SEPANJANG hari Budi Kurnia luntang-lantung di Pantai Kuta. Penampilannya tak ubahnya seperti turis yang sedang pelesir melepaskan pikiran ruwet. Padahal bujang asal Garut itu justru sedang penuh pikiran. Ia tak tahu bagaimana bulan depan menghidupi dirinya setelah Restoran Maccaroni di Kuta, Bali, tempatnya bekerja sejak tiga bulan lalu, ikut roboh terkena embusan bom Sari Club, yang terletak belasan meter darinya. Rumah makan itu tutup, dan hilanglah penghasilan lulusan Program Diploma I Pariwisata Universitas Trisakti itu sebesar Rp 800 ribu per bulan.
Puluhan kilometer dari Kuta, Nami duduk termenung di Pantai Lovina. Sudah berhari-hari jarinya tidak menari di tubuh turis asing yang biasa dipijatnya. Pantai Lovina—nama ini diberikan oleh keturunan Raja Buleleng, A.A. Panji Tisna, yang berarti Love of Indonesia—benar-benar sepi. Padahal, di masa puncak, bisa 10 ribu turis membanjir tiap bulannya. "Kalau begini terus, saya nanti kerja apa," katanya polos.
Bom menjelang tengah malam pada Sabtu dua pekan lalu itu memang efektif untuk mematikan generator perekonomian Bali: sektor pariwisata. Tanpa menunggu waktu, gelombang wisatawan mancanegara meninggalkan Bali hampir tanpa henti (lihat tabel). Hotel-hotel, tempat wisata, pasar seni, dan galeri, yang biasanya kewalahan menerima tamu di masa puncak (peak seasons), langsung melompong.
Bali lumpuh. Maklumlah, sumbangan sektor pariwisata untuk produk domestik regional bruto Bali, menurut pengamat pariwisata dari Universitas Udayana, Bali, Nyoman Erawan, sungguh besar: mencapai 57 persen. Pariwisata juga memberi kontribusi yang sangat signifikan (51,6 persen) bagi pendapatan masyarakat Bali. Lebih dari 38 persen kesempatan kerja di Bali ada di sektor pariwisata, mulai dari perhotelan sampai jasa kecil-kecil seperti pemandu wisata ataupun tukang pijat. Setiap tahun lebih dari sejuta turis asing menghabiskan dana sampai US$ 400 juta atau sekitar Rp 3,7 triliun di Bali. Bandingkan dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah Bali, yang hanya Rp 684 miliar. Dengan adanya peristiwa itu, Erawan menaksir pertumbuhan ekonomi Bali akan turun. "Paling hanya tiga persen, turun dari 3,2 persen pada tahun lalu," kata Erawan.
Kondisi ini hanya bisa ditanggapi Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha, dengan pasrah. Dia meramalkan, Bali membutuhkan waktu 1-2 tahun untuk pulih. Padahal saat ini sebetulnya Bali sedang dalam proses pemulihan akibat tragedi runtuhnya menara kembar World Trade Center, New York, 11 September tahun lalu. Gara-gara kejadian itu, arus wisatawan asing ke Bali di saat peak seasons Oktober-Desember jeblok sampai di bawah 90 ribu orang—dari biasanya di atas 110 ribu orang. Berkurang 20 ribu orang berarti terbanglah uang sekitar US$ 6 juta atau sekitar Rp 55 miliar per bulan.
Nah, mulai Maret lalu kondisi mulai pulih. Arus turis asing sudah naik ke jumlah semula, bahkan mencapai 160 ribu orang pada Agustus lalu. Ini jumlah tertinggi dalam lima tahun terakhir (lihat grafik). Dan itu masih bertahan di bulan September (150 ribu), yang sebenarnya bukan masa puncak. Tapi takdir membelokkan kembali Bali ke nasib buruk. Dalam empat tahun terakhir, Bali memang ketiban sial. Selama kurun waktu itu, daerah tujuan wisata terbesar di Indonesia ini hanya sekali menikmati peak seasons. Pada 1999, ada amuk massa pendukung Megawati. Tahun lalu ada tragedi World Trade Center, dan tahun ini ledakan Kuta. Padahal, jika tidak ada peristiwa Kuta, banyak kalangan yakin Bali akan kembali ke puncak.
Sayangnya, kini semuanya tinggal impian. Survei yang dilakukan di Denpasar, Sanur, dan Nusa Dua menunjukkan adanya penurunan tingkat hunian hotel setelah ledakan bom. Sementara sebelum ledakan rata-rata hotel berbintang empat dan lima di tiga lokasi itu berhasil meraih occupancy rate 70-80 persen, pada Rabu pekan lalu angkanya sudah berada di bawah 50 persen. Kondisi buruk ini tak cuma terjadi di hotel kelas atas, tapi juga menyebar hingga ke hotel berbintang tiga ke bawah dan hotel kelas melati. "Pada hari Sabtu, ada 20 kamar kita yang terisi, Minggu siang 16 kamar langsung kosong. Semua mengaku mau ke airport," kata Putu Suarsana, petugas front office Hotel Nirwana, Lovina. Hal yang sama terjadi di Hotel Bali Natour, Denpasar. Sedianya, akhir pekan ini 57 kamar mereka dipesan oleh para siswa sebuah SMU di Jakarta. Pesanan itu juga dibatalkan.
Dengan seretnya turis, lalu dari mana kucuran uang bisa diterima para perajin, pemijat, atau pemandu wisata? Seperti nasib pemijat Nami, hal serupa menimpa Wayan Sudarna, seorang pedagang di pasar seni Sukawati, Gianyar. Pada saat sebelum ledakan bisa puluhan turis datang memborong dagangannya. Tapi sepanjang pekan lalu cuma 1-2 wisatawan asing yang datang. "Biasanya saya bisa membawa pulang sampai Rp 30 ribu, sekarang separuhnya sudah bagus," tuturnya.
Tak cuma Sudarna dan Nami yang mencemaskan nasibnya, tapi juga hampir 40 ribu pekerja formal di sektor jasa pariwisata. Pelbagai upaya pun dilakukan untuk memperpanjang napas. Para pekerja Ramada Beach Hotel, misalnya, bersepakat dengan manajemennya untuk mengurangi hari kerja menjadi lima hari. Paket liburan dan tarif khusus disediakan untuk wisatawan domestik yang mau meluangkan waktu berlibur akhir tahun di Bali. Masalahnya, tak ada yang bisa memperkirakan bakal berapa lama krisis ini berlangsung.
Ada yang yakin kondisi buruk ini tak akan panjang. "Bisa cuma tiga bulan," kata Erawan. Dengan catatan, pemerintah benar-benar serius menangani kasus pengeboman itu dan sekaligus membuat program khusus untuk menangani Bali pasca-pengeboman. Tampaknya, seperti dikatakan staf ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Mahendra Siregar, pemerintah akan memusatkan perhatian pada soal pariwisata. Apalagi Bank Dunia sudah menyatakan kesediaannya membantu. Paling tidak, pemerintah pusat sudah berjanji akan membantu pembangunan kembali fasilitas yang rusak dan juga menjamin keamanannya. Namun, Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata sendiri mengakui tak mudah memulihkan Bali. Menurut staf ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Udin Saifuddin, kantornya sudah merancang program pemulihan Bali yang akan menghabiskan waktu 27 bulan. Jadi, baru pada awal tahun 2005 Bali bisa melepaskan diri dari krisis.
Repotnya, apakah Bali akan tahan menanti selama itu? Pariwisata adalah jantung perekonomian Bali, dan ini membuat Pemerintah Daerah Bali begitu terlena sehingga tak menyiapkan jantung cadangan lain. Padahal, menurut Erawan, masa keemasan Bali sebagai daerah tujuan wisata sudah berakhir pada pertengahan 1990-an. Arus wisatawan asing sudah berkurang sejak 1998. Dan ini agaknya tak diantisipasi oleh pemerintah daerah di tingkat provinsi ataupun tingkat dua.
Jadi, apa yang bisa dilakukan dalam kondisi terjepit seperti sekarang? Erawan mengusulkan agar pemerintah meminta semua pelaku usaha pariwisata menyisihkan satu persen pendapatannya untuk mengembangkan sektor yang lain, terutama pertanian. Selama ini ada mata rantai yang putus antara sektor pariwisata dan pertanian. Hasil pertanian setempat jarang bisa menembus hotel-hotel berbintang yang bertebaran di Bali. Akibatnya, ada gap yang sangat lebar antara pekerja sektor pariwisata dan pertanian. Krisis ini bisa dipakai untuk mendekatkan jarak itu.
Selain itu, sektor industri kerajinan tampaknya belum digarap dengan baik. Padahal devisa yang diperoleh dari sektor ini tak kalah menggiurkan. Tahun lalu ada perolehan devisa US$ 315 juta dari ekspor kerajinan. Kini, tak ada salahnya banting setir membesarkan sektor industri. Bali belum kiamat.
<M. Taufiqurohman, Levi Silalahi, Dewi Rina, dan Tim TEMPO Bali
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini