Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Realisme Ekonomi

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

B. Herry-Priyono
  • Alumni London School of Economics, Ketua Program Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

    TUTUP tahun adalah waktu menakar prestasi. Di bidang ekonomi, kita coba menerka angka yang bisa mengungkit harapan. Berapa nilai tukar rupiah terhadap dolar? Ekspor migas dan non-migas turun atau naik? Jika kredit perbankan mencapai Rp 513 triliun per September 2004, bukankah itu kenaikan 25 persen dari posisi bulan yang sama tahun lalu? Apabila tahun ini konsumsi tetap menjadi penggerak utama pertumbuhan sebesar 4,5 atau 5 persen, apa yang akan terjadi apabila sekitar 80 persen investasi bukan tertanam di sektor manufaktur melainkan properti? Berapa harga stabil minyak, karena kenaikan US$ 1 pun akan menambah defisit anggaran sekitar Rp 0,1 triliun? Mengapa masih dibutuhkan waktu 151 hari untuk mengurus administrasi bisnis baru di Indonesia, sedangkan di Malaysia cukup 30 hari dan Singapura hanya delapan hari? Apa arti rontoknya Bank Dagang Bali, Bank Asiatic, dan Bank Global? Dan seterusnya….

    Semua angka itu ditimbang untuk meramal berapa pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai tahun depan. Itu tugas keramat, karena pengangguran terus membengkak, padahal hasil janji kampanye untuk memperluas kewirausahaan kecil-menengah hanya mungkin dilihat satu generasi mendatang. Apabila 1 persen pertumbuhan menyerap 350 ribu tenaga kerja, yang dituntut adalah keharusan pertumbuhan 7-8 persen untuk tahun depan. Tentu sulit mencapainya.

    Ritual membaca angka-angka ekonomi di akhir tahun adalah bentuk realisme, tetapi bukan satu-satunya cara memasuki kalender baru. Sekurangnya ada tiga perkara lama yang tetap luput dari kefasihan membaca angka-angka, namun sedemikian operasional menentukan cara mengelola agenda ekonomi di tahun mendatang.

    Pertama, kontroversi soal fleksibilitas tenaga kerja (labour market flexibility/LMF). Persoalan ini merupakan anak kandung mobilitas modal dalam globalisasi yang memburu tingkat laba paling tinggi, yang pada gilirannya mensyaratkan tingkat produktivitas kerja yang tinggi pula. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa biasa, kira-kira soalnya berbunyi begini: upah Anda bergantung bukan lagi pada kontrak kerja tetap seperti dulu, melainkan pada tingkat produktivitas kerja Anda, di pabrik ataupun di perusahaan.

    Variasi tentu terjadi. Di sektor yang paling terkait dengan modus operandi ekonomi global, seperti sektor finansial dan manufaktur modern, soal LMF akan terjadi lebih akut ketimbang di sektor seperti pertanian dan kehutanan. Strategi lama serikat buruh (seperti mogok dan tuntutan kontrak kerja tetap) akan segera dianggap usang oleh para mandarin bisnis. Mereka memaksa kaum buruh merundingkan tuntutan dengan idiom manajemen finansial paling mutakhir, seperti apa yang dalam beberapa teori finansial modern disebut manajemen risiko (risk management). Intinya adalah permainan insentif. Kaum buruh dipaksa menemukan strategi survival seperti yang dilakukan manajer, yaitu membuat diri menjadi bagian dari risiko finansial perusahaan dengan stock options dan semacamnya. Tentu itu kelewat berat bagi buruh. Bukan hanya karena dibutuhkan tingkat pengetahuan finansial di luar semesta mereka, tapi juga karena struktur kepemilikan modal perusahaan di Indonesia masih jauh dari skema semacam itu.

    Sama seperti tahun ini, tahun depan keganasan kinerja kapitalisme finansial itu akan tetap rapi tersembunyi dalam bahasa "realisme". Uraiannya begini: pengangguran hanya bisa dikurangi jika, dan hanya jika, sektor perusahaan tetap hidup, karena dalam ekonomi modern sektor inilah penyedia utama lapangan kerja. Maka, juga seandainya rontok berkali-kali, sektor korporasi harus selalu cepat-cepat diselamatkan. Lugasnya, pedang ditebaskan pada leher para buruh dan karyawan, tetapi tidak pada leher perusahaan.

    Kedua, pokok di atas membawa kita pada perkara lain yang akan mewarnai cara kita bertutur tentang ekonomi di tahun depan, yaitu reduksi arti ekonomi ke dalam urusan perusahaan. Untuk sebagian, akarnya terletak pada sejarah transformasi bentuk-bentuk akumulasi laba, dari model workshop dalam skala rumah tangga menjadi produksi massal pada skala kolosal. Untuk sebagian lain, masalahnya berakar dalam kemiskinan imajinasi kita untuk mengakomodasi bentuk-bentuk ekonomi seperti ekonomi nelayan, petani, dan pedagang kecil ke dalam semesta teori dan blueprint ekonomi kita.

    Pokok terakhir itu lebih merupakan hasil epistemic imperialism, atau imperialisme cara memandang, yang pada gilirannya menjelma dalam indikator-indikator yang kita pakai merancang agenda ekonomi. Andaikan saya belajar ekonomi di California, Canberra, atau London, kemungkinan saya lebih fasih dalam kategori-kategori epistemic ilmu ekonomi yang menganggap bentuk-bentuk ekonomi tradisional itu sebagai sekunder. Ketika pulang ke Indonesia dan bermarkas di Jakarta, saya segera paham bahwa meskipun ekonomi perusahaan mungkin merupakan destiny masa depan, ekonomi mayoritas warga Indonesia jauh lebih beragam daripada ekonomi perusahaan-perusahaan yang berkantor di sepanjang Jalan Sudirman. Dan bila sesudah pulang dari studi saya ingin segera menjadi menteri ekonomi, tentu saya tak bisa mengajukan rancangan ekonomi yang menyimpang dari bahasa para bos perusahaan.

    Saya memang mengerti bahwa sektor pertanian menyerap sekitar 40-45 persen tenaga kerja. Tetapi kategori-kategori epistemic yang diajarkan para dosen saya mengatakan, sektor itu punya kriteria labour productivity yang terlalu longgar dibandingkan dengan sektor manufaktur modern atau perbankan. Bias seperti itu pula yang akan berlanjut mewarnai cara-cara kita menggarap ekonomi di tahun depan.

    Ketiga, pada kedalaman dua perkara di atas, bahasa lama yang akan tetap berlanjut dalam cara bertutur dan agenda ekonomi tahun depan adalah kerancuan istilah ekonomi pasar (market economy). Sama seperti tahun ini dan tahun sebelumnya, kita menganggap hanya ada satu jenis ekonomi pasar. Dan kritik terhadap kinerjanya dipahami sebagai pembatasan kebebasan berusaha, atau bahkan dilihat sebagai anjuran memakai ekonomi komando. Mungkin tak ada kerancuan yang lebih besar daripada anggapan ini.

    Tak ada masyarakat modern yang tidak menerapkan ekonomi pasar. Dan pasar yang tidak bebas adalah contradictio in terminis. "Ekonomi pasar neo-liberal" dan "ekonomi pasar sosial" sama-sama berdiri di atas genius kinerja pasar. Bedanya, ekonomi pasar sosial memberi perhatian khusus kepada kaitan antara kinerja modal, pasar, serta pencarian laba dan pertumbuhan ekonomi riil, sedangkan ekonomi pasar neo-liberal melihat kaitan itu tidak relevan. Lawan ekonomi pasar neo-liberal bukan ekonomi komando, melainkan ekonomi pasar sosial.

    Bila dikatakan dalam bahasa yang lebih biasa, perbedaan itu kira-kira bisa dibaca begini. Dalam ekonomi pasar sosial, kita mengejar indikator kewarasan ekonomi, terutama pada pertanyaan sejauh mana berbagai jenis investasi sungguh-sungguh terkait dengan pertumbuhan pabrik-pabrik yang menghasilkan produk riil. Atau, sejauh mana berbagai jenis investasi terkait langsung dengan proses inovasi sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Premisnya, kita produsen, dan bukan hanya konsumen seperti premis buku C.K. Prahalad yang sedang laris, The Fortune at the Bottom of the Pyramid (2004). Pasar modal bukan hal tabu, karena modal tak lagi bisa dihimpun hanya dari tabungan domestik dan kredit bank. Tetapi juga jelas, untuk itu keketatan instrumen regulatif atas kinerja pasar modal menjadi prasyarat mutlak.

    Dalam ekonomi pasar neo-liberal, fokus indikator kita tujukan pada cara-cara baru transaksi untuk melipatgandakan nilai aset finansial itu sendiri. Caranya beragam, dari transaksi saham, currency trading, derivatives, futures, sampai hedge funds. Tentu saja, berbagai transaksi finansial itu bisa punya, atau tidak punya, kaitan apa pun dengan pertumbuhan sektor ekonomi riil. Apa yang kita tahu hanyalah, di hari-hari krisis finansial, kinerja jenis-jenis transaksi itu memorak-porandakan sektor riil tempat mayoritas dari kita menyandarkan sumber mata pencaharian.

    Laju corak ekonomi neo-liberal ini amat kencang. Kinerjanya telah menjadi tempat persembunyian dan penciptaan oligarki global baru. Bentuknya yang mutakhir adalah perusahaan private equity, semacam perusahaan mutual fund privat dalam skala kolosal. Salah satu operasinya adalah membeli perusahaan dengan harga rendah, dan menjualnya tinggi, tanpa perlu berurusan dengan soal lapangan kerja. The Economist edisi 27 November 2004 menyebutnya "raja baru kapitalisme". Kinerjanya menghindar dari transparansi publik. Kata The Economist, yang mengaku diri sebagai corong kapitalisme global: "menuntut transparansi publik kepada raja baru kapitalisme ini akan menghancurkan magic-nya". Ganjil dan degil.

    Banyak dalil dalam ekonomi sesungguhnya tidak khas ekonomi, tetapi berakar dari psikologi. Misalnya, bagaimana "prinsip kawanan hewan" (herd principle) menentukan pola konsumsi, pilihan kerja, cara belanja, gaya hidup, dan sebagainya. Apabila melalui herd instinct itu lanskap ekonomi kita tahun depan lebih ramai dengan bahasa transaksi derivatives, futures, ataupun private equity ketimbang investasi di sektor riil, kita bisa yakin bahasa ekonomi kita tidak punya kaitan dengan kewarasan ekonomi Indonesia.

    Globalisasi ekonomi memang membuat kita tidak mungkin bersembunyi. Dan bukankah dalam ekonomi pasar berlaku dalil "biarkan seribu bunga mekar"? Benar. Cuma, masalah dalam ekonomi pasar neo-liberal yang mekar bukan seribu, melainkan hanya satu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus