Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari tahun 2004 sesaat lagi akan terbenam. Banyak bayi lahir hidup dan mati, penduduk bertambah dan berkurang dalam berbagai arus migrasi. Banyak pula yang meninggal karena penyakit yang tak bisa diobati lagi atau karena tak sanggup membayar biaya berobat di rumah sakit.
Lalu, seorang ibu hamil nekat membakar diri beserta dua anaknya karena tak sanggup membayar biaya berobat untuk anaknya. Beberapa orang diberitakan berupaya mencari jalan singkat, eutanasia atau menjual alat tubuhnya, seperti terjadi pada Hasan, suami Nyonya Agian, dan seorang bapak di Tangerang—untuk menyelesaikan masalah biaya pengobatan. Sebuah kondisi yang sangat tragis sekaligus memalukan.
Tak adakah solidaritas atau persaudaraan yang bisa membantu mereka? Tak adakah pemerintah yang berwenang memaksa penduduk membayar pajak guna kepentingan bersama?
Tahun 2004 adalah tahun khusus bagi sektor kesehatan karena adanya faktor politik yang cukup menonjol. Dalam proses pemilihan anggota legislatif, juga pemilihan presiden, isu kesehatan banyak diangkat sebagai topik kampanye, meskipun hasilnya masih harus dibuktikan dalam beberapa tahun ke depan.
Pada tahun 2004 terjadi dua gerakan yang berlawanan. Suatu pertanda parahnya pemahaman para pengambil kebijakan tentang hakikat kesehatan sebagai hak penduduk yang paling mendasar. Pada satu sisi, kepentingan publik tampak sudah semakin dipertimbangkan. Namun, di sisi lain, di lapangan masih banyak dijumpai kebijakan yang kurang memihak kepentingan rakyat banyak.
Alhasil, secara umum sektor kesehatan masih berada di pinggiran. Baru sebatas slogan kampanye.
Tak pernah disadari banyak pihak, lebih dari 50 ribu ibu dan anak balita meninggal dunia tahun ini. Banyak laporan menyebutkan kematian yang demikian besar itu disebabkan komplikasi persalinan dan infeksi. Namun sesungguhnya faktor yang terpenting adalah besarnya hambatan finansial dalam memperoleh pelayanan kesehatan modern di Indonesia. Kalau saja pemerintah menyediakan pelayanan gratis bagi ibu hamil dan anak seperti terjadi di Sri Lanka, Thailand, dan Malaysia, sebagian besar kematian tersebut sesungguhnya dapat dicegah.
Harapan akan membaiknya akses layanan kesehatan muncul pada tahun ini. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa perwujudannya masih membutuhkan jalan panjang. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah lahir dan harus dirawat serius oleh Kabinet Indonesia Bersatu di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Inilah undang-undang yang memaksa pemerintah membayar iuran untuk menjamin kesehatan penduduk yang miskin, tidak mampu, dan cacat.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional juga akan memaksa semua orang memikirkan masa depannya. Agar setiap orang mampu mengatasi biaya pengobatan dan hari tuanya sendiri. Meskipun belum sempurna dan masih harus dijabarkan lebih lanjut, undang-undang ini telah meletakkan fondasi yang konsisten dalam memberikan jaminan kesehatan bagi semua penduduk.
Sebetulnya, program yang sejalan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional telah digelar. Pada 12 November 2004, Menteri Kesehatan mengeluarkan surat keputusan tentang pemberian jaminan kesehatan bagi 34,8 juta penduduk miskin di seluruh Tanah Air, dengan dukungan biaya Rp 2,1 triliun. Untuk program ini, pemerintah membayar iuran jaminan kesehatan penduduk miskin, sebesar Rp 5.000 per jiwa per bulan, melalui PT Asuransi Kesehatan. Sebuah keputusan yang berani dari Kabinet Indonesia Bersatu. Dan, sesungguhnya negeri ini memang mampu mendanainya.
Sepintas, kebijakan Menteri Kesehatan itu mirip dengan kebijakan pemerintah Thailand beberapa tahun lalu. Dengan program "30 Baht", pemerintah Thailand menjamin setiap orang dapat berobat. Namun, persoalannya, saat ini pemerintah Indonesia juga mengeluarkan kebijakan yang justru berlawanan dengan spirit setiap orang bisa berobat. Pemerintah terus menaikkan patokan tarif layanan rumah sakit. Akibatnya, terjadilah situasi yang tidak berpihak pada rakyat banyak.
Biang keladinya adalah kesalahan cara pandang, mind set, tentang rumah sakit. Pemerintah telah mengubah status badan hukum rumah sakit menjadi badan usaha (baca: cari duit). Rumah sakit yang berbentuk perusahaan jawatan (perjan) terus meningkatkan tarifnya.
Konon, di RS Cipto Mangunkusumo, orang harus membayar Rp 40 ribu untuk sekali konsultasi dengan dokter. Apakah keluarga sopir bajaj atau pedagang kecil sanggup membayar sebesar itu?
Lebih parah lagi, preseden terburuk ketidakberpihakan kepada rakyat justru terjadi di DKI Jakarta yang relatif kaya dan menjadi barometer nasional. Pada September 2004, misalnya, Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan peraturan daerah tentang perubahan tiga RSUD DKI menjadi perseroan terbatas (PT). Sebagai PT, rumah sakit tersebut harus mencari untung dari rakyat yang sakit, menderita, dalam keadaan tidak bisa mencari uang dan tidak berdaya.
Bagaimana mungkin rumah sakit yang dibangun dengan uang rakyat, menggaji dokter dan karyawan dengan uang rakyat, membeli alat dengan uang rakyat, tetapi kemudian memaksa rakyat (pasien yang sedang tidak berdaya) untuk membayar agar rumah sakit tersebut memperoleh keuntungan?
Sebenarnya, perubahan status hukum tiga rumah sakit itu merupakan pelanggaran atas konstitusi, khususnya UUD '45, pasal 28 ayat 1 dan pasal 34 ayat 3. Peraturan tersebut juga melanggar UU Otonomi Daerah (UU 32/2004) khususnya pasal 22 huruf f, yang mewajibkan pemerintah daerah menyediakan fasilitas kesehatan, bukan berbisnis dalam bidang kesehatan.
Sepanjang yang saya ketahui, tidak pernah terjadi di negara mana pun ada rumah sakit publik yang bertujuan mencari untung. Di Jepang, Korea, dan Taiwan, rumah sakit swasta sekalipun dilarang berbentuk perusahaan yang mencari untung, agar rakyat terlindungi. Padahal, di semua negara tersebut semua penduduknya sudah dijamin asuransi pemerintah.
Perubahan status rumah sakit tanpa diikuti perubahan kebijakan pendanaan hanya akan membuahkan dampak buruk. Hambatan mendapatkan akses pelayanan kesehatan akan semakin besar. Bahkan, bukan tidak mungkin kelak akan semakin banyak orang yang meninggal atau bunuh diri hanya karena tidak mampu berobat. Kalau kebijakan Pemerintah DKI ini diikuti oleh pemerintah daerah lain, bisa jadi dalam waktu dekat kita akan mencatat perubahan mengejutkan. Bahwa penyebab kematian terbesar bukan lagi penyakit jantung dan penyakit infeksi, melainkan "kebijakan pemerintah".
Susahnya akses juga diperparah oleh rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Dalam hal pelayanan kedokteran, Indonesia sesungguhnya masih merupakan rimba belantara. Banyak dokter yang kurang etis atau hanya mementingkan diri sendiri telah cukup lama menikmati kebebasan yang semau gue. Kantong pasien pun semakin dalam dikeruk. Dokter yang jujur dan taat sumpah Hipokrates menjadi korban karena citra buruk yang dibawa dokter yang kurang etis itu.
Tak pelak lagi, kebobrokan sebagian kecil dokter ini mendapat pupuk alam berupa lemahnya penegakan hukum. Walhasil, kalau tidak ada upaya serius dan antisipatif, pasien akan jadi korban sapi perahan yang mengerikan. Untunglah, setelah hampir lima tahun ditunggu, UU Praktek Kedokteran akhirnya disetujui DPR dan resmi diundangkan oleh pemerintah. Undang-undang ini memang belum menata hutan rimba pelayanan kedokteran. Namun, setidaknya hal ini merupakan langkah awal yang cukup bermakna.
UU Praktek Kedokteran diharapkan juga lebih melindungi rakyat dari tindakan dokter yang kurang etis. Selama ini, perilaku rakyat yang ignorance, yang tidak sadar akan hak-haknya, memang sangat mudah menjadi korban moral hazard, abuse, dan bahkan fraud oleh dokter yang kurang kompeten dan kurang bermoral. Meskipun masih banyak hal harus dibereskan, banyak kritik atas kekurangan UU Praktek Kedokteran, paling tidak tahun 2004 telah menyiapkan fondasi bagi lebih terlindunginya masyarakat dalam memperoleh pelayanan kedokteran.
Tidak banyak disadari, sesungguhnya media masa dan wartawan berperan besar dalam memperbaiki rimba raya pelayanan kedokteran Indonesia. Informasi tentang berbagai kasus, pencemaran lingkungan, kejadian luar biasa berbagai penyakit, juga berbagai kejadian memalukan di bidang kedokteran, tersebar berkat media massa. Keberanian wartawan untuk mengemukakan fakta-fakta di bidang kesehatan ini telah membantu masyarakat untuk semakin memahami situasi. Hal ini sekaligus juga memaksa para pengambil kebijakan memperbaiki perilaku mereka.
Namun, diseminasi informasi saja tidak cukup untuk memperbaiki keadaan. Kabinet Indonesia Bersatu harus segera melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang terjadi negeri ini. Kalau tidak ada perubahan mendasar, janji-janji yang mereka ucapkan hanya akan tinggal sebagai hiasan dinding museum. Kita akan terus dan tetap menciptakan bangsa kuli yang tidak sehat, tidak cerdas, dan tidak sejahtera.
Dan, bukankah duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dulu menggelindingkan semboyan "bersama kita bisa"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo