Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Perjuangan Komunitas Malak Kalawilis Pasa Kembali ke Tanah Adat

Tentang perjuangan keluarga Malak dalam menjaga tanah adat keluarga yang pernah terusir dari tanah leluhur.

2 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pada Mei 2024, genap satu tahun Gelek Malak kembali hidup di dan menghidupi tanah adat mereka.

  • Leluhur mereka pernah menjalani hidup sebagai peramu. Mereka masih menerapkan sistem ladang berpindah di area tanah adat.

Ma le bom bar wa le. Ma nu ke bon seng ke booo. Ma le bom bar wa le….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUMAMAN kata-kata berirama lamat-lamat keluar dari mulut Mama Arlence Kalasibin, sementara tangannya terus sibuk menyiangi sayur-mayur untuk makan malam kami. Senandung ini dilantunkan untuk suami yang ia kasihi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lewat tengah hari itu, kami tiba di rumah Herman Malak, Ketua Adat Gelek Malak—sang suami dalam senandung tersebut. Di sinilah tempat komunitas adat Malak Kalawilis Pasa menetap.

Boas Malak menunjukkan hasil tangkapan udangnya di sungai hutan adat Distrik Sayosa, Sorong, Papua Barat Daya, 21 Maret 2024. Ulet Ifansasti

Gelek Malak Kalawilis Pasa adalah komunitas marga di bawah payung besar suku Moi, yang menyebut marga dengan istilah gelek. Gelek Malak, yang merupakan subetnis Moi Kelim Malak, mendiami hutan dan tanah adat di wilayah Kampung Sayosa, Distrik Sayosa, Sorong, Papua Barat Daya.

Tanah dan hutan adat Gelek Malak seluas 2.794 hektare. Di sini hidup 11 keluarga dengan total 30 penduduk. Anggota Gelek Malak yang ada saat ini adalah keturunan (almarhum) Elia Malak. Herman Malak, putra tertua dari istri pertama Elia Malak, dipercaya menjadi ketua adat. Ia berperan mengawasi wilayah, melaksanakan sistem peradilan adat, dan menjaga tatanan kehidupan masyarakat adat di tingkat kampung bersama adik-adiknya: Bernadus Malak, Mesak Malak, dan Korneles Malak.

Pada Mei 2024, genap satu tahun Gelek Malak kembali hidup di dan menghidupi tanah adat mereka. Gelek Malak menyelenggarakan upacara adat (sabakok) saat pulang. Anggota Gelek Malak yang sebagian besar pernah tinggal di kampung di tengah perkebunan sawit merasakan perbedaan kualitas hidup yang kentara.

Pilihan pulang ke tanah adat dan menjaga segala sesuatu di atasnya membawa Gelek Malak ke tantangan yang tak berkesudahan. Gelora nafsu investor perkebunan sawit selalu mengintip, seakan-akan menunggu momen komunitas adat ini lengah. Demikian pula bisnis pembalakan atau logging, baik yang legal maupun ilegal.

Paham betul akan situasi ini, Gelek Malak terus berbenah. Mereka secara bertahap menginventarisasi tanaman endemis, seperti kayu kuku (yumuk) dan kayu besi (merbau). Mereka juga mulai bersiap mendokumentasikan burung endemis di wilayah hutan. Beruntung Gelek Malak bisa belajar dari pengalaman warga kampung ekowisata Malagufuk yang lokasinya hanya sejauh satu hari berjalan kaki.

Sebagaimana umumnya warga Papua, persinggungan dengan kaum misionaris membuat masyarakat adat Gelek Malak keluar dari hutan. Mereka pindah dan tinggal di Kampung Malalilis, Distrik Sayosa. Di sana mereka bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit. Di antaranya enam anggota Gelek Malak dengan lama kerja 6-16 tahun. Empat dari mereka mendapat pemutusan hubungan kerja dari perusahaan tanpa pesangon.

Pada 2019, ketika masih tinggal di Malalilis, Herman Malak menghadiri pertemuan warga saat lembaga swadaya Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memberikan pendampingan bagi Marga Gilik mengenai pemetaan tanah dan hutan adat. Saat ketiga kalinya hadir sebagai pendengar, ia berinisiatif mendekati Franky Samperante dari Yayasan Pusaka, meminta bantuan pendampingan. Kala itu, konflik horizontal di dalam marga mengenai penguasaan tenurial mendorong Herman pulang ke tanah adatnya. Pada tahun itu juga pemetaan dimulai.

Pada 2020, komunitas Malak mulai pindah kembali ke hutan adat mereka sambil melanjutkan pemetaan tanah adat. Pemetaan dilakukan dengan marga lain yang wilayahnya berbatasan dan melibatkan pihak lain, seperti Yayasan Pusaka serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Batas-batas wilayah disepakati dan ditentukan berdasarkan pengetahuan turun-temurun dari para leluhur marga. Mereka menggunakan sungai, muara sungai, dan jembatan sebagai penanda tempat. Pada 2022, Gelek Malak mulai merevitalisasi kebun untuk penyediaan kebutuhan pangan lokal.

Perjuangan Gelek Malak berbuah hasil. Pada 15 Oktober 2021, Pemerintah Kabupaten Sorong menerbitkan surat keputusan mengenai pengakuan dan pelindungan masyarakat adat suku Moi di Sorong, termasuk hak tanah adat Gelek Malak yang sudah selesai dipetakan.

•••

DALAM sejarah, sebelum penginjil masuk, sebelum ada pemerintahan negeri ini, ketika zaman masih alami, masyarakat Gelek Malak belum mengenal istilah kampung. Menjalani hidup sebagai peramu, mereka masih menerapkan sistem ladang berpindah di area tanah adat. Area tempat tinggal warga saat ini disebut kisdek, bekas kebun lama yang ditinggalkan. Setelah sekian lama, aneka tanaman tumbuh lagi di atasnya.

Rumah lama Herman Malak di kisdek telah roboh. Penanda letaknya adalah tanaman sagu sebagai tanaman pertama. Ia ditanam berjajar dengan jiawas (jambu biji), jeruk, dan rambutan.

Pada sore itu, saya mengikuti Mama Arlence Kalasibin meramban di kebun. Lahan kebun komunal itu terhampar luas, ditanam secara tumpang sari. Keluarga Gelek Malak menanam bermacam tanaman sayur, rempah, dan umbi-umbian. Ada bayam (mokaa), kelor (flolas), kangkung darat (soflain), gedi, daun ubi jalar (petatas/debebali), daun singkong (beu’las), bunga dan daun pepaya (papay), daun katuk (katok), serta tebu sayur (bisuwok). Mereka juga menanam tanaman buah seperti pisang, kelapa, rambutan, jeruk asam, dan langsat.

Di antara tanaman sayur-mayur yang tumbuh tegak serta merambat, ada tanaman singkong (kasbi), ubi jalar, serta beberapa jenis talas atau keladi. Mereka mengkonsumsi umbi-umbian ini selain sari pati tanaman sagu yang mereka olah menjadi bubur atau papeda. Dengan tersedianya beragam pilihan makanan pokok ini, tatkala harga beras bergejolak, kehidupan mereka sehari-hari tak terlalu terpengaruh.

Bahkan ketika tingginya curah hujan membuat hutan adat terkepung genangan banjir di bekas jalur logging dan jalan utama Mancaraya, warga Gelek Malak masih bisa menikmati masakan sedap berkat aneka rempah dari kebun mereka. Ada lengkuas, kunyit, jahe, daun jeruk, serai, serai panjang atau serai wangi, pandan, kemangi, juga cabai. Mereka juga punya umbi dumlas yang digunakan sebagai pewangi makanan serta kulit kayu giziyezek yang rasanya menyerupai bawang.

“Di Papua, tanah itu bagus. Menanam apa saja bisa tumbuh baik. Kecuali tanah di kebun sawit, yang sudah terlalu sakit karena kebanyakan pupuk kimia!” ujar Mince Ulala, istri Yeheskiel Malak, warga Gelek Malak.

Keluarga Gelek Malak berburu untuk melengkapi kebutuhan pangan mereka. Binatang darat buruan mereka antara lain rusa, kanguru tanah atau lau-lau, dan babi hutan. Kisdek Herman Malak bersisian dengan lembah rendah yang dialiri sungai berair jernih dari muara Sungai Klais Malak. Dari sanalah kebutuhan air bersih mereka sehari-hari berasal. Dari sungai tersebut, sumber pangan berupa binatang air berlimpah. Di antaranya udang tangan panjang (simirik), udang batu, ikan sembilang, ikan gabus, ikan bulana, serta ikan semandar (semacam ikan bawal).

Anggota perempuan Gelek Malak Kalawilis Pasa memanen cabai di lahan komunal di tengah hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa, Distrik Sayosa, Sorong, Papua Barat Daya, 22 Maret 2024. Ulet Ifansasti

Warga Gelek Malak berburu binatang hutan menggunakan tombak. Untuk menangkap ikan, mereka menggunakan kalawai (trisula) atau memasang umpan yang ditinggalkan semalaman menggunakan buah langsat.

Masyarakat adat Papua di daerah lain, seperti Wamena, Merauke, dan Manokwari, mengenal budaya panah dalam berburu. Sedangkan warga Gelek Malak tidak. Secara umum, masyarakat adat Moi di Sorong hanya mengenal budaya tombak. Mereka tidak pernah menggunakan senjata api atau senjata angin karena diyakini malah akan membuat hewan buruan menjauh. Saat siang, mereka berburu bersama kawanan anjing, yang membantu mengepung atau menggelandang hewan buruan ke arah sungai.

•••

PADA hari kedua, warga Gelek Malak mengajak kami menangkap hewan di hutan. Dua lelaki muda, Boas dan Abdon, menunjukkan kepada kami cara menombak udang dan memasang jerat. Biasanya, jerat akan ditengok kembali dua-tiga hari setelahnya. Di anak-anak sungai yang melintasi hutan, ikan dan udang nyaris selalu tersedia. Terlebih ketika air meluber seusai hujan deras.

Hagar Malak, putri tertua Bernadus Malak, sempat menunjukkan kepiawaiannya meraba udang. Dengan tangan kosong ia merogohkan tangannya ke bawah batu di sungai yang dangkal. Dalam hitungan detik, seekor udang berukuran sedang sudah berpindah ke tangannya. Tidak sampai satu menit, ia sudah berhasil mengumpulkan sepuluh udang. Sebagian udang dia jepit di antara kedua bibirnya ketika ia harus meraba udang lagi.

Wilayah berburu Gelek Malak diperkirakan mencapai 500 hektare. Setelah berhasil mendapatkan hewan buruan, biasanya mereka baru akan berburu lagi satu-dua minggu kemudian. “Itu sudah jadi budaya kami,” ucap Herman Malak. “Kami merasa cinta dan hormat terhadap yang kami miliki.” Gelek Malak mengutamakan konsumsi untuk warga mereka sendiri. Tidak ada dorongan mencari buruan banyak-banyak untuk dijual. Maksimal jumlah buruan yang pernah mereka peroleh adalah empat rusa atau babi hutan. Biasanya mereka mencari buruan dalam jumlah ini ketika harus menjual daging untuk kebutuhan tertentu, misalnya biaya sekolah anak.

“Pernah kami berencana memancing ikan mengajak anjing. Ternyata di tengah jalan kami menemukan rusa. Akhirnya kami menombak rusa dan membatalkan rencana mancing. Saya buang umpan pancing dan memutuskan pulang. Rusa yang saya dapat hari itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan makan kami,” ujar Mesak Malak.

“Jika tinggal di kampung (Malalilis), ada uang Rp 2 juta bisa habis cepat,” Mesak menambahkan. “Kalau butuh makanan, harus lihat, masih ada uang atau tidak untuk beli beras. Tapi, jika tinggal di hutan, kalau butuh makan, yang perlu dilakukan tinggal menokok pohon sagu untuk kemudian diolah menjadi papeda. Kadang perlu tetap menyediakan uang untuk beli beras, untuk anak-anak yang lebih terbiasa makan nasi.”

Yeheskiel Malak menyepakati kakak tuanya. “Tinggal di kampung (Malalilis), punya uang Rp 2 juta tidak sampai satu minggu akan habis untuk beli beras, minyak goreng. Kalau tinggal di hutan, dalam satu bulan uang Rp 2 juta bisa utuh di dompet. Mau beli apa? Semua tersedia di hutan. Mau makan, tinggal tebang dan tokok sagu. Di sungai ada ikan. Di hutan ada daging. Kita tinggal bikin papeda, makan dengan ikan hasil pasang umpan. Bikin papeda, makan dengan daging hasil kita berburu. Sudah cukup. Jika habis, tinggal tokok sagu lagi. Ikan masih ada hari ini, sore bahkan tidak perlu cari lagi. Sudah cukup. Kalau habis, tinggal pasang umpan lagi. Esok paginya tinggal diambil,” ucapnya.

“Kalau dapat banyak dari berburu dibantu anjing, bisa dibawa turun (ke kota). Dapat tiga misalnya, satu dibawa ke rumah untuk dimakan bersama keluarga; dua lainnya dibawa turun (ke kota) untuk dijual. Pulangnya paling beli rokok, garam, gula, dan vetsin. Uangnya dibawa pulang untuk disimpan lagi,” kata Yeheskiel.

Dalam perjalanan keluar dari hutan untuk kembali ke rumah di kebun, Mama Hagar Malak menghentikan langkahnya di bawah pohon merbau besar. Ia mengambili tunas-tunas pohon merbau dari bebijian yang jatuh ke tanah dan tumbuh secara alami. Ia akan menanamnya di polybag. Setelah cukup tingginya, pohon-pohon merbau muda ini akan ia tanam di perbatasan-perbatasan luar tanah adat Gelek Malak, yang sebelumnya adalah area penebangan.

Gelek Malak memiliki hutan cadangan di ujung utara wilayah adat yang jarang sekali dijangkau. Untuk mencapainya, dibutuhkan waktu satu hari penuh. Hutan cadangan ini hanya boleh diakses oleh anggota Gelek Malak. Anggota marga lain tidak boleh. Jika ada anggota Gelek Malak yang hendak ke sana pun harus meminta izin dulu kepada Herman Malak dan keluarga besar.

Pada Januari 2024, untuk kebutuhan pemetaan, komunitas Gelek Malak mendatangi satu tempat yang jarang mereka masuki. Di tempat yang jarang dijamah itu, mereka bisa dengan mudah menemukan hewan buruan, terutama babi hutan, rusa, dan lau-lau. Namun secara khusus mereka khawatir terhadap keberadaan kanguru pohon dan kasuari yang banyak diincar pemburu dari luar.

Di dekat hutan cadangan, terdapat tanah keramat Gelek Malak. Hanya lelaki Gelek Malak yang sudah mengikuti pendidikan adat yang bisa menjangkau tanah tersebut. Di sana terdapat berbagai jenis burung. Di tanah keramat ini, perburuan dilarang keras.

Gelek Malak juga khawatir karena adanya pemburu burung dari luar. Tidak hanya memburu burung, mereka juga mengincar babi hutan dan rusa menggunakan senjata api. Biasanya mereka datang dari wilayah luar Sorong. Surat keputusan Bupati Sorong memberi wewenang kepada Herman untuk melarang perburuan. Jika ada yang ketahuan, orang itu akan dikejar dan diusir pulang. Saat ini semua perburuan oleh orang luar bisa mereka hentikan.

Pembatasan kegiatan berburu diterapkan juga kepada generasi muda Gelek Malak. Mereka hanya boleh berburu tanpa senjata api, mengambil secukupnya, serta menghormati dan mematuhi batas wilayah yang terlarang dilewati. Peraturan-peraturan adat ini harus ditaati oleh semua anggota Gelek Malak.

Lempar tombak (solo) dan kalawai diajarkan kepada anak-anak sejak dini, saat berusia 7 tahun. Mereka ikut berburu bersama lelaki dewasa dan secara alami menyerap ilmunya. Pada usia 7 tahun, seorang bocah seperti Esau Ulala sudah memahami rute-rute dengan jarak tempuh hingga 3 kilometer. Kadang orang tua dihinggapi kekhawatiran anak-anak ini tersesat ataupun terkena bisa ular atau parang atau salah tikam. Dengan cukup kepercayaan, anak-anak ini berangsur memahami jalan-jalan tembus untuk kembali dari hutan, juga tempat-tempat yang orang tua larang mereka masuki.

Hutan menyediakan semua kebutuhan warga Gelek Malak, termasuk obat-obatan alami. Beberapa lelaki senior Gelek Malak bisa merasakan jika ada yang sakit dan mengupayakan penyembuhan menggunakan ramuan tradisional. Di antaranya tali kuning, kulit kayu, serta aneka dedaunan. Ada yang dikonsumsi dengan cara direbus dulu, ada yang tanpa direbus. Bahannya masih tersedia banyak di hutan dan dipakai hingga hari ini. Jika tidak sembuh juga, baru kemudian si sakit dibawa ke rumah sakit di kota.

Kebanyakan tanaman obat di kebun Gelek Malak bisa digunakan untuk mengobati diare, di antaranya daun jambu biji, daun simlas, kulit kayu pohon sukun, serta daun teebeeizik yang dikeringkan. Mereka memanfaatkan rebusan kulit kayu pohon susu untuk mengobati malaria. Ada juga daun semelas atau daun gatal untuk menghilangkan pegal-pegal dan dipercaya mampu melancarkan peredaran darah. Caranya, bagian bawah daun digosok-gosokkan ke bagian tubuh yang terasa pegal.

“Sesungguhnya yang paling peka adalah hutan. Ia seperti ibu (Tam Sinih), yang paling paham ketika anaknya lapar, sakit. Ia sediakan semuanya untuk orang yang punya keinginan menggali informasi yang sudah hutan sediakan,” ujar Ayub Radison Paa, penyambung komunikasi kami yang juga staf Yayasan Pusaka, seakan-akan menjawab kekaguman kami terhadap cara hidup orang Moi.

•••

WARGA Gelek Malak mafhum bahwa mereka tidak boleh selamat sendiri. Mereka ingin anggota marga lain, setidaknya yang areanya persis berbatasan dengan mereka, turut berkomitmen menjaga tanah adat. Di antaranya Gelek Gilik, Klaili, Sayosa, Klasibin, Kalalu, dan Doo. Yang belum terkonsolidasi adalah Gelek Ulimele, Kilin, dan Malak 2. Masih tersimpan harapan di dada warga Gelek Malak agar saudara-saudara mereka dari marga lain berpendirian teguh menghadapi iming-iming investor.

“Tanpa hutan, kita manusia tidak akan bisa hidup. Kita merdeka memanfaatkan segala sumber makanan, obat-obatan yang ada di hutan. Jika kami jual tanah, misalnya saya pegang Rp 1 miliar, uang bisa habis dalam satu bulan. Tapi, kalau punya tanah, kami bisa terus hidup dengan memanfaatkan seperlunya. Kalau menggunakannya berlebihan, kami merasa rugi sendiri. Itu yang membedakan kami dengan perusahaan,” kata Korneles Malak, yang menemani kami makan malam dengan menu papeda, ca sayur, dan ikan gabus rebus.

Herman Malak dan semua anggota marga memelihara optimisme menyongsong hari esok. Gelek Malak memberi izin kepada Yayasan Pusaka yang berinisiatif mendirikan rumah singgah di bukit seberang rumah kebun.

Rumah singgah itu diniatkan sebagai tempat menyimpan dokumentasi dan segala informasi tentang Gelek Malak. Di sana akan disediakan bahan bacaan, foto dokumentasi, juga foto cerita yang akan dibuat dengan melibatkan dosen dari universitas di Sorong. Mereka berharap makin banyak orang yang bisa mengetahui Gelek Malak lebih jauh. Rumah singgah ini kelak mampu menerima tamu yang akan menginap. Dengan demikian, tamu bisa melihat secara langsung cara hidup warga Gelek Malak sehari-hari. Kelak ketika rumah singgah itu nantinya diresmikan, masyarakat Gelek Malak berencana mengundang Bupati Sorong dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sorong. Mereka berharap pihak eksekutif dan legislatif bisa melihat secara langsung kebutuhan warga Gelek Malak. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Aisyah Hilal berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perjuangan Kembali ke Tanah Adat"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus