Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun depan akan menjadi tahun yang sulit bagi pengusaha batu bara. Pasar dunia diperkirakan masih dililit krisis, sementara pasar domestik baru saja tumbuh. Kalangan analis meramalkan harga batu bara belum akan kembali moncer seperti tiga tahun lalu. "Prospek bisnisnya masih suram," kata analis PT Samuel Sekuritas Indonesia, Yualdo Yudoprawiro.
Indonesia saat ini menjadi eksportir batu bara terbesar di dunia. Pada 2012, Indonesia mengekspor 383 juta ton, naik hampir 24 persen dibanding tahun sebelumnya. Namun, pada 2011, pertumbuhan produksi batu bara dunia jauh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan permintaannya, yakni 6,4 persen berbanding 4,8 persen. Kondisi inilah yang membuat harga jeblok.
Dua negara yang menjadi pasar utama Indonesia adalah India dan Cina. Ekonomi dua negara itu pada 2013 sedang turun. Pada 2012, ekonomi negeri itu hanya tumbuh 7,8 persen, terburuk selama 13 tahun. Pada 2013, semula Dana Moneter Internasional (IMF) meramalkan ekonomi Cina akan tumbuh 8 persen, tapi belakangan dikoreksi menjadi 7,8 persen. Tahun depan pertumbuhan Cina tidak akan jauh dari angka itu.
India sami mawon. Awalnya, ekonomi India diramal tumbuh 6,2 persen, tapi realisasinya diperkirakan hanya 5,9 persen. Tahun depan ekonomi India mungkin bisa tumbuh 6,4 persen, tapi nilai tukar mata uang rupee jatuh paling dalam selama 2013. "Akibatnya, impor India mengalami penurunan, termasuk permintaan batu bara," ucapnya.
Celakanya, penurunan permintaan pasokan batu bara, kata Yualdo, tak hanya di tingkat global, tapi juga di pasar domestik. Kegagalan proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap pertama membuat penyerapan komoditas tambang ini juga anjlok. Peningkatan konsumsi batu bara dalam negeri sangat lambat. Permintaan batu bara pada 2012, misalnya, hanya naik 15 persen menjadi 82 juta ton.
Melemahnya pasar global dan pasar domestik itulah yang mengakibatkan harga turun. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, harga batu bara acuan untuk pengiriman September 2013 adalah US$ 76,8 per ton. Angka itu jauh di bawah harga pengiriman September 2012, yang masih US$ 86,2 per ton atau turun sekitar 12 persen.
Kondisi ini juga menyebabkan kinerja beberapa perusahaan tambang yang melantai di bursa tak satu pun yang mengalami pertumbuhan positif. Beberapa emiten unggulan, seperti PT Bukit Asam, Indo Tambangraya Megah, Harum Energy, dan Bayan Resources, mencatat pertumbuhan stagnan bahkan negatif.
Yualdo memperkirakan saham batu bara masih mengalami tekanan sampai tahun depan. "Kenaikan harga saham batu bara hanya didorong oleh sentimen sesaat, tapi tidak merepresentasikan aspek fundamentalnya."
Peneliti dari Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (BKDI), Ibrahim, mengakui penurunan harga batu bara disebabkan oleh situasi ekonomi global yang tidak menentu. "Ancaman krisis membuat banyak negara mengurangi jumlah permintaan batu bara sehingga harganya turun," ujarnya.
Meski demikian, Ibrahim tetap meyakini industri batu bara tahun depan tetap menggairahkan. Rilis perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia yang akan membaik pada 2014 semakin menabuh prospek industri batu bara. IMF memperkirakan tahun depan ekonomi dunia akan tumbuh 3,6 persen, naik dari tahun ini 2,9 persen.
Kalangan pengusaha batu bara juga optimistis bisnis emas hitam ini akan moncer pada 2014, meski masih dibayangi krisis global. Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Bob Kamandanu, mengatakan pasar ekspor batu bara Indonesia tetap cerah seiring dengan tumbuhnya kebutuhan batu bara untuk penggunaan pembangkit listrik di negara ASEAN.
Dia mengakui pasar ekspor ke Cina turun akibat pembatasan. Tapi pasar di negara lain masih bisa digarap. India, misalnya, membutuhkan banyak batu bara untuk pembangkit barunya. Saat ini India membangun pembangkit batu bara dengan kekuatan 4.000 megawatt di Tamil Nadu. Batu baranya akan dibeli dari Indonesia.
Korea Selatan juga sedang meningkatkan kapasitas pembangkit untuk menunjang kegiatan industrinya. "Ekspor juga bisa dialihkan ke Sri Lanka dan Pakistan, sebagai pemenuhan kebutuhan batu bara untuk pembangkit."
Hambatan justru bisa datang dari dalam negeri karena jenis batu bara yang diproduksi tak cocok dengan kebutuhan pasar. "Kami ingin menjual di dalam negeri sebanyak-banyaknya, tapi kualitas batu bara kita 4.200-7.000 GAR (gross as received), sementara kebutuhan industri dalam negeri yang berkualitas 3.000-5.000 GAR," ujarnya.
Akibatnya, batu bara banyak yang tak terserap di dalam negeri. Di sisi lain, suplai batu bara dari produsen berlimpah. "Dampaknya, harga jual jatuh." Untuk itu, Bob mengusulkan kuota produksi batu bara dipangkas pada 2014 sebesar 5-10 persen dari target 368,89 juta ton. "Kalau kita terus menjual dengan volume besar tapi harganya masih rendah menjadi tidak optimal, " katanya.
Menurut Bob, dengan menekan produksi, ekspor bisa dikendalikan dan kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi. "Imbasnya, harga bakal naik." Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mendukung usul tersebut. Menurut dia, usul itu tepat karena saat ini terjadi ketidakseimbangan paÂsokan dan permintaan. Semakin banyak suplai, harga semakin turun.
Masih Boleh Mentah
Pemerintah sepertinya gagal membujuk perusahaan tambang besar menaati Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Berdasarkan undang-undang ini, perusahaan tambang dilarang mengekspor mineral dalam bentuk ore (mentah). Aturan ini semestinya berlaku pada 2014.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengakui pemerintah berulang kali menggelar negosiasi ulang dengan 9-10 perusahaan tambang raksasa. "Ada PT ÂFreeport, PT Vale Indonesia (INCO), PT Newmont, dan yang lain," katanya Jumat dua pekan lalu. Susilo mendesak perusahaan tambang agar menyelesaikan smelter dalam tiga tahun. "Boleh sendiri atau bekerja sama."
Pada kenyataannya, tak satu pun perusahaan besar itu yang membangun pabrik smelter (pengolahan ore). Jika aturan ini ditegakkan, mayoritas perusahaan tambang tidak akan beroperasi. Bukannya memberi sanksi, pemerintah malah melonggarkan aturan. Ekspor mineral mentah diizinkan untuk perseroan yang berkomitmen membangun smelter, mesin pengolah, dan pemurnian bongkahan mineral. "Tidak bisa ditawar," ujar Susilo.
Analis saham dari PT Investa Saran Mandiri, Kiswoyo Adi Joe, menilai pelonggaran itu karena pemerintah tidak ingin memperburuk defisit neraca perdagangan. Jika aturan pelarangan dipaksa berlaku tahun depan, ekspor bakal menyusut.
Padahal ekonomi dunia diperkirakan menggeliat tahun depan. Jepang, Cina, Amerika Serikat, dan kawasan Eropa akan segera pulih dari krisis ekonomi. Mereka akan menyedot bahan baku mineral asal Indonesia. Namun Kiswoyo meminta pemerintah tetap mendorong pembangunan smelter.
Kiswoyo memprediksi ekspor mineral tahun depan masih disokong komoditas timah. Indonesia menguasai 80 persen pasar timah dunia. Menurut dia, prospek bisnis PT Timah bakal cerah jika lahan seluas 10 ribu hektare di Myanmar memiliki kandungan timah dalam jumlah besar.
Perusahaan pelat merah ini kesulitan mengandalkan produksi timah dalam negeri, yang dikeruk dari laut. "Ongkos operasionalnya lebih mahal ketimbang pengerukan di darat," katanya. Target produksi PT Timah dipatok 28 ribu ton pada 2013. Dalam satu semester, perseroan memproduksi 11 ribu ton atau turun 36 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Komoditas lain yang diprediksi cerah adalah bauksit. Kiswoyo memperkirakan produksi bahan baku aluminium ini menggeliat setelah pemerintah mengambil alih PT Indonesia AsaÂhan Aluminium (Inalum). Per 31 Oktober, kontrak Nippon Asahan Aluminium Co Ltd di Inalum berakhir.
Menurut Kiswoyo, bahan baku Inalum berasal dari Jepang. Namun bahan baku di Negeri Matahari Terbit itu berasal dari bongkahan bauksit Indonesia. Penguasaan Inalum berpotensi mendorong pemurnian bauksit di dalam negeri. "Tidak perlu lagi impor dari Jepang."
Direktur Keuangan PT Aneka Tambang Tbk Djaja Tambunan optimistis permintaan bauksit sekaligus nikel, bahan baku stainless steel, dari Jepang dan Cina tetap tinggi tahun depan. Kinclongnya ekspor karena kedua komoditas ini tidak tergantikan komoditas serupa dari negara lain.
Produksi bauksit tahun ini diprediksi mencapai 51,6 juta ton dengan realisasi 24 juta ton hingga Juni lalu. Adapun ekspor nikel mencapai 31,5 juta ton hingga Juli lalu atau sepertiga dari total ekspor 2012.
Untuk industri logam mulia, Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto mengklaim siap dengan besaran royalti baru, yaitu 4 persen tembaga, 3,75 persen emas, dan 3,25 persen perak. Dengan asumsi harga emas US$ 1.500-1.600 per ounce, pendapatan pemerintah dari royalti naik dari US$ 76 juta menjadi US$ 80 juta jika produksi sedang turun dan US$ 120 juta produksi normal. "Kami siap mengikuti kemauan pemerintah," ucapnya April lalu.
Data Produksi Batu Bara Nasional (Juta Ton)
Tahun | Produksi | Ekspor | Domestik |
2009 | 256,1 | 198,3 | 55,79 |
2010 | 275 | 208 | 67 |
2011 | 370 | 299 | 71 |
2012 | 386 | 304 | 82 |
2013* | 300 | 250 | 50 |
*Hingga kuartal kedua
Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo