KOTA Palembang memang bukan Jakarta. Tapi rupanya Pemerintah
Hindia Belanda dulu telah membuat kota di Sumatera Selatan itu
secara tak benar. Jika Jakarta ditata Belanda dengan meletakkan
bangunan-bangunan menghadap sungai yang ada di tengah kota, di
Palembang Belanda tak berbuat begitu. Di Kota Musi ini
bangunan-bangunan ditaruh begitu saja secara melintang-pukang.
Dan terlihat akhirnya sungai-sungai itu setiap saat seperti
hendak mengiris bahkan menelan bangunan-bangunan di dekatnya.
Dan itulah rupanya masalah terberat yang dihadapi Kota Palembang
sekarang. Coba saja. Kurang dari 1 jam saja hujan turun, sekitar
1/3 bagian kota ini sudah tergenang air. Bahkan mencapai Jalan
protokol. Sang air tak hanya datang dari langit. Tapi juga
merayap dari bawah. Yaitu melalui anak-anak sungai yang menyebar
hampir di seluruh bagian kota.
Selain Sungai Musi yang membelah dua kota ini, masih ada 9 buah
sungai lagi menjelajahi kota ini. Sungai-sungai itu sejak
beberapa tahun belakangan ini sudah hampir "hilang" ditelan
bangunan-bangunan di kiri kanannya. Betapa tidak. Sebab
bangunan-bangunan (terutama rumah) tadi begitu saja menancapkan
tiangnya di pinggir, bahkan di bagian tengah sungai. Kemudian
mudah diduga: aliran sungai di bawah itu mempunyai fungsi ganda.
Untuk tempat buang hajat, tenampungan sampah dan tak jaran
unmk mandi pula.
Hampir Rata
Jika sekitar 25 tahun lampau sungai-sungai itu masih lancar
dilayari perahu-perahu dan motor-motor air milik pedagang untuk
menjajakan barangnya ke pelosok kampung -- sekarang tidak
terlihat lagi. Sungai-sungai tadi telah begitu sempit, dangkal
dan kotor. Sampah bahkan eceng gondok merimbun di mana-mana
Pengerukan juga hampir tak pernah dilakukan.
Karena desakan terhadap aliran sungai-sungai itu, tak heran jika
dalam beberapa tahun belakangan ini permukaan Sungai Musi
berikut ke-9 anaknya tadi sudah hampir rata dengan Kota
Palembang sendiri. Dan genangan air dengan mudah terjadi.
Apalagi karena bangunan-bangunan di tepi sungai-sungai tadi
hampir tak ada yang memiliki selokan pembuangan air. Akibat
lanjutannya adalah apa yang sering menjadi keluhan warga kota:
jalan-jalan rusak, di samping juga udara kota jadi tak sedap.
Pejabat Walikota Palembang, drs. H.A. Dahlan HY, mengakui hal
itu. Dari 223 km jalan yang ada di dalam kota, kata Dahlan, 45%
di antaranya sangat perlu diperhatikan. Artinya dalam keadaan
cukup rusak. Di samping karena pemakaian jalan yang di luar
semestinya, kerusakan-kerusakan itu sebagian besar disebabkan
teramat sering diselimuti air.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi semua itu, rupanya adalah
menata kembali bangunan-bangunan yang ada di sepanjang tepi
sungai-sungai. Bisa juga diartikan membongkar bangunan-bangunan
liar dan merusak. Kemudian menormalisir sungai-sungai itu,
seperti dengan pengerukan. Dan kemudian menterapkan sistim
drainase untuk sungai-sungai tadi lalu mengganti letak
rumah-rumah liar tadi dengan jalan. Ini tentu tak mudah. "Untuk
membebaskan tepi sungai dari bangunan-bangunan liar saja sudah
sulit," kata Dahlan.
Belum lagi soal hiaya. Pejabat Walikota Palembang tadi tak
menyebutkan berapa persis perkiraan biaya yang sudah
direncanakan. "Tapi saking besarnya tak mungkin dibiayai daerah,
harus Pemerintah Pusat," tambah Dahlan. Ia tak menyebut
kemungkinan mendapat bantuan biaya dari Bank Dunia, seperti
halnya perbaikan kampung (Proyek Husni Thamrin) di Jakarta.
Menunjukkan kesungguhan Pemda Kotamadya untuk melaksanakan
rencana itu, menurut Dahlan, sekarang telah dimulai memberi
peringatan-peringatan terhadap mereka yang mendirikan bangunan
liar. Rencana itu sendiri telah didesakkan untuk mulai
dilaksanakan sejak 1976 setelah melalui penelitian sebuah
konsultan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini