Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGUNAN putih dengan kelir hijau pada bagian kosen itu tak tampak seperti museum. Berdiri di antara deretan toko di kawasan Golden Road, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten, satu-satunya petunjuk bahwa bangunan tersebut menyimpan koleksi dari masa lalu adalah papan merah bertulisan “Museum Pustaka Peranakan Tionghoa” dengan tinta emas yang terpacak di bagian depannya.
Masuk ke dalam rumah toko berukuran 10 x 10 meter itu, pengunjung dikepung ribuan buku tua di lemari yang terpajang di empat sisi ruangan. Di tengah-tengah ruangan, ada etalase kaca berisi manuskrip Cina dan sejumlah literatur. Beberapa ornamen Cina dan potret berpigura mengisi bagian dinding yang belum diinvasi lemari.
Cisan, warga perumahan Victoria River Park di Bumi Serpong Damai, berkunjung ke museum itu pada Rabu sore pekan lalu setelah mendengar cerita dari sahabatnya. Yang membuatnya penasaran, museum tersebut tak dibangun oleh warga etnis Tionghoa, melainkan oleh seorang pria keturunan Gayo, Azmi Abubakar. “Saya ajak keluarga ke sini untuk napak tilas sejarah peranakan Tionghoa,” kata pria beretnis Tionghoa itu.
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa dibangun Azmi pada 2011. Tapi Azmi mulai mengumpulkan buku, koran, majalah, dan literatur lain mengenai sejarah peranakan Cina sejak 1998. Ia terdorong peristiwa kelam Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya yang menimbulkan banyak korban, di antaranya warga Tionghoa yang tokonya dijarah. Saat itu Azmi bertanya-tanya mengapa warga Tionghoa menjadi sasaran kerusuhan.
Gelisah atas peristiwa itu, Azmi berusaha mencari tahu segala hal tentang etnis Tionghoa dengan membaca setiap literatur yang ditemukannya. Dari sebuah buku, pria kelahiran Jakarta 47 tahun silam ini mengetahui penduduk etnis Cina turut melawan Belanda ratusan tahun silam. Dalam peristiwa Geger Pecinan yang terjadi pada 1740, misalnya, ribuan orang Tionghoa di Batavia tewas dibunuh tentara Belanda. “Artinya mereka ikut berkontribusi untuk Indonesia yang ada sekarang,” tutur Azmi.
Azmi Abubakar di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, di Tangerang Selatan, Banten, Rabu pekan lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sayangnya, peristiwa seperti Geger Pecinan tak banyak diketahui orang. Ia heran kisah tersebut tak ada dalam pelajaran sejarah di sekolah. Jika kelak terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon legislator dari Partai Solidaritas Indonesia ini ingin duduk di Komisi X, yang membidangi pendidikan. Ia ingin sejarah yang tersembunyi seperti Geger Pecinan masuk bahan ajar di sekolah.
Tak berhenti mengumpulkan literatur sejak itu, ia kini memiliki 30 ribu buku koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Sebagian besar koleksi itu diperoleh Azmi dengan merogoh kocek sendiri. Sisanya berupa sumbangan.
Selama delapan tahun museum berdiri, Azmi menolak menerima bantuan uang. Pada awal museum lahir, Fajrieni, istri Azmi, mengungkapkan, harta mereka terkuras demi menyewa tempat untuk memajang semua koleksi. Pada 2011, mereka mengontrak sebuah rumah toko yang letaknya tak jauh dari lokasi museum sekarang. Sekalipun harga sewanya mahal, mereka tak pernah memungut biaya dari pengunjung. “Di awal habis-habisan modalnya. Tapi kami berkomitmen tidak menarik biaya masuk,” kata Fajrieni.
Untuk menutup biaya operasional museum, Azmi mengalokasikan sebagian keuntungan bisnis propertinya. Ia juga mendapat pemasukan dari toko buku bekas miliknya yang terletak di sebuah mal di Bekasi, Jawa Barat. Setelah mengontrak sekitar setahun, suami-istri tersebut memberanikan diri mencicil ruko di Golden Road, lokasi museum sekarang. Alasan mereka membuka museum di kawasan BSD sebenarnya sederhana. Rumah mereka di Serpong, tak terlalu jauh dari museum.
Menurut Azmi, beberapa koleganya yang keturunan Cina kerap menawarkan sumbangan uang, tapi ia menolak. Alasannya, ia khawatir museum menjadi terikat oleh donatur. “Lagi pula, niat saya ini kan membantu, bukan dibantu,” ucap ayah empat anak tersebut.
Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa Tangerang Rudi Gunawijaya mengatakan sejumlah orang di Tangerang, termasuk dia, sempat menawarkan bantuan finansial. “Tapi malah ditolak. Dia enggak mau terima uang. Tapi kalau bantuan berupa buku masih diterima,” ujarnya.
Rudi, yang juga menjabat Wakil Ketua II Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Tangerang, memuji sosok Azmi yang giat mengkampanyekan toleransi. “Dia itu manusia langka,” katanya. Menurut Rudi, Azmi juga turut mengklarifikasi sejumlah fitnah yang beredar di media sosial. Salah satunya gunjingan bahwa keturunan Cina akan berkuasa jika Joko Widodo terpilih kembali menjadi presiden.
Berkat pendirian museum tersebut, Azmi diundang ke sejumlah acara untuk mempromosikan kemajemukan. Pada November tahun lalu, misalnya, Azmi menjadi pembicara di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Islamic Village, Tangerang. Di hadapan ratusan mahasiswa muslim, Azmi menceritakan peran keturunan Cina pada masa penjajahan Belanda. Dengan menyampaikan hal tersebut, ia berharap stereotipe terhadap kelompok etnis Cina pudar.
Pengetahuan tentang sejarah Cina juga membawa Azmi ke kancah internasional. Dua tahun lalu, Azmi diundang sebagai salah satu pembicara seminar bertajuk “Interaksi Dunia Melayu-Cina di Bawah Laluan Sutera” di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.
Namun reputasinya sebagai pembela kelompok etnis Tionghoa tak selalu menguntungkan, terutama selama masa kampanye pemilihan umum. Ia beberapa kali mendapat cibiran hingga penolakan saat berkeliling di daerah pemilihannya di Banten III, yang meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Di Tangerang beberapa waktu lalu, misalnya, spanduk Azmi diturunkan warga setempat. “Lokasi kampanye yang semula di tempat terbuka akhirnya dipindahkan ke lokasi tertutup,” ucap Azmi.
Mereka yang menolak bertanya-tanya mengapa Azmi, pemuda keturunan Gayo, suku yang mendiami Aceh bagian tengah, menyibukkan diri dengan persoalan etnis Tionghoa. Pertanyaan juga datang dari keluarganya sendiri. “Tapi, kalau sudah dijelaskan, mereka biasanya dapat memahami,” tutur Azmi.
Penolakan tak membuat Azmi berhenti. Ia menyatakan akan terus menebarkan semangat toleransi. “Karena perbedaan bukanlah masalah, melainkan rahmat.”
Azmi Abubakar
Lahir: Jakarta, 3 Maret 1972
Pendidikan: Institut Teknologi Indonesia (1997)
Pekerjaan: Wiraswasta
Partai: Partai Solidaritas Indonesia
Daerah Pemilihan: Banten III
Nomor Urut: 8
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo