Business-wise. Leisure-wise. Enjoy your favorite drinks at the Bienvenida Cocktail Lounge. Savor Italian gourmet delights at Capricao. Have your fill of fun and thrills at the Casino Filipino. And enjoy "the good life" at the Playboy Club in Manila. ITU adalah iklan Silahis International Hotel & Casino. Terpampang di situ gambar gadis montok menggiurkan, berpakaian minim, dengan kepala berhias bunny kuning, leher dihias dasi kupu hitam. Lalu, bibir menyungging senyum dan tangan kanan mengangkat baki berisi tiga gelas es krim. Betul-betul merupakan ajakan: enjoy the good life. Pada bagian bawah iklan dipasang foto elite perlente laki-laki dan perempuan, asyik bermain kasino. Perempuan bergaun mewah, laki-laki berjas dan berdasi. Dengan rapi kasino diiklankan sebagai permainan orang berselera tinggi dan berkantung tebal. Canggih sekali. Silahis, in the middle of the action. Iklan kasino dari negeri Cory Aquino ini terpasang pada halaman 26 Guide to Jakarta, edisi Juni 1987. Diterbitkan dalam The Official Journal of the Department of Tourism, Post, and Telecommunications, Jakarta Regional Office. Pendeknya, dalam majalah kita, untuk para turis. Iklan itu mengingatkan saya pada pengalaman di Genting Highland, Malaysia, bertahun-tahun lalu. Sampai sekarang pun saya tidak mafhum mengapa pertemuan kami dilakukan di tempat itu. Mungkin maksud panitia supaya pengetahuan umum kami bertambah sedikit perihal masalah-masalah yang cukup mendasar yang dihadapi manusia. Yang jelas, kami sungguh menikmati kesejukan dan keindahan alam Genting Highland. Pertemuan kami adalah untuk membahas usulan penelitian yang berlusin-lusin banyaknya dari berbagai negara di Asia Tenggara. Tujuan program ini memberi kesempatan kepada peneliti muda untuk meningkatkan kemampuan meneliti dan memupuk kepekaan mereka terhadap masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan masalah kependudukan. Untuk itu, mereka memasukkan usulan penelitian buat diseleksi. Tempat bersidang berganti-ganti: Singapura, Penang, Chiangmai, Hong Kong, dan Genting Highland. Di Genting Highland, kami menginap di hotel yang megah dan besar. Tempat ini memang indah dan sejuk, dikelilingi hutan perawan dan punya danau buatan. Pendeknya, markas perjudian yang canggih dan tempat peristirahatan yang aduhai. Terdapat bermacam permainan untuk mengadu nasib: jackpot, blackjack, f rench bull, dan tai sai. Lalu disediakan sebuah ruangan yang mewah untuk penjudi kelas kakap, Casino de Genting International Room. *** Ketika Juni lalu saya pulang ke Tiganderket, Sumatera Utara, semua tampak biasa-biasa saja. Ekonomi desa kami terasa lesu, karena harga sayur-mayur melorot terus. Berhubung sejumlah kebijaksanaan baru pemerintah Malaysia perihal impor sayur-mayur, prospek ekspor untuk masa depan juga tidak bisa dikatakan cerah. Saya berani bertaruh bahwa petani-petani di kampung kami, dan di Tanah Karo pada umumnya, progresif sekali. Tapi, apa mau dikata kalau harga tidak ada. Masalah pemasaran tidak bisa mereka atasi. Dahulu jeruk merupakan komoditi yang bisa diandalkan di kampung kami dan sekitarnya. Namun, dalam waktu singkat pohon-pohon yang menjadi tumpuan itu meranggas dan mati secara masal. Entah karena virus, entah karena apa, orang kampung tidak tahu. Lalu muncul cengkih. Cukup banyak yang menggantungkan nasib pada cengkih ini. Namun, belakangan ini sudah timbul kekhawatiran lagi, jangan-jangan nasibnya seperti pohon jeruk dahulu: meranggas, lalu lenyap. Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Begitulah dua malam di kampung, obrolan dengan keluarga, yang terus berdatangan, didominasi oleh masalah-masalah ekonomi kampung. Masalah sulitnya cari duit dan masalah pengiriman ongkos sekolah anak ke kota. Sudah ada yang mencoba panili, mencontoh penduduk Batukarang, yang katanya bisa membawa keuntungan besar tapi mengurusnya susah. Lalu pembicaraan meloncat kepada masalah kriminalitas: pencurian panili. Juga pencurian buah cengkih yang gawat. Seorang saudara saya nyeletuk: sepanjang sejarah belum pernah soal pencurian segawat ini di Tiganderket. Situasi sudah berubah. Pencuri cengkih naik ke loteng rumah pada siang bolong. Adakalanya, sang pencuri keluarga sendiri, mungkin seorang keponakan. Satu hal yang tidak saya duga ialah pembicaraan akhirnya meloncat kepada Porkas. Ternyata, Porkas telah menjangkau kampung kami, walau letaknya cukup jauh dari Medan, 85 kilometer. Contoh korban telah ada di tengah-tengah keluarga kami. Kepada saya dibisikkan, "Kalau kamu mau membantu saudaramu itu, hati-hatilah. Jangan-jangan nanti semuanya habis juga untuk Porkas." Astagfirullah. Sudah berapa banyak rakyat kecil berjatuhan seperti ini. Dalam situasi ekonomi yang sulit, mereka digoda oleh Porkas. Dan berbagai software sudah mereka coba untuk mempertajam tebakan: beragam teknik ramalan, mimpi, sampai roh-roh di tempat-tempat keramat. Sampai sedemikian jauh tetap kantung kempis yang bertambah kempis. Toh, mereka tidak jera: tetapl tergoda oleh janji-janji itu. Kalau tidak kena yang besar, yang kecil pun jadilah. *** Quo vadis domine. Kalau terpaksa bermain untuk mencari dana, mengapa tidak membuat proyek lokalisasi judi? Mengapa harus main Porkas di sembarang tempat, sehingga menguras kantung orang-orang miskin, di kota dan di pelosok? Kiranya alternatif lain adalah lokalisasi judi ala Silahis International Hotel & Casino atau ala Genting Highland. Biar orang-orang berkantung tebal, dalam dari luar negeri, main-main dengan sebagian isi kantung mereka di situ, dan menikmati apa yang mereka namakan the good life.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini