Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOCAH laki-laki berambut keemasan di ujung barisan maju sendiri ke muka panggung. Sedikit grogi, ia melempar senyum kepada penonton. "I will sing a surprise song, special for your country," kata Robert Mulchrone, 12 tahun, akhir pekan lalu.
Begitu Robert menyanyi, penonton langsung tergetar. Ia membawakan lagu yang tak ada dalam daftar repertoar pertunjukan malam itu tapi sangat terkenal—dan diharapkan memang dinyanyikan: Ave Maria. Suara jernihnya mengalun tinggi, mengisi sudut-sudut teater Ciputra Artpreneur, Jakarta. Demikian halus suaranya. Seorang diri ia mampu menghasilkan suasana yang kudus dan mengharukan.
Lagu Ave Maria berbahasa Latin yang digubah oleh banyak komposer legenda, seperti Franz Schubert, Sebastian Bach, dan Anton Bruckner, serta menjadi himne doa Katolik itu ditampilkan Robert tanpa cela.
Ave MariaGratia plenaMaria, gratia plenaMaria, gratia plenaAve, ave dominusDominus tecumBenedicta tu in mulieribusEt benedictusEt benedictus fructus ventrisVentris tuae, JesusAve MariaAve MariaMater DeiOra pro nobis peccatoribusOra pro nobis, ora, ora pro nobis
peccatoribusNunc et in hora mortisEt in hora mortis nostraeEt in hora mortis nostraeEt in hora mortis nostraeAve Maria
Robert adalah satu dari 22 anak laki-laki yang tergabung dalam grup Brucknerchor. Vienna Boys Choir membagi anggotanya dalam empat grup yang dinamai sesuai dengan komposer Austria terkenal: Brucknerchor, Schubertchor, Mozartchor, dan Haydnchor. Grup Brucknerchor adalah yang melakukan tur Asia tahun ini dan menyambangi Jakarta serta kota lain, seperti Seoul, Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Manila.
Anak-anak usia 10-14 tahun itu bepergian bersama seorang choir master, Manolo Cagnin, dan dua tutor. Dalam setahun, tujuh bulan lebih mereka habiskan untuk tur. "Vienna Boys Choir terkenal sebagai kelompok musik pejalan terbaik. It's normal for us to be on the road," kata Manolo Cagnin.
Tur tahun ini dimulai pada Januari lalu di Korea Selatan dan akan berakhir pada Desember mendatang di Jerman. Anak-anak mendapat jeda saat libur musim panas dan Natal ketika mereka mendapat kesempatan pulang ke negara asal masing-masing.
Kunjungan ke Jakarta adalah yang kedua kalinya bagi kelompok ini. "Sebelumnya untuk acara private, kali ini adalah yang pertama kalinya mereka tampil di depan umum di Jakarta," ujar Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Rina Ciputra.
Rina senang sekali bisa menghadirkan kelompok paduan suara ini di Jakarta. Mereka dijuluki duta besar muda Austria dan menjadi salah satu ikon negara itu. "Kalau berkunjung ke Austria, ada yang kurang bila belum melihat paduan suara ini," ucap Rina.
Para penyanyi cilik ini tak mengandalkan macam-macam instrumen saat tampil. Suara adalah instrumen utama mereka. Penampilan anak-anak ini hanya diiringi alunan piano dari Manolo Cagnin dan sesekali gitar atau biola yang dimainkan sendiri oleh mereka.
Mereka tampil mengenakan seragam pelaut sederhana warna putih dan topi berbordir tulisan "Wiener Sängerknaben", bahasa Jermannya Vienna Boys Choir. Pertunjukan dibuka dengan lagu Gloria gubahan Antonio Vivaldi yang bertempo sedang. Meski lagu tentang pujian akan kekuasaan Tuhan ini bernuansa riang, anak-anak Vienna membawakannya dengan kalem tanpa koreografi apa pun.
Konsep serius bertahan pada lagu-lagu awal. Kelucuan anak-anak ini baru terlihat pada nomor kelima saat membawakan Festino, yang digubah oleh Adriano Bancheri pada 1608. Pada bagian Cappricciata dan Contrappunto, mereka bersahut-sahutan memperdengarkan suara binatang, seperti salakan anjing, meongan kucing, dan kicauan burung.
Bagian ini dilanjutkan dengan komposisi buatan Robert Lucas de Pearsall berjudul Cats. Empat anak mengambil tempat di depan, kemudian berduet tapi hanya dengan mengeluarkan suara meow, meow, meow.... Mereka pun berlagak seperti kucing yang bertengkar, lalu berbaikan kembali. Lucu sekali.
Pertunjukan dibagi menjadi dua sesi dengan jeda di antaranya. Total ada 22 lagu yang dibawakan. Sesi pertama banyak menghadirkan lagu klasik yang telah berusia ratusan tahun. Sesi berikutnya, anak-anak membawakan lagu yang lebih kontemporer dan populer, seperti Edelweiss, Amazing Grace, dan Nella Fantasia. Penonton Jakarta sudah bisa komat-kamit ikut bernyanyi pada sesi kedua ini.
Setelah lagu penutup, tak disangka-sangka masih ada kejutan lain dari anak-anak ini. Manolo Cagnin, yang menyapa penonton dengan kocak dalam bahasa Indonesia, memandu para bocah membawakan lagu Benyamin S., Jali-Jali. Bayangkan, lirik khas Betawi itu dinyanyikan dalam harmonisasi suara yang padu. Indah sekaligus kocak.
SEJARAH Vienna Boys Choir atau Wiener Sängerknaben dapat dirunut hingga 600 tahun silam. Pada 1498, Kaisar Romawi Suci Maximilian I memerintahkan pembentukan Vienna Chapel Imperial atau Hofkapelle. Sang Kaisar juga meminta agar ada enam anak laki-laki penyanyi di antara para musikus yang dipilih dari berbagai wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi Suci, seperti Belanda, Italia, Jerman, dan Austria. Sejak saat itu, tradisi anak-anak lelaki bernyanyi pada misa Minggu di Imperial Chapel, Istana Hofburg, Wina, tercipta dan terus berlangsung hingga hari ini.
Awalnya paduan suara anak ini bernyanyi secara eksklusif untuk kaisar, misa gereja, dan acara pribadi lainnya. Banyak komposer ternama pernah bekerja dengan grup ini, seperti Wolfgang Amadeus Mozart, Frank Schubert, dan Joseph Haydn. Saat kekaisaran runtuh pada 1918, paduan suara ini tetap bertahan. Mereka kini membiayai diri dari tur keliling dunia, produksi album, dan royalti.
Selama ratusan tahun, Vienna Boys Choir telah mengembangkan sistem seleksi dan pendidikan yang termasuk salah satu paling ketat di dunia. "Hidup sebagai anggota Vienna Boys Choir adalah hidup yang spesial sehingga anak-anaknya pun harus spesial," ujar Cagnin.
Anak-anak datang dari seluruh penjuru dunia untuk menjadi bagian dari kelompok yang berpusat di Augartenpalais, Wina, ini. Di sebuah bangunan model Barok yang dulu merupakan pondok berburu milik kekaisaran, sekitar 400 anak usia 3-18 tahun kini sedang belajar menjadi penampil musik terbaik di dunia. Tempat ini menjadi sekolah sekaligus asrama.
Sejak dini, para bocah ini telah memilih musik sebagai hal yang ingin mereka tekuni dan bersedia pergi jauh dari rumah untuk mempelajarinya. "Kadang rindu rumah, tapi harus ingat bahwa tidak semua anak bisa mendapat pengalaman seperti ini," kata Matthew Helms, salah satu anggota paduan suara asal Selandia Baru.
Sekolah ini menerapkan kurikulum yang sedikit berbeda dari sekolah kebanyakan. Setahun dibagi atas tiga semester, dua semester untuk belajar dan sisanya untuk tur keliling. Musik tentu menjadi subyek utama yang diajarkan di sekolah ini, tapi materi pendidikan formal lain tetap diberikan. Pendidikan musik yang diajarkan di sekolah ini termasuk teori musik, teknik bernyanyi, dan bermain alat musik. Tiap murid harus menguasai setidaknya satu instrumen musik.
Saat menginjak usia 10 tahun, para murid akan menjalani seleksi agar terpilih masuk salah satu kelompok tur paduan suara. Kualitas vokal dan kemampuan bermusik menjadi kriteria penilaian. Walau begitu, Manolo Cagnin menyebutkan hal paling penting yang harus dilihat adalah kepribadian seorang anak. "Kalau suara masih bisa diperbaiki. Tapi yang paling utama adalah mentalitas baja karena mereka harus menjalani hidup yang tak mudah," ujarnya.
Biasanya hanya lima-enam anak setiap tahun yang terpilih masuk kelompok choir. Anggota paduan suara yang melakukan tur keliling dunia kini berjumlah 100 orang yang berasal dari 30 negara, seperti Austria, Jerman, Kanada, Brasil, Selandia Baru, Korea Selatan, Jepang, Filipina, dan Kamboja. Belum ada anak Indonesia dalam daftar itu.
Sejak kelompok ini menggelar tur perdana pada 1926, telah lebih dari seribu tur dijalani dengan jumlah konser mencapai 30 ribu. Selain melakukan tur, mereka banyak meluncurkan album di bawah label Universal Music, termasuk album berisi lagu pop seperti My Heart Will Go On dan Eternal Flame. Vienna Boys Choir juga rutin memproduksi opera, seperti The Journey of the Little Prince dan Moby Dick.
Belakangan, muncul kritik yang menyebutkan bahwa kualitas Vienna Boys Choir telah menurun. Muncul pula pesaing sekolah paduan suara lain yang juga didirikan di Wina oleh Ioan Hollender. Sekitar 15 tahun lalu, sekolah yang biasanya diserbu banyak pelamar dari berbagai penjuru itu untuk pertama kalinya harus mengiklankan pengumuman rekrutmen.
Avip Priatna, konduktor sekaligus pendiri Paduan Suara Anak Resonanz, mengatakan Vienna Boys Choir memang melegenda karena sejarah mereka yang sangat panjang. Secara individual, kata Avip, setiap anak Vienna Boys Choir memiliki kualitas tak diragukan. "Tapi menurut saya, secara choral, paduan suara anak Indonesia tetap jauh lebih bagus daripada mereka," ujar Avip, lalu tertawa.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo