Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUCING-kucingan dengan penjaga flat atlet Senayan menjadi kegiatan utama Jotje Gozal dan Mohamad Sarengat seusai perhelatan Asian Games IV di Jakarta pada Agustus-September 1962. Duo sprinter Indonesia itu menjadi penghuni gelap di mes karena tidak mempunyai tempat tinggal tetap di Jakarta. "Kami diusir pengurus flat. Katanya kami harus bayar," ujar Gozal mengingat kejadian 56 tahun silam itu pada akhir Juli lalu di kediamannya di Minahasa, Sulawesi Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gozal dan Sarengat merupakan kawan sekamar selama tinggal di mes Senayan untuk menjalani training center Asian Games. Sebelum ditagih biaya menginap, Gozal dan Sarengat biasanya sudah lari pindah ke flat lain. Flat-flat untuk atlet berada di sebelah timur Gelora Bung Karno. Lokasi tersebut kini menjadi area pusat belanja FX Mall membentang hingga ke Plaza Senayan. "Memang waktu itu kami tidak ada penghargaan sama sekali," ucap Gozal, yang kini berusia 82 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesungguhnya Sarengat ketika itu baru saja mendapatkan medali emas dalam nomor lari 100 meter (10,5 detik) dan lari gawang 110 meter (14,3 detik) di Asian Games Jakarta. Prestasi yang ditorehkan Sarengat di nomor lari 100 meter mematahkan rekor lama Asian Games yang dipegang Abdul Chalik, atlet Pakistan, selama 10,6 detik.
Begitu Asian Games selesai, kata Gozal, uang saku bulanan langsung disetop. Para atlet itu tak ada ikatan lagi dengan program pelatihan. "Dua bulan kami jadi penghuni gelap di flat," ujarnya. Beruntung Gozal masih mempunyai gaji dari pekerjaannya sebagai guru untuk bekal kehidupan sehari-hari. Sedangkan Sarengat hanya menggantungkan kiriman uang dari orang tua.
Dalam buku otobiografi berjudul Namaku Sarengat yang terbit pada 2009, Engak-panggilan Sarengat-juga mencurahkan masa kelamnya sebagai atlet di flat Senayan. Ia merasa seperti habis manis sepah dibuang. Menurut peraturan yang berlaku, kata Sarengat, seusai Asian Games 1962 itu semua atlet harus keluar dari flat Senayan. Tapi dia dan Gozal merasa betah di situ dan memang tidak mempunyai tempat tinggal tetap di Jakarta.
Kehidupan Sarengat di flat tersebut memang berubah. Sementara dulu sebagai atlet andalan nasional ia menjadi penghuni elite, sebaliknya, setelah Asian Games, nasibnya tidak terlalu jelas. Uang kiriman dari orang tua tak seberapa. Untuk makan pun ia harus ke warung pinggir jalan pintu 9 kompleks Senayan. "Di saat-saat seperti itulah aku merasakan beratnya perjuangan hidup di Jakarta," tulis Sarengat di bukunya.
Ketika makan bersama Gozal di warung pinggir jalan, Sarengat kerap disapa para tukang becak. Hati Sarengat kian nelangsa karena memikirkan asumsi orang-orang yang menjumpai atlet andalan nasional makan di pinggir jalan. "Kehidupan seperti itu membuat orang bertanya juga. Sedemikian parahkah nasib atlet nasional?" ujarnya.
Meski hidup prihatin, Sarengat tak mengabaikan kewajibannya sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setiap pagi, dia berangkat ke kampus UI di Jalan Salemba naik bus kota. Dalam kondisi tersebut, pria yang lahir di Banyumas, 28 Oktober 1939, itu hanya bisa berangan-angan menjadi penghuni asrama UI di Pegangsaan 17. Relung hati Sarengat juga bergejolak. Ia tak ingin orang-orang meremehkan kehidupan atlet.
Masa kelam itu ia tinggalkan sejenak ketika dipanggil untuk mengikuti training center persiapan kejuaraan Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang (Games of the New Emerging Forces/Ganefo) pada November 1963. Dalam kejuaraan tersebut, Sarengat gagal mengulangi suksesnya di Asian Games. Ia hanya membawa pulang satu medali emas lewat lari estafet.
Gozal memperkirakan mental Sarengat terpengaruh akibat mengalami masa-masa tak jelas seusai Asian Games. "Namanya orang habis manis sepah dibuang, pasti bisa mempengaruhi mentalnya," ucapnya. Saat perhelatan Ganefo, Gozal sedang menempuh studi jurusan kepelatihan di University of Oregon, Amerika Serikat.
Di tengah situasi buruk itu, Sarengat tanpa sengaja bertemu dengan Menteri Perhubungan, Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia GPH Djatikusumo. Meski tidak kenal secara personal dan hanya tahu Sarengat sebagai juara atletik di Asian Games, Djati menawarinya untuk ke Bali bersama perwira-perwira Zeni Angkatan Darat. Sarengat menerima tawaran itu karena sudah jenuh dengan kehidupan yang serba tidak menentu.
Saat di Bali itulah Djati banyak bertanya tentang nasib Sarengat menjalani kehidupan setelah Asian Games serta asal-usul keluarganya. Kepada Djati, Sarengat lantas menjelaskan semuanya. Ia tak luput menceritakan pengalamannya mengikuti seleksi Akademi Militer Nasional dan lulus. Ia tidak jadi masuk Akademi Militer karena tak lulus ujian sekolah menengah atas. Ia juga menceritakan kehidupan orang tuanya sebagai guru dengan sepuluh anak. Mendengar cerita Sarengat, hati Djati terketuk dan menawarinya beasiswa Pendidikan Dokter Angkatan Darat.
Dengan program tersebut, Sarengat bisa mendapatkan uang saku, beasiswa, beras, sabun, dan lainnya selayaknya jatah anggota militer. Dia menyambut tawaran itu dengan penuh sukacita karena tak lagi menjadi beban orang tua. Bahkan ia bisa membantu perekonomian keluarga.
Beasiswa Sarengat dari Pendidikan Tinggi Ilmu Perguruan itu segera dipindahkan ke beasiswa Pendidikan Dokter Angkatan Darat. Ia juga dilantik menjadi anggota militer dengan pangkat di pundak berwarna biru tanpa setrip. Ia bergegas meninggalkan flat, berpindah ke mes Zeni di Kramat Raya 55, Jakarta Pusat.
Tak lama tinggal di mes Zeni, sulung dari sepuluh bersaudara itu mengajukan pindah ke asrama Universitas Indonesia. Pahitnya kehidupan seusai kejuaraan dan terseok-seok dalam perkuliahan membuat Sarengat harus memilih salah satu. Ketika mendapat panggilan lagi dari Persatuan Atletik Seluruh Indonesia untuk menjalani training center, Sarengat memilih berfokus menempuh pendidikan dokter dan akhirnya lulus dalam waktu lebih dari enam tahun.
Adik Sarengat, Mohamad Haryanto, mengatakan sang kakak memilih berfokus menjadi dokter karena masa depan atlet tak jelas. Sarengat, kata dia, mengalami demotivasi seusai kejuaraan Asian Games lantaran nasib sebagai atlet yang tak menentu. Apalagi hadiah yang dijanji-janjikan tak pernah direalisasi. Ia pernah mendengar Sarengat mendapat tanah dari Bupati Batang, Jawa Tengah, setelah meraih emas di Asian Games. Namun, hingga kini, Sarengat dan keluarga tak pernah tahu wujud tanah yang dijanjikan itu. "Para pejabat ngomong nanti dapat ini-itu, tapi cuma ngomong tok," ujar Harianto, yang juga mantan pelari nasional.
Buruknya nasib atlet ketika itu juga diceritakan Sarengat kepada salah satu kawan satu SMAN 1 Boedi Oetomo di Jakarta, Siswono Yudo Husodo. Menurut Siswono, Sarengat sangat menginginkan pembinaan atlet sejak dari penjaringan bakat hingga kehidupan setelah kejuaraan. "Kehidupan atlet kan masih perdebatan. Apalagi dulu tidak mendapat hadiah," tutur Siswono. Saat masih kategori atlet amatir, kata dia, Sarengat tidak boleh menerima uang lebih dari Rp 500 ribu. "Dulu aturannya ketat," ucap mantan Menteri Negara Perumahan Rakyat itu.
Masa Kelam di Flat Senayans
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo