LASIYAH boleh dinikahi Supardi, asal pemuda tersebut menyerahkan 10 ikan emas, sebagai emas kawinnya. Syarat tambahan: ikan-ikan itu harus ditangkap di kolam, dengan tangan Supardi sendiri. Seperti sudah disepakati bersama, seminggu sebelum "malam tarung", pertengahan Juni lalu Supardi, 24 tahun, harus menyerahkan hasil tangkapannya itu kepada Lasiyah. "Kalau gagal, pernikahan kami juga gagal," kata Supardi, asli Desa Jambu, Wangon, Banyumas. Soalnya, Sanpardja, sang camer alias calon mertua, mengawasi sendiri di tepi kolam. Begitulah. Hampir dua jam berkutat di kolam milik Sadikun, baru empat ekor yang dapat disergap. Akhirnya, pemuda yang belum punya pekerjaan tetap itu menyerah. Lalu? "Dengan menyesal kamu belum bisa saya terima sebagai menantu, karena hanya mampu menangkap empat ekor," kata Sanpardja. Supardi kontan lesu darah. Tapi tidak bagi Lasiyah, 19 tahun. Calon pengantin wanita ini telanjur "tresna". Baginya lebih baik minggat daripada batal kawin dengan Supardi. "Saya malu, undangan sudah telanjur kami sebar," ujar gadis ayu berkulit kuning langsat itu pada wartawan TEMPO Slamet Subagyo. Lasiyah, yang tinggal di Desa Gumelar, kemudian kabur ke tempat familinya di Purbalingga. Rupanya, ayahnya tak tega juga. Sanpardja kembali memberikan kesempatan buat Si calon menantu. Supardi boleh menikahi Lasiyah, tetapi dengan syarat "10 ekor ikan emas" -- bukan ditukar dengan emas sungguhan. Sanpardia sengaja meminta emas kawin berupa ikan emas. "Saya akan memberi warisan berupa kolam ikan kepada suami anak saya," kata ayah tujuh anak itu. Di mata dia, kalau menantunya pintar menangkap ikan, berarti nanti juga mahir mengelola warisannya. Supardi tak mau kejeblos lagi. Malam itu, 16 ekor ikan diciduknya, dalam tempo satu jam. Lamaran diterima. Pardi terkekeh-kekeh. Bersama Sadikun (pemilik kolam dan paman Lasiyah), ia mengelabui calon mertuanya. "Ikan emas itu saya ikat dengan tali, di tengah dan di tiap sudut kolam," katanya terus terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini