Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Manyun gigit leher

Herman, warga desa sidodadi, kuala langkat, diadukan tutur, ayah suryanti ke polsek kuala karena mencupang suryanti. untuk berdamai, tutur minta ganti rugi rp 500 ribu.

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYOOR, kata orang Medan, maka Herman dan Suryanti pun hanyut. Warga Dusun Ladang Bambu, Desa Sidodadi, Kecamatan Kuala, Langkat 45 km dari Medan itu tenggelam dalam kencan pada suatu malam awal April lalu. Yang pria, 17 tahun, tamatan SD. Yang wanita, 16 tahun, pembantu rumah tangga di Medan, dan sedang mudik Lebaran. Mereka bertemu di tengah keramaian semalam suntuk di dusun itu. Di tengah pertunjukan, karaoke dan televisi umum juga digelar saat TVRI menayangkan acara sepekan sinetron. Perli sikit sana sini, Herman dan csnya akhirnya bergabung dengan Suryanti dkk. Herman dan Suryanti pun intim. Usai tontonan sekitar tengah malam, mereka singgah di rumah nenek Suryanti, tidak jauh dari keramaian tadi. Melihat neneknya sudah tidur, Suryanti mengajak teman-temannya tidur di rumah itu. Pucuk dicinta, tawaran tiba, mereka pun tidur di tikar yang digelar di teras rumah. Malam kian larut ketika Herman mencolek Suryanti masuk ke ruang tengah. Mereka kencan. Herman naik syoor, juga si Suryanti, hingga cewek ini tak merasa kalau lehernya digigit. Mereka bubar menjelang subuh. Sesampai di rumah, Suryanti dipelototi ayahnya, Tutur, 38 tahun. Bukan sekadar lantaran pulang pagi tapi di lehernya itu lho: ada enam bekas gigitan alias cupang. Akhirnya Suryanti mengaku. Mendengar nama Herman disebut anaknya, si ayah terperangah dan di kepalanya berkelebat dugaan. "Jangan-jangan . . ., ah. Lagian kelakuan Herman terhadap cewek terkenal buruk," pikirnya. Ia dua kali diramaikan massa karena mengok cewek tanpa permisi. Keesokannya Tutur mengadu ke Polsek Kuala. "Saya tak senang anak saya dicupangi, jangan-jangan perawan anak saya juga sudah diambilnya," ujar ayah tiga anak itu. Ia minta kegadisan Suryanti diperiksa ke Puskesmas. "Soalnya, kancing bajunya putus semua," Tutur bertutur. Sementara Herman dijemput petugas, Suryanti diperiksa di Puskesmas. "Saya cuma dicupangi, kok. Tak ada yang lain," kata Suryanti, yang dibenarkan Letda. Basuki, Kapolsek Kuala. Lalu Suryanti kembali bertugas ke Medan. Sedangkan Herman, setelah menginap seminggu di sel Polsek Kuala, dikirim ke LP Binjai sampai akhir April lalu. Sebab, menurut Kapolsek, sesuai dengan pengakuannya, Herman terbukti melanggar Pasal 289 Ayat 2, yakni melakukan tindak pidana perbuatan cabul dengan kekerasan. Kapolsek Kuala sebenarnya tak tega memperpanjang urusan ini mengingat keduanya masih remaja. Lewat anak buahnya, ia minta agar Ngadimun ayah Herman berdamai dengan keluarga Tutur. Tapi sampai hari ke-6 Herman di Polsek, tak satu pun keluarga menjenguknya. "Karena tak ada yang datang, dan tanda damai pun tak ada, maka tersangka saya kirim saja," kata Basuki kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. Setelah Herman di kirim ke Binjai barulah Ngadimun datang ke Polsek. Ayah sepuluh anak ini tampaknya membiarkan anaknya yang ke-7 itu masuk bui karena ulahnya membawa bangkrut. Ini yang ketiga kali. Tiap kali terjadi Ngadimun membayar ganti rugi. "Kalau itu saja kerjaku, mana tahan. Dari mana duitnya," ujar petani ini. Menurut Herman, kebiasaan mencuri ciuman itu timbul setahun ini sejak ia bekerja di pabrik kerupuk. Di situ cuma ada lima pekerja lelaki, dan selebihnya cewek, 25 orang, yang sering jadi sasaran Herman tanpa akibat. "Kebiasaan itu terbawa di luar kerja," katanya. Sehabis urusan dengan keluarga Suryanti, "Saya mau kumpul uang dan meminang dia," kata Herman. Tapi apakah pihak Suryanti mau berdamai? "Saya mau tapi minta ganti rugi Rp 500 ribu," ujar Tutur, yang sehari-hari mocok-mocok atau bekerja macam-macam. Ngadimun nyaris manyun sehingga ia minta waktu sebulan untuk melunasi denda atas kelakuan anaknya yang geregetan menggigit leher cewek itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus