Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengatasi Dilema Baru

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sarwono Kusumaatmadja
  • Sekjen DPP Golkar 1983-1988, sekarang anggota DPD RI

    MUSYAWARAH Nasional Partai Golkar 2004 baru saja usai. Ada baiknya partai itu dilihat lagi keberadaannya—baik sejarah, masa depan, maupun berbagai alternatif yang bisa dilihat dalam konteks perkembangan politik Indonesia.

    Kita mulai dengan sejarah. Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) didirikan pada 20 Oktober 1964 dan terdiri dari seratus lebih organisasi profesi—sebagai puncak berbagai forum kerja sama sipil dan militer yang dirintis jauh sebelumnya. Di era Demokrasi Terpimpin waktu itu, Sekber Golkar menjadi semacam pressure group untuk mengimbangi partai-partai politik yang waktu itu tergabung dalam poros Nasakom yang makin lama makin bergeser ke kiri.

    Setelah terjadi perubahan politik pasca-Soekarno, militer menjadi kekuasaan efektif, dan mereka memilih untuk tidak berkuasa langsung, namun menjalin hubungan sipil militer dalam konteks dwifungsi. Karena itu, wajar jika kendaraan sipil yang dipilihnya adalah Sekber Golkar, yang dipimpin oleh perwira-perwira militer dan ikut dalam Pemilihan Umum 1971 dalam keadaan seperti itu.

    Selanjutnya populasi yang ada di Golkar, sebagai kelanjutan Sekber Golkar, dikenal dalam tiga kelompok, yaitu jalur A (rumpun militer dengan organisasi-organisasi binaannya), jalur B (rumpun birokrasi), dan jalur G, yaitu rumpun sipil nonbirokrasi yang populasinya sangat beragam, terdiri juga mereka yang berasal dari organisasi-organisasi pendiri Sekber Golkar dan organisasi bentukan Golkar.

    Dalam konsolidasi selanjutnya, terjadi pembalikan peran ketika jalur A dan jalur B ditarik ke belakang dan jalur G dikedepankan, suatu proses yang dimulai pada 1978 dan mencapai puncaknya dalam Musyawarah Nasional Golkar tahun 1983. Di situ diputuskan bahwa Golkar menganut sifat keanggotaan stelsel aktif, sukarela dan perorangan, sehingga sebenarnya dengan keputusan itu secara de facto Golkar sudah menjadi partai politik.

    Dalam fase selanjutnya di bawah kepemimpinan Sudharmono (1983-1988) dilakukan rekrutmen dan kaderisasi politisi sipil secara terencana dan massif dengan tujuan "menjadikan Golkar makin dewasa, makin mandiri dan makin berakar", agar Golkar bisa melepaskan diri dari ketergantungan militer dan birokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina, tentara dan birokrasi harus kembali hanya memerankan tugas pokoknya masing-masing di bidang pertahanan dan keamanan serta administrasi negara, sedangkan Golkar harus dibangun sebagai kekuatan politik yang sanggup bersaing dalam era multipartai di masa mendatang. Lengsernya Presiden Soeharto pada 1998 memang merontokkan bangunan politik Orde Baru. Sedikit orang yang tahu bahwa bibit-bibit demokratisasi juga telah disemai oleh orang yang sama, terlepas dari konsistensi dalam komitmen masa depannya.

    Dengan latar belakang seperti ini bisa dipahami mengapa Partai Golkar sanggup bertahan dalam era reformasi. Infrastruktur sipil di dalamnya sudah dimatangkan secara bertahap dan di dalamnya terdapat politisi-politisi yang sudah biasa hidup dalam kompetisi demokratis di habitat asal mereka seperti di kampus, organisasi profesi, dan organisasi mahasiswa. Mereka juga berperan membangun infrastruktur partai sambil menyiasati intervensi militer dan birokrasi.

    Era reformasi menggenapkan pengalaman mereka menghadapi berbagai tantangan dan ancaman pembubaran, sehingga Musyawarah Nasional Bali merupakan saat puncak ketika hak hidup Partai Golkar tidak bisa dipertanyakan lagi dan Partai Golkar pun kembali menjadi atraktif. Akbar Tandjung menjadi simbol keberhasilan politik para politisi Golkar mengarungi masa-masa sulit, dan untuk itu dia mendapat pujian dari hadirin. Tapi mengapa lantas dia pada hari berikutnya diteriaki, dijauhi, dan kemudian kalah?

    Nasib Akbar menandakan perubahan pengaruh di Golkar tatkala para politisi profesional yang banyak pengalaman terdesak oleh makin kuatnya pengaruh para politisi pengusaha. Kecenderungan ini sudah berlangsung agak lama, dan ketika lobi pengusaha mulai mempunyai perwakilannya di kabinet, tentu mereka berkepentingan menguasai Partai Golkar seiring dengan kepentingan Presiden untuk memperkuat basis dukungannya di parlemen. Niat kelompok usahawan ini sejalan dengan tren pragmatisme dalam politik, sehingga prospek masa depan bagi para aktivis di Golkar tidaklah terletak pada jasa para politisi profesional, namun pada manfaat ganda yang dijanjikan oleh para usahawan yang merangkap sebagai pejabat tinggi negara. Dalam konteks itu posisi Akbar tidak atraktif, apalagi dengan menempatkan diri sebagai bagian dari Koalisi Kebangsaan yang mempunyai citra oposisi terhadap pemerintah. Golkar tidak pernah punya tradisi beroposisi terhadap pemerintah.

    Duduknya Jusuf Kalla sebagai wakil presiden sekaligus Ketua Umum Golkar menjanjikan dukungan lebih besar di parlemen, namun kondisi itu tidak akan serta-merta tercipta. Realiansi yang terjadi akan sarat dengan negosiasi dan manuver ketika pragmatisme tidak lagi mencukupi. Kalangan pengusaha yang berpolitik akan merasakan bahwa dunia pemerintahan dan dunia politik tidak mudah dijalani. Kecanggungan berpolitik semacam ini akan melahirkan banyak problema yang tak terbayangkan sebelumnya oleh mereka.

    Risiko yang dihadapi tentunya adalah bahwa penguatan posisi pemerintah terhadap parlemen tidak segera mudah didapatkan. Di pihak lain, niat luhur pemerintah juga sulit terwujud dalam alam kebijakan para pengusaha dengan interes yang banyak di antaranya sulit dibaurkan dengan kepentingan umum dan dengan capaian-capaian berjangka panjang. Dengan demikian, dilema pasca-Musyawarah Nasional Bali menggantikan dilema sebelumnya ketika seorang presiden yang menang mutlak dalam pemilihan langsung mempunyai basis dukungan yang lemah di parlemen. Penguatan dukungan di parlemen kelihatannya mulai berhasil sesudah Musyawarah Nasional Partai Golkar, namun melahirkan ronde politisasi berikut yang berpotensi menelantarkan tugas-tugas pemerintahan dalam memenuhi harapan publik.

    Karena itu perlu dicarikan format untuk merumuskan resep stabilisasi pemerintahan yang tidak hanya terbatas pada hubungan parlemen dengan pemerintah. Pencarian format ini tidak mudah, namun perlu dimulai dengan membangun dua modal sosial yang esensial, yaitu kepercayaan dan harapan (trust and hope). Masa membangun citra sudah lewat, dan jika melalui masanya akan kontraproduktif. Bagi jajaran pimpinan Partai Golkar yang sekarang, terutama elite barunya, sejarah Golkar mungkin menciptakan godaan untuk kembali ke format Golkar dahulu, dengan topangan tiga jalurnya. Para politisi profesional di Partai Golkar yang tidak hanya mengetahui sejarah partai namun juga menghayati kehidupan di dalamnya, mengetahui persis bahwa demokratisasi adalah proses yang tidak bisa dimentahkan dan akan berlanjut. Militer dan birokrasi juga tidak punya selera demikian. Bagi mereka, depolitisasi militer dan birokrasi adalah final. Format Orde Baru jilid II tidak akan berasal dari mereka yang menjalani politik pada zaman itu.

    Proses membangun kepercayaan dan harapan perlu dimulai di dalam partai. Hanya dengan itulah tercipta sinergi antara berbagai kekuatan yang hadir di tubuh partai yang pada gilirannya bisa memancarkan semangat yang sama dalam ranah publik. Pada saat bersamaan, semua kekuatan di partai bisa bersama keluar dari jebakan pragmatisme dengan manfaat-manfaat sesaatnya, yang tidak menjanjikan solusi jangka panjang dan malah melahirkan keruwetan baru. Sementara khalayak ramai berdebar menunggu perkembangan selanjutnya, Jusuf Kalla dan para rekan tentu perlu menggunakan kesempatan mulia dalam kehidupan politik ini, membangun kepercayaan dan harapan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus