Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Masalah Baru Fasilitas Pengolah Sampah

Pemerintah DKI Jakarta menyiapkan sejumlah langkah untuk mengurangi tingginya jumlah sampah di Ibu Kota. Penggunaan PLTSa hingga konversi sampah menjadi bahan bakar alternatif menjadi pilihan utama. Meski begitu, cara yang diambil DKI Jakarta berpotensi menimbulkan masalah baru.

22 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tumpukan sampah di TPST Bantar Gebang, Bekasi, 21 Februari 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah DKI Jakarta menyiapkan sejumlah langkah untuk mengurangi tingginya jumlah sampah di Ibu Kota.

  • Penggunaan PLTSa hingga konversi sampah menjadi bahan bakar alternatif menjadi pilihan utama.

  • Meski begitu, cara yang diambil DKI Jakarta berpotensi menimbulkan masalah baru.

JAKARTA — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerima proyek percontohan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kemarin. Fasilitas khusus yang diberi nama PLTSa Merah Putih itu berada di dalam Tempat Pengolahan Sampah Terpadu atau TPST Bantargebang, Bekasi. PLTSa itu mampu mengubah 100 ton sampah menjadi listrik 700 kilowatt. 
 
Pelaksana tugas Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, Mego Pinandito, mengatakan proyek PLTSa Merah Putih merupakan hasil penelitian para peneliti BRIN. Mego Pinandito mengatakan sejatinya fasilitas tersebut sudah berjalan sejak 2020. Menurut dia, sejak 2020 hingga 2021, pengoperasian PLTSa sudah dijalankan Pemprov DKI bersama Pusat Layanan Teknologi BRIN melalui mekanisme badan layanan umum (BLU).
 
Menurut Mego Pinandito, Jakarta menjadi kota pertama dari 12 kota besar di Indonesia yang diprioritaskan menerima instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik. Lantaran berkonsep ramah lingkungan, Mego Pinandito mengklaim PLTSa Merah Putih tak akan menimbulkan polusi. "Pencemaran emisi udara dapat dikendalikan di bawah baku mutu," kata dia.
 
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengatakan PLTSa Merah Putih menjadikan pembelajaran bagi DKI dalam menggunakan teknologi insinerator. Asep berharap nantinya DKI bisa membangun fasilitas pengolahan sampah serupa. "Harapannya bisa mengimplementasikan fasilitas pengolahan sampai sejenis skala besar atau intermediate treatment facility," kata Asep. 
 
Selain itu, Pemprov DKI Jakarta menargetkan mampu mengolah sekitar 2.000 ton sampah menjadi 750 ton bahan bakar alternatif berbasis sampah per hari yang diolah di TPST Bantargebang. Harapannya, proyek ini bisa menjadi salah satu solusi di hilir pengelolaan sampah yang dikirim ke Bantargebang. 
 
Rinciannya, sebanyak 1.000 ton sampah lama berusia minimal enam tahun dan 1.000 ton sampah baru di Bantargebang akan diolah di fasilitas pengolahan sampah landfill mining dan refused-derived fuel (RDF) atau bahan bakar yang dihasilkan setelah sampah diolah. Nantinya, sampah yang sudah diolah itu akan menjadi bahan bakar alternatif atau menjadi energi baru dan terbarukan pengganti baru bara.
 
“Bahan bakar yang bisa menggantikan batu bara yang ini juga punya efek yang baik untuk kualitas udara di sekitar kita,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. 
 

Truk sampah dari DKI Jakarta di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. TEMPO/Subekti 

Menurut Anies, strategi tersebut perlu diambil mengingat sampai saat ini Bantargebang menjadi satu-satunya lokasi pengiriman sampah dari DKI yang berjumlah 7.800 ton per hari. Walhasil, Anies mengajak seluruh masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mimpi Jakarta "zero waste". Selain masyarakat, DKI berencana menggandeng sejumlah pihak untuk mewujudkan mimpi Jakarta nol sampah tersebut. 
 
"Tapi hal ini tidak mungkin terjadi jika hanya dikerjakan sendiri. Kita harus kerjakan ini sebagai sebuah proses bersama,” kata Anies dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional, kemarin. 
 
Karena itu, Anies ingin menumbuhkan gerakan kesadaran masyarakat mengelola sampah, baik dilakukan dari diri sendiri maupun melalui kolaborasi berbagai pihak untuk menekan volume sampah.
 
Menurut dia, apabila dari hulu, residu atau sampah terkelola, volume sampah dapat dikurangi sehingga pengelolaannya menjadi lebih mudah. Walhasil, ia berharap masyarakat dan berbagai pihak lebih bijak dalam memilah sampah sebelum membuangnya. 
 
Namun Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Tubagus Soleh Ahmad, menganggap deretan rencana DKI dalam mengolah sampah kurang efektif. Contohnya, rencana mengubah sampah di Bantargebang menjadi setrum melalui insinerator bukanlah keputusan bijak. Sebab, dengan proses pembakaran sampah, akan memunculkan masalah baru, yakni polusi udara. "Tinggalkan pendekatan pengelolaan sampah berbasis proyek bakar-bakaran sampah," kata Tubagus, kemarin. 
 
Menurut dia, sebaiknya DKI kembali mengambil langkah berbasis pengelolaan sampah berdasarkan asas tanggung jawab, keberlanjutan, keadilan, kesadaran, kebersamaan, dan keselamatan. Salah satunya dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pentingnya memilah sampah yang hendak dibuang. 
 

Sampah di kawasan perkampungan nelayan Cilincing, Jakarta, 20 Februari 2022. ANTARA/Aprillio Akbar

Selain itu, DKI harus mengubah paradigma pengelolaan sampah yang selama ini masih memakai pendekatan kumpul, angkut, dan buang. Hal tersebut merujuk pada kinerja DKI selama ini yang sekadar membuang sampahnya ke Bantargebang. Salah satunya dengan mempercepat dan memaksimalkan pelaksanaan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga dan Peraturan Gubernur Nomor 102 Tahun 2021 tentang Kewajiban Pengelolaan Sampah di Kawasan dan Perusahaan. 
 
Menurut Tubagus, kedua payung hukum itu bisa menjadi cara jitu pengurangan sampah di tingkatan sumber. Poin penting dalam kedua aturan di atas adalah upaya penyadaran masyarakat terkait dengan persoalan sampah. Singkat kata, masyarakat diwajibkan memilih dan mengelola sampah masing-masing. 
 
Tubagus mengatakan kewajiban ini berpotensi mengurangi jumlah sampah yang masuk ke Bantargebang hingga lebih dari separuhnya. Sebab, sampah jenis sisa makanan, ranting kayu, kertas, dan logam memiliki komposisi hingga 74 persen dari total jenis sampah yang diangkut ke Bantargebang.
 
"Dengan jumlah timbunan sampah DKI Jakarta pada 2020 yang mencapai 8.369 ton, itu artinya, Bantargebang hanya akan menerima sampah sebanyak 2.176 ton tiap harinya," kata Tubagus. 
 
Selain itu, Tubagus mendesak Gubernur DKI secara tegas mengontrol jajaran pemegang birokrasi Pemprov DKI Jakarta, khususnya Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang bertanggung jawab dalam implementasi pengelolaan sampah di Jakarta. Tujuannya agar target pengurangan timbunan sampah berbasis sumber timbulan sukses dilakukan. 
 
INDRA WIJAYA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus