Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Para pegiat antikorupsi menilai masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia dalam empat tahun ke depan bakal suram. Penyebabnya, pemimpin KPK yang dipilih oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat bukan merupakan sosok yang benar-benar bersih dan berintegritas. Inspektur Jenderal Firli Bahuri, yang pernah melakukan pelanggaran etik berat sewaktu menjabat di KPK, justru terpilih sebagai ketua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini menjadi alarm merah pemberantasan korupsi," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah. Menurut dia, Firli memiliki rekam jejak yang buruk ketika menjabat Deputi Penindakan KPK. Dia juga sepakat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah mulai dibahas oleh DPR dan pemerintah, mengandung sejumlah pasal yang bisa melemahkan KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Firli, terdapat empat calon lain yang terpilih sebagai pemimpin KPK: Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, Lili Pintauli Siregar, dan Alexander Marwata.
Pemilihan komisioner KPK ditentukan melalui voting oleh 56 anggota Komisi Hukum. Setiap anggota berhak memilih maksimal 5 nama dari 10 calon pemimpin. Dalam voting itu, Firli yang mendapat suara terbanyak, 56. Di tempat kedua adalah inkumben komisioner KPK Alexander Marwata dengan 53 suara. Sedangkan Nawawi mendapat 50 suara, Nurul 51 suara, dan terakhir Lili memperoleh 44 suara.
Pemilihan Firli sebagai Ketua KPK berlangsung cepat, kurang dari lima menit setelah proses voting lima komisioner terpilih. Proses lobi penunjukan Firli sebagai ketua dilakukan secara tertutup.
Menurut Wana, seluruh pimpinan KPK memiliki catatan miring. "Mereka semua menyepakati revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujarnya.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai saat ini KPK berada di ujung tanduk. KPK berpotensi mengalami pembusukan dari dalam sehingga upaya pemberantasan korupsi di Indonesia terancam mandek.
Dampak yang tidak kalah besar adalah kemungkinan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK. "Kalau KPK dilemahkan, maka lembaga ini akan jadi lembaga yang tidak jauh berbeda dengan polisi dan kejaksaan," ujarnya.
Beberapa jam sebelum terpilihnya Firli, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengadakan konferensi pers yang membeberkan kasus dugaan pelanggaran etik Firli. Ketua KPK terpilih periode 2019-2023 itu dianggap melanggar etik karena bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi yang saat itu sedang diselidiki oleh KPK dalam kaitan dengan kasus dugaan korupsi divestasi Newmont. "Hasil pemeriksaan pengawas internal adalah terdapat dugaan pelanggaran berat," kata Saut Situmorang di kantornya. Firli dan Zainul dalam sejumlah kesempatan membantah bahwa pertemuan mereka terkait dengan kasus itu.
Anggota Komisi III, Erma Suryani Ranik, mengatakan Firli dipilih menjadi ketua semata-mata karena memperoleh suara paling banyak. "Meski aturan itu tidak ada dalam undang-undang, itu sudah jadi kesepakatan," ujarnya. Menurut dia, komposisi pimpinan KPK terpilih saat ini adalah yang paling ideal. "Kita punya wakil dari akademisi. Punya wakil dari penegak hukum. Sudah lengkaplah. Komisi III sudah mempertimbangkan ini komposisi terbaik," ujarnya.
Sedangkan anggota Komisi III, Herman Hery, mengklaim bahwa Dewan telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak dalam menentukan pimpinan KPK. "Semua pihak sudah memberikan masukan," ujarnya. Ia juga berpendapat pilihan Dewan adalah yang terbaik. "Itu bentuk profesionalisme yang kami tunjukkan ke masyarakat." BUDIARTI UTAMI PUTRI | NYOMAN A.W. | MAYA AYU | AVIT HIDAYAT
Masa Depan Pemberantasan Korupsi Dinilai Suram
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo