Saya setuju sekali orang menyebut doa ala Gedung Grenada (TEMPO, 1 Mei 1992) sebagai doa politik. Dan saya juga salut kepada pemrakarsanya, Alamsjah Ratu Perwiranegara. Anda telah berhasil menambah kreasi (bid'ah) baru untuk khazanah kehidupan umat Islam Indonesia. Nama doa politik benar dan perlu dipertahankan untuk tidak dicampuradukkan dengan doa-doa kategori lain yang telah berkembang lebih dahulu di kalangan umat. Doa politik punya pengertian dan etika yang berbeda. Doa keagamaan alamatnya kepada Tuhan, Dzat yang tidak berjarak dari manusia, yang lebih dekat ketimbang urat nadi si pendoa sendiri. Out-put-nya adalah perkenan-Nya. Karena itu, doa keagamaan selalu disuarakan dengan penuh kerendahan hati dan kerendahan suara: Ud'uu rabbakum tadlarru'an wa khufyatan . . . (alA'raf: 54). Doa politik sama sekali tidak begini: Doa politik, meski secara verbal ditujukan kepada Tuhan, alamat sebenarnya kepada manusia yang didoakan. Dan berbeda dengan Tuhan, manusia (yang berdoa) dengan sesamanya (yang didoakan) selalu berjarak. Sebab itu, doa politik sangat memerlukan publikasi, yang seramai-ramainya, plus dukungan massa, agar sasaran doa (yang adalah manusia) sudi mendengarkan doa itu, dan kemudian terenyuh untuk memberikan perkenannya. Mirip dengan doa politik adalah doa budaya. Yang terakhir ini doa yang dikumandangkan lewat loudspeaker di masjid-masjid atau di musalamusala. Perkenan Tuhan tidak terlalu penting, yang penting berkumandangnya doa itu sendiri. Doa budaya secara keseluruhan lebih polos: Doa keagamaan punya pamrih kepada Tuhan, doa politik pamrihnya kepada sesama manusia, doa budaya pamrihnya pada diri sendiri. Bravo umat Islam, khazanahnya semakin kaya saja. MASDAR F. MAS'UDI Jalan Cililitan Kecil III/12 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini