 1 Anies-Muhaimin atau AMIN berjanji akan menurunkan prevalensi stunting dari 21,6 persen pada 2022 menjadi 11-12,5 persen pada 2029. Upaya yang akan dilakukan yaitu pendampingan ibu hamil hingga 1000 hari pertama kehidupan anak, kolaborasi lintas sektor serta penguatan dukungan bagi kader desa atau kelurahan untuk menjamin ketersediaan pangan seimbang, pencegahan infeksi, dan perbaikan lingkungan.
Selain itu, AMIN juga berjanji memastikan kehamilan dan persalinan yang sehat. Hal ini dimulai dari edukasi kesehatan sejak usia remaja hingga pemberian nutrisi seimbang gratis dan pendampingan ibu hamil sampai 1.000 hari pertama kehidupan anak.
Sementara itu, pasangan calon nomor urut 3 Ganjar-Mahfud berjanji menurunkan prevalensi stunting di bawah 9 persen. Ganjar-Mahfud juga berjanji menjamin kualitas tumbuh kembang anak dengan pola asuh berkualitas selama 1.000 hari pertama kehidupan dengan kecukupan gizi bagi anak dan bagi ibu hamil serta menyusui minimal hingga usia anak mencapai lima tahun.
Ganjar-Mahfud juga berjanji memberikan edukasi tentang tumbuh kembang serta pendidikan, pengasuhan anak untuk para calon pengantin dan bagi remaja perempuan, dengan menjadikan ibu sebagai penjaga kesehatan keluarga.
YOHANES MAHARSO | ALIF ILHAM FAJRIADI | ANTARA