Saya sangat menghargai pendapat pribadi Menteri Dalam Negeri seperti dimuat di harian Jawa Pos tanggal 3 Mei tentang doa yang diprakarsai oleh bekas Menko Kesra H. Alamsjah dan 37 Ormas baru lalu ini. Menurut beliau, politik merupakan kegiatan hubungan antarmanusia, sedangkan berdoa adalah hubungan manusia dengan Tuhan Maha Pencipta. Ditambahkan pula bahwa siapa yang hendak mencalonkan seseorang menjadi presiden, dipersilakan mengajukan calon mereka ke MPR inantir, tentunya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam UU dan peraturan. Mungkin juga benar apa yang dikatakan oleh Ismail Hasan (Jawa Pos, 4 Mei) bahwa doa Alamsjah ini bukan doa politik. Tetapi agaknya sulit untuk dimungkiri, doa tersebut bukan doa ABS. Sejauh kita ketahui, doa dipanjatkan kepada Tuhan YME dan tidak ada dalam ajaran Islam atau agama lainnya yang memberi petunjuk agar doa itu harus didokumentasi, ditandatangani (oleh oknum-oknum yang mewakili suatu kelompok umatnya) dan dikirimkan kepada pribadi yang didoakan. Dalam hal ini, saya ingat kata-kata mutiara bekas Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles : "If it is up to you, do, and if it is to God, pray". Menurut saya, memanjatkan doa untuk keselamatan Bapak Soeharto adalah "iprayr," tetapi menginginkan Bapak Soeharto untuk menjadi presiden masa 1993-1998 adalah "idor", adalah upaya menyukseskan Pemilu 1992 dan memenangkan suara dalam MPR nanti agar Bapak Soeharto dapat dipilih kembali untuk jabatan presiden masa 1993-1998. "Do" yang dilakukan dalam upacara doa Alamsjah berbau ABS dan tidak lain adalah "jalan pintas yang termudah dan termurah" dari pemakarsa (dan beberapa aktivis) untuk maksudmaksud tertentu, khususnya menghadapi pemerintahan masa bakti 1993-1998 yang akan datang (baca wawancara Alamsjah dalam majalah TEMPO, 9 Mei 1992). ABS tidak lain adalah kelanjutan dari sifat-sifat feodalisme dan dapat membahayakan kesatuan bangsa. Sayang sekali, tindakan memasukkan unsur ABS dalam agama yang keliru ini justru dilakukan oleh para tokoh, sesepuh, dan cendekiawan muslim yang seharusnya menjadi panutan umatnya. Memang benar kata Mendagri (Pos Kota, 7 Mei) bahwa tidak ada UU dan peraturan yang melarang orang berdoa. Yang harus kita waspadai adalah adanya doa-doa agama yang berbau ABS dan memiliki pamrih. Hal ini akan dapat berakibat timbulnya jor-joran para tokoh dalam berdoa, yang dapat membingungkan dan memecahbelah umat. Semoga langkah keliru ini tidak terulang. Ir. ABDUL RACHMAN Kemang Timur 9 (Bangka) Mampang Prapatan Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini