Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sebaiknya menghentikan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Produk Halal. Soalnya, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang menjadi acuan utama rancangan itu, mengandung cacat mendasar dengan akibat kerugian besar masyarakat.
Undang-undang itu seakan-akan melindungi hak konstitusional rakyat beragama Islam untuk beribadah. Ini dilakukan pemerintah dengan memberi jaminan halal bagi semua produk lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Badan itu kelak merupakan satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikat halal bila peraturan pemerintah tersebut disahkan.
Bila undang-undang berikut peraturan pemerintah itu tetap dipaksakan, banyak masalah akan terjadi. Pengusaha paling terkena dampaknya. Mereka wajib memasang label halal pada produk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, bahan kimia, sampai hasil rekayasa genetik. Beban pengusaha bertambah tinggi karena sertifikasi harus diperpanjang secara berkala.
Pengusaha yang tak mampu menanggung beban sertifikasi pasti gulung tikar. Pilihan lain, yakni menaikkan harga produk, akan berisiko merosotnya penjualan, mengingat daya beli masyarakat terus menurun pada saat kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik ini.
Ada lagi kerepotan besar bila peraturan itu diterbitkan: semua produk tanpa label halal harus ditarik dari pasar. Pengusaha yang tidak melakukannya terancam hukuman penjara hingga dua tahun atau denda hingga Rp 2 miliar, sesuai dengan pasal 56 dan 57 undang-undang tersebut. Pengusaha yang sudah mendapat label halal pun harus menarik dulu semua produknya untuk dipasangi label baru.
Bila berdiri tahun depan, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal hanya punya waktu tiga tahun untuk mengeluarkan sertifikat buat semua barang dan jasa. Bagaimana mungkin Badan meneliti begitu banyak produk dalam waktu sesingkat itu? Demi mengejar target, bukan tak mungkin badan ini bekerja asal cepat dan sekadar menjadi tukang stempel label halal.
Yang lebih krusial adalah label halal untuk obat-obatan. Pemeriksaan atas proses dan bahan obat jauh lebih rumit dan makan waktu sehingga menelan biaya lebih besar. Mudah diduga, harga obat akan naik.
Penerapan label halal juga bisa mengacaukan distribusi obat dalam negeri. Hampir semua zat aktif dalam obat yang beredar di sini berasal dari luar negeri dan belum bersertifikat halal. Hanya satu persen dari 930 zat aktif obat itu yang berasal dari dalam negeri. Jika semua obat yang mengandung zat tanpa sertifikat halal dilarang beredar, bisa dibayangkan bahwa perlindungan kesehatan kita akan terguncang. Pasien yang sulit mendapatkan obat akan sangat menderita akibat peraturan itu.
Untuk kesekian kali, majalah ini menyarankan, yang perlu dikeluarkan adalah label haram dan bukan label halal. Kebijakan label haram pasti lebih hemat biaya, mengingat jumlah produk nonhalal lebih sedikit di negeri ini. Penentuan bahan yang mengandung babi, misalnya, juga cukup dilakukan ahli nutrisi dan farmasi, tidak perlu melibatkan ulama seperti sekarang ini.
Dampak penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal itu lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Maka sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat mengamendemen undang-undang itu. Tugas pemerintah dan DPR, antara lain, memangkas ekonomi biaya tinggi akibat komersialisasi label halal. Tidak perlu berdalih melindungi kepentingan umat Islam kalau ujung-ujungnya masyarakat harus menanggung beban yang sudah berat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo