BAGI setiap ahli pembangunan, salah satu bacaan wajib adalah laporan tahunan Bank Dunia, World Development Report. Ini merupakan semacam buku pintar, dengan puluhan tabel, grafik, dan bagan yang menggambarkan kemajuan ekonomi di negara-negara berkembang. Selain kegunaannya sebagai sumber data dan perbandingan antarnegara, ia juga bermanfaat bagi mereka yang ingin mengikuti perkembangan konsep dan teori pembangunan dari masa ke masa. Umpamanya: premis lama yang menekankan pertumbuhan mulai dikurangi, digantikan oleh pendekatan yang lebih memperhatikan soal pemerataan dan pelestarian lingkungan. Membaca World Development Report 1991, kebetulan mata saya jatuh kepada sebuah tabel yang sebelumnya tak terlihat, pada Boks A.1: "Indikator-indikator pokok bagi kesatuan ekonomi yang berpenduduk kurang dari satu juta." Boks ini seakanakan terlupakan. Tetapi bagi saya ada yang menarik dan mengagetkan, sebab boks itu berisi lima puluh enam kesatuan ekonomi yang berdiri sendiri. Setelah saya teliti, cuma sekitar tiga puluh lima dari jumlah itu yang merupakan negara-negara berdaulat penuh. Selebihnya masih bergantung secara hukum dan politik pada negara-negara besar, seperti Puerto Rico kepada Amerika Serikat atau Greenland kepada Denmark. Terasa mengherankan bahwa di dunia ini, yang didominasi negara-negara besar dengan populasi puluhan dan ratusan juta jiwa, terdapat pula tiga puluh lima "negara mini" yang berpenduduk hanya ratusan ribu. Apakah negara sekecil ini viable, mampu menciptakan pemerintahan, memajukan kepentingan rakyatnya, dan menjadi anggota penuh komunitas dunia? Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan ini, data World Development Report, yang semata-mata ekonomis, tidak mencukupi. Saya lalu mencari bahan-bahan tentang keadaan sosial, politik, dan hubungan internasional pada buku-buku pintar lain yang saya dapatkan di perpustakaan universitas. Secara sangat umum, kesimpulan saya adalah bahwa negara-negara mini tidak banyak berbeda dari negara-negara maksi. Pertama, dan ini juga di luar dugaan saya, hampir di semua negara kecil masyarakatnya bersifat majemuk. Di Afrika, mereka terbagi atas berbagai tribes atau suku bangsa pribumi. Di Karibia dan Amerika Selatan, suku etnis pendatang, seperti orang Afrika, India, dan Indonesia (Jawa), berjumlah lebih banyak ketimbang penduduk asli. Agama mereka juga beragam. Semuanya mengandung unsur Kristen, Katolik, Islam, atau Hindu. Sering tanpa ada satu agama mayoritas yang sifatnya mutlak. Kendati masyarakatnya terbelah, pemerintahnya cenderung stabil. Malah, sebagian besar negara mini masih mampu mempertahankan lembaga-lembaga demokratis yang diwariskan oleh penjajah asing dua atau tiga dasawarsa lalu. Mereka termasuk Antigua dan Barbuda, Bahamas, Barbados, Belize, Bermuda, Cape Verde, Dominica, Gambia, Guyana, Kepulauan Solomon, Kiribati, Malta, St. Kitts dan Nevis, St. Lucia, St. Vincent dan Grenadines, Samoa Barat, dan Sao Tome dan Principe. Tentu saja, seperti negara-negara berkembang pada umumnya, banyak juga yang mengalami kudeta militer atau pengambil-alihan kekuasaan oleh partai atau pemimpin tunggal. Misalnya Comoros, Djibouti, Equatorial Guinea, Guinea-Bissau, Fiji, Maldives, Seychelles, Suriname, dan Vanuatu. Ada yang sudah kembali ke sistem demokrasi, tetapi lebih banyak belum. Bahrain, Brunei, Swaziland, Qatar, dan Tonga masih mempertahankan sistem pemerintahan tradisional yang monarkis. Pemerintah Cyprus, yang terkoyak oleh konflik Yunani-Turki, belum mampu menjembatani kesenjangan primordialisme antara dua pihak itu. Dalam hal ekonomi, dua negara mini -- Iceland dan Luksemburg menikmati pendapatan per kapita di atas US$ 20.000 per tahun, sedangkan sebelas yang lain Fiji, Belize, St. Lucia, Grenada, Suriname, Seychelles, Malta, Barbados, Cyprus, Bahamas, dan Qatar telah mencapai tingkat kemakmuran antara US$ 1.650 dan US$ 15.500. Tiga belas lagi masih berada di tingkat antara US$ 240 (Gambia) dan US$ 910 (Tonga). Yang termiskin, Guinea-Bissau, belum bisa menggapai US$ 200. Ini menurut data Bank Dunia. Di negara besar, kebijaksanaan ekonomi Marxis dan etatis diembuskan pada tahun 1980-an oleh angin puyuh neoklasisme yang propasar dan antiregulasi. Ternyata, angin itu bertiup juga di belahan dunia kita. Hampir semua negara mini sekarang tunduk kepada garis Bank Dunia dan IMF (Dana Moneter Internasional) yang terkenal itu. Yang dulu sama sekali menolak kapitalisme, seperti Sao Tome dan Principe serta Equatorial Guinea, sekarang berlomba untuk mendatangkan investasi asing dan memasuki pasar dunia. Beberapa negara, khususnya di Karibia, menekankan turisme sebagai sumber penghasilan utama. Hubungan internasional sejumlah negara mini masih sangat dipengaruhi oleh bekas tuannya. Jajahan Prancis, seperti Djibouti, terkenal sulit melepaskan tali pengikat. Grenada, yang berpenduduk di bawah 100.000 jiwa, pernah diserang oleh Amerika Serikat sebab pemerintahnya yang kiri itu dianggap membahayakan kestabilan Karibia. Maldives pernah diduduki tentara India dengan alasan yang mirip. Kebijaksanaan luar negeri Vanuatu kini dianggap terlalu radikal dan banyak dikecam oleh Inggris, Australia, dan Prancis. Tetapi halhal itu adalah kekecualian. Mayoritas besar negara kecil sudah lama membuktikan bahwa mereka bisa mengurus rumahnya sendiri. Lagipula, mereka jarang mengganggu tetangga. Alasannya saya kira sederhana. Para politikus dan masyarakat di negara mini, seperti halnya di negara superkuat, ingin hidup sebagai manusia utuh. Kalau tidak, untuk apa mereka menuntut kemerdekaan dari penjajahan? Mereka juga tahu diri. Maksud saya, kebijaksanaan luar negeri mereka kelihatannya berdasarkan prinsip bahwa tikus yang menantang gajah akan diinjak. Pelajaran apakah yang dapat dipetik dari informasi ini? Sebagai seorang ilmuwan sosial dari Amerika Serikat, negara terbesar ketiga di dunia, yang mempelajari Indonesia, negara terbesar keempat, saya sangat terpesona oleh data ini, yang baru sempat saya ketahui dan saya renungkan. Tampaknya, jumlah penduduk dan sumber daya alam yang sedikit tidak selalu menjadi hambatan mutlak untuk keberhasilan sebuah masyarakat merdeka. Guru besar ilmu politik The Ohio State University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini