Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah itu sehari-hari dipakai sebagai pabrik susu kedelai. Terletak di perkampungan pedagang batik di Desa Sayangan Kulon, Solo, Jawa Tengah, bangunan tua dengan dinding hijau muda itu sudah pudar warnanya. Luasnya tak seberapa: hanya 40 meter persegi dan disekat ke dalam dua ruangan. Di beberapa bagian dinding, jamur tumbuh berbunga-bunga.
Tapi sore itu, Selasa pekan lalu, bangunan itu mendadak tersohor. Para wartawan berkerumun. Polisi memasang garis kuning tanda larangan melintas. Sebelumnya, dalam sebuah penggerebekan, di sana aparat menemukan dokumen yang mengindikasikan aktivitas Jamaah Islamiyah (JI)—yang dicurigai mendalangi sejumlah aksi pengeboman di Indonesia dan memiliki hubungan dengan Al-Qaidah, organisasi yang dikaitkan dengan teror WTC di New York, Amerika Serikat, 11 September 2001.
Dokumen yang ditemukan polisi bisa bikin dahi berkernyit. Di antaranya sejumlah buku berjudul Pedoman Umum Jamaah Islamiyah, Pembentukan Sikap Dasar Jamaah Islamiyah, Laporan PTA Zamuk Dauroh I dan II, Islamic Military Academy Jamaah Islamiyah, The Terrorist Handbook, Cara Membuat Bom, Cara Membuat Racun, dan beberapa buku tentang militer lainnya.
Di sebuah ruangan, aparat juga menemukan dokumen tentang struktur organisasi JI tanpa nama personel. Di sana disebutkan jabatan paling atas dalam lembaga itu disebut markaz. Di bawahnya ada mantiqi, wakalah, qirdas, dan fi'ah (sel). Selain itu, polisi juga menemukan peta topografi beberapa wilayah di Surakarta seperti Kartasura, Jumapolo, Karanganyar, dan Klaten. "Ada indikasi rumah ini merupakan pusat pengendalian dan operasi JI di Indonesia," kata Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta, Komisaris Besar Hasyim Irianto. "Rumah ini juga dijadikan sebagai tempat rapat mereka."
Polisi yakin, inilah bukti paling anyar tentang gerakan Jamaah Islamiyah di Indonesia. Sebelumnya, ihwal ada tidaknya kumpulan gerakan Islam radikal itu tak pernah jelas dan menjadi sumber silang pendapat. Kini polisi memastikan organisasi yang dicap PBB sebagai gerakan teroris ini benar-benar ada.
Tapi, tak seperti namanya yang kondang, Jamaah Islamiyah Solo bermukim di sebuah pabrik susu dalam rumah reot. Bangunan itu milik keluarga Puspowiyoto, seorang warga Desa Sayangan Kulon. Semula bangunan itu dijadikan pabrik batik oleh keluarga tersebut. Namun, setelah Puspowiyoto meninggal lima tahun lalu, rumah itu dikontrakkan. "Yang menyewa adalah Achmad Raichan, pria yang mengaku berasal dari Sidoarjo (Jawa Timur)," kata Yuliani Prasetyaningrum, salah seorang anak Puspowiyoto.
Mula-mula Raichan hanya mengontak bangunan utama bernomor 12 dengan harga sewa Rp 1 juta per tahun. Belakangan rumah kecil di sebelahnya, yang belakangan ditemukan sejumlah dokumen JI, disewa dengan harga Rp 800 ribu per tahun. Antara kedua rumah oleh Raichan lalu dibuatkan pintu penghubung. Raichan mengaku mengontrak rumah itu untuk industri susu. Usaha itu cukup berhasil. "Saya salah seorang pelanggannya," kata Yuliani.
Tapi, tak seperti umumnya pendatang, Raichan tak akrab dengan tetangga. Menurut Alfa Bela, suami Yuliani, Raichan jarang datang kepadanya. Pembayaran perpanjangan kontrak dilakukan karyawan Raichan, di antaranya oleh Bambang Setiono alias Saeful, yang juga tinggal di rumah itu bersama anak dan istrinya. Bambang kini ditangkap polisi karena dituding menjadi bagian dari komplotan Jamaah Islamiyah. Alfa Bela mengaku tak tahu asal Bambang.
Menurut Muwaannah, istri Bambang, suaminya bukan karyawan Raichan. "Abi (bapak) hanya sopir carteran," katanya. Muwaannah mengaku keluarganya tinggal di rumah kontrakan itu sejak Februari tahun lalu. Meski Bambang telah ditangkap, ia beserta kelima anaknya masih tinggal di rumah tersebut. Tapi sejauh apa hubungan Bambang dan Raichan, Muwaannah mengaku tak tahu. Ia bahkan tak tahu kapan dan di mana suaminya kenal dengan Raichan.
Karena itulah Muwaannah terbengong-bengong ketika polisi datang ke rumahnya pada 3 Desember 2002 mencari Bambang. "Ketika pintu dibuka, mereka langsung membawa Abi," katanya. Baru enam hari kemudian, aparat datang lagi untuk menyerahkan surat penangkapan. Selain surat untuk suaminya, kepada perempuan berjilbab itu polisi juga menyerahkan surat penangkapan lain atas nama Herlambang dan Usman bin Solechan, warga Malaysia yang juga ditangkap di rumah itu.
"Saya," kata Muwaannah, "tak kenal Herlambang dan Usman." Perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, itu hanya diberi tahu suaminya bahwa ada dua orang yang menginap di rumah sebelah. Rumah bagian belakang memang kosong selama bulan Ramadan karena selama puasa pabrik susu ditutup. "Saya memasakkan makan untuk mereka. Tapi makanan selalu dibawa Abi lewat pintu tembus, sehingga saya tidak tahu wajah mereka," kata perempuan 34 tahun itu.
Usman dan Herlambang punya kaitan penting. Kata polisi, mereka adalah bagian dari komplotan pengebom Bali. Herlambang bin Zaidun alias Lambang ditangkap karena ikut menyembunyikan Imam Samudra, tersangka otak pengebom. Bambang ditangkap karena menyimpan senjata. Kesalahan Usman belum jelas. "Satu orang bernama Sa'ad masih buron," kata Komisaris Besar Hasyim Irianto. Yuliani dan Alfa mengaku tak mengenal Sa'ad. Tapi, menurut Muwaannah, Sa'ad adalah nama lain Raichan.
Tiga orang itu—bersama lima tersangka lain—telah dibawa polisi ke Bali. Bersama mereka juga telah ditangkap Ali Gufron alias Muchlas, otak pengebom dan orang yang disebut-sebut sebagai pemimpin Jamaah Islamiyah menggantikan Hambali, buron yang kini kabarnya telah hengkang ke Pakistan.
Muchlas memang orang yang ditunggu-tunggu. Ia berperawakan kecil dan banyak senyum. Rabu pekan lalu, ia dipertontonkan polisi di hadapan wartawan ketika sampai di Polda Bali setibanya dari Solo. Di tengah kawalan ketat aparat, ia melempar mesem ke sana-sini. "Semua tersangka memang banyak senyum, seperti merasa tak bersalah," kata seorang polisi di Solo.
Ditangkap dua hari sebelum Lebaran, Muchlas dipercaya menjadi otak dan motor penggerak Jamaah Islamiyah. Pria 42 tahun ini adalah lulusan Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, 1983. Sejak menjadi santri, ia memang menonjol, terutama dalam pelajaran bahasa Arab dan kepemimpinan (lihat TEMPO 15 Desember 2002). Ketika di Ngruki ia bukan santri yang banyak tingkah. Seorang rekan Muchlas yang tak ingin disebut namanya bercerita. "Gufron selalu sembahyang malam tanpa tidur lagi hingga subuh. Ia juga tidak pernah berhenti puasa sunah Senin-Kamis," kata sumber itu.
Menjadi santri dengan nomor induk 097, Muchlas juga terkesan lugu. Pernah pada suatu hari libur, ia pergi ke Pasar Klewer. Ketika menyeberang jalan yang ramai, ia tak berani. "Dia maju mundur, sudah sampai ke tengah, mundur lagi karena takut," kata seorang kawan Muchlas. Setelah keluar dari Ngruki, tak banyak orang tahu apa yang dilakukannya. Polisi menduga ia pergi ke Malaysia dan menjadi radikal di sana. Ia baru balik lagi ke kampungnya di Lamongan, Jawa Timur, setelah kejatuhan Soeharto.
Menurut Al-Chaidar, bekas aktivis Darul Islam (DI), posisi Muchlas sangat penting dalam jaringan Jamaah Islamiyah. Untuk kepentingan penelitian, pada 2000 lalu, Chaidar pernah mewawancarai Hambali dan Muchlas. "Di kalangan NII, Muchlas lebih dihormati. Kelihatan jabatan Muchlas lebih tinggi daripada Hambali," kata Al-Chaidar. Karena itu, ia meragukan sinyalemen polisi bahwa Muchlas merupakan pengganti Hambali. NII kependekan Negara Islam Indonesia, sebuah tujuan dari gerakan DI/TII.
Tak seperti Hambali yang ikut dalam perang Afganistan selama setahun, Muchlas pernah di sana empat tahun (1985-1989). Di Afgan, Muchlas bahkan pernah menjadi salah satu komandan pasukan untuk mengusir pasukan Syiah Iran yang melakukan infiltrasi. "Ia pernah memimpin beberapa puluh orang dari berbagai bangsa. Ia berhasil mengusir tentara Iran dan mendapatkan banyak harta rampasan perang," kata Chaidar.
Lalu di manakah posisi Muchlas alias Ali Gufron dalam Jamaah Islamiyah? Chaidar meyakini Muchlas berada dalam ring kedua. Lapis ini berperan memikirkan strategi dan bukan menjalankan tugas lapangan. Dalam wawancaranya dengan Chaidar, Muchlas mengaku lebih suka merancang rencana ketimbang aksi praktis. Di lapis ketiga baru muncul nama Hambali. "Muchlas adalah pimpinan JI yang menguasai Indonesia, Malaysia, dan Singapura," kata Chaidar.
Dalam keterangannya kepada polisi, Muchlas mengaku bahwa dia telah bertemu dengan pentolan Jamaah Islamiyah (JI) di Bangkok, Thailand, Februari tahun ini, untuk merancang bom Bali . Salah satu yang hadir adalah Hambali. Bangkok meeting sepakat menyerang target-target lunak, termasuk klub malam, bar, kafe di kawasan Asia Tenggara. Rapatnya diadakan di sebuah rumah yang disewa oleh istri Mohammed Mansour Jabarah, operator Al-Qaidah yang telah ditangkap April lalu di Oman. Jabarah, yang mempunyai nama sandi "Sammy", disebut-sebut sebagai koordinator lapangan yang merencanakan serangan pada target-target negara Barat di Singapura, seperti kantor diplomatik.
Al-Chaidar meyakini Muchlas bertanggung jawab kepada Abu Bakar Ba'asyir, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang kini ditahan polisi karena tudingan bertanggung jawab terhadap aksi bom Natal di Tanah Air. "Abu Bakar Ba'asyir berada di level pertama, semacam presidium, bersama-sama lima atau enam pimpinan lain dari Singapura, Moro, Filipina, dan Malaysia," kata Chaidar.
Dalam lingkaran Malaysia dan Singapura, JI memiliki banyak anggota. Salah satu yang disebut polisi adalah Wan Min, seorang warga Malaysia yang memberikan uang US$ 30 ribu (sekitar Rp 270 juta) kepada Muchlas. Wan Min kini ditahan polisi Diraja Malaysia. "Di Malaysia saya pernah bertemu dengan akuntan publik Jamaah Islamiyah bernama Zulkifli. Tapi saya meragukan Zulkifli adalah Wan Min. Zulkifli kan Melayu, bukan keturunan Cina," katanya.
Masih menurut Chaidar, Jamaah Islamiyah sebetulnya membawa ide negara Islam. Tapi, karena nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) melekat pada gerakan Kartosuwiryo di Jawa Barat, mereka memilih nama baru yakni Jamaah Islamiyah. Dalam beberapa kali wawancara dengan TEMPO, Ba'asyir menyangkal membentuk dan memimpin Jamaah Islamiyah. Ia juga menyangkal mengenal para tersangka.
Belum ada yang bisa memastikan peran Muchlas dan jaringan Jamaah Islamiyah dalam aksi bom Bali. Aparat kini sedang menyiapkan pertemuan Muchlas dan Imam Samudra alias Abdul Aziz, tersangka biang pengeboman di Kuta. Sumber di Kepolisian Daerah Bali menyebut, keduanya akan dikonfrontasikan ihwal banyak hal, termasuk pertemuan di Solo, yang dihadiri keduanya untuk merancang serangan Bali.
Imam Samudra dikabarkan pernah menjadi ustad di sebuah pesantren di Johor, Malaysia, yang kabarnya didirikan Muchlas yang sekaligus memimpinan pondok tersebut. Polisi juga sedang menelusuri kaitan kedua orang itu dalam organisasi Jamaah Islamiyah, tempat Muchlas disebut-sebut sebagai calon ketua menggantikan Hambali.
Namun pengacara Muchlas membantah keterangan tersebut. "Muchlas hanya tertawa ketika ditanya soal Jamaah Islamiyah," kata Fahmi H. Bahmid. Imam Samudra pun tidak pernah menjadi ustad di Pondok Pesantren di Johor. "Itu baru keterangan di polisi, pembuktiannya belum ada," ujarnya. Saat diperiksa Sabtu pekan lalu, Muchlas lebih banyak menyebut tidak ingat atau lupa. Itu yang membuat pemeriksaannya jauh lebih lama dibandingkan dengan dua tersangka lainnya: Abdurrauf dan Amrozi.
Pemeriksaan Muchlas berakhir hingga malam hari, sementara rekan-rekannya rata-rata hanya diperiksa tiga jam. "Keterangannya berbelit-belit dan sangat lamban," kata sebuah sumber di kepolisian yang kini mengaku kelimpungan. Padahal, di Pulau Dewata bom itu meledak. Di pulau itu pula semua misteri mesti terjawab.
Arif Zulkifli, Tjandra Dewi (Jakarta), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo